Uang elektronik atau e_money sebenarnya mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 2009, untuk pembayaran jalan tol. Sekarang, ketika membayar tol selalu harus disertai kesabaran karena panjangnya antrean, khususnya di jalan tol sekitar Jakarta dan Bandung (Pasteur), maka Bank Indonesia merasa berkepentingan untuk menggalakkan e-money.
Tujuannya, untuk mempercepat transaksi pembayaran jalan tol. E-money juga bisa dipakai untuk pembayaran lain yang menyediakan alat pembayaran elektronik.
Untuk mengatur transaksi dengan uang elektronik, Bank Indonesia akan mengeluarkan peraturan tentang itu, yang direncanakan keluar akhir September 2017.
Hanya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, untuk top up atau menambah saldo e-money pada kartu e-money, pemilik kartu dikenakan biaya sebesar Rp2.000.
Sontak saja, pernyataan Gubernur BI tersebut menjadi topik pembicaraan publik yang umumnya menolak biaya top up. Bagaimanapun, e-money adalah uang Rupiah dalam bentuk elektronik.
Pada dasarnya adalah tetap uang. Jadi yang dimaksudkan dengan top up untuk e-money, adalah konversi. Dari uang fisik atau saldo tabungan ke e-money. Jadi, nilainya harus tetap, tidak boleh berkurang karena dikenakan fee.
Lho, kan bank harus menyediakan alat untuk top up. Begini, ketika seseorang memegang uang fisik, ia bisa membelanjakan uang fisik itu untuk apapun, bumbu dapur, semen, gadget, tiket pesawat, dan lain-lain.
Setelah uang itu dikonversi menjadi e-money, fungsi uang itu menjadi terbatas, hanya bisa dipakai dalam pembayaran transaksi tertentu, tidak bisa dipakai untuk membeli kangkung atau membayar ongkos tambal ban.
Kalaupun tujuan utamanya untuk mempercepat transaksi pembayaran tol, tapi kalau setelah membayar tol dengan e-money, kalau di ruas jalan sesudah gerbang tol macet, tetap saja macet.
Artinya, ada penyempitan fungsi uang. Padahal subjeknya tetap uang. Seharusnya, masyarakat yang mengonversikan uangnya ke e-money, mendapatkan insentif, bukan disinsentif berupa biaya top up.
Tapi anehnya, menanggapi reaksi publik atas biaya top up, Agus malah fokus pada besarnya biaya top up. Poin yang ia tangkap, seolah publik menolak biaya top up karena nominalnya.
“Masyarakat tidak perlu khawatir, jumlahnya enggak besar,” kata Agus kepada media di Kantor Bank Indonesia Perwakilan Banten, pertengahan September 2017.
Lho? Ini bukan soal berapa biaya top up e-money, tapi atas dasar apa biaya itu dikenakan oleh bank. Tak pelak lagi, sah-sah saja kalau publik menduga, Agus berbicara mewakili bank-bank yang akan menjadi provider e-money. Bagaimanapun, ke depan ‘bisnis e-money’ akan menjadi kue yang besar, seperti halnya pulsa telepon.
Sikap Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) lebih realistis, membatalkan pengenaan biaya top up e-money. Kalaupun perbankan mau mengambil peluang dari shifting ke e-money, bisa saja kartu debit (ATM) juga berfungsi untuk melakukan transaksi yang bisa dibayar dengan e-money. Itu akan menarik publik untuk membuka rekening atau menyimpan uangnya di bank yang menerbitkannya.
Pengamat ekonomi, Yanuar Rizky berpendapat, besar atau kecil nilai transaksi itu relatif. Tapi, filosofinya sebagai alat pembayaran sudah salah. Sama saja dengan biaya cetak uang ditanggung masyarakat, melebihi nilai uang fisik yang ada di dompet, dan atau nilai uang fisik yang disimpan di bank.
Adanya biaya top up, menurut Yanuar, sama saja dengan uang elektronik menjadi mata uang sendiri, ada nilai tukar di atas nilai nominal yang akan ditukarkan.
“Kalau untuk awal, buat kartunya bayar, ok saja. Tapi ketika top up, harus berlaku prinsip nilai tukar setara. Kalau ada fee, sudah tidak setara dong? Terus, rembesan inflasinya bagaimana? Masak sih bank sentral lebih melindungi pendapatan jasa pembayaran (fee–based income) dibanding soal filosofi nilai tukar transaksi yang setara?”, kata Yanuar.
Ia menambahkan, fungsi bank sentral sebagai penjaga inflasi, salah satu upaya mengendalikan inflasi adalah memutus rantai fee yang membuat jasa dan barang jadi mahal. Seharusnya BI memberi contoh bagaimana supaya efisien.
Yanuar mengaku heran, Bank Sentral kok malah sibuk mengurusi biaya top up dan menyuruh masyarakat memahami bahwa top up fee untuk membiayai investasi bank dan memasukkannya ke dalam inflasi harga jasa.
Yanuar melihat ada yang menarik dalam pembentukan opini untuk membenarkan pengenaan fee untuk top up e-money, bahwa fee itu untuk membangun infrastruktur di tempat isi ulang.
Menurut Yanuar, seolah produsen atau penyedia jasa sudah tidak mau terima uang fisik. Ini merupakan kesepakatan B2B (Business to Business) antara bank dengan penyelenggara jasa, misalnya pengelola jalan tol.
“Kalau kita masih mengakui uang fisik, kertas dan koin, seperti dalam Undang-Undang (No. 7 Tahun 2011) sebagai alat pembayaran yang sah, kenapa yang membayar dengan uang fisik tidak diterima? Ya, transformasi bisnis untuk kemudahan tinggal tap. Nah, uang yang dimasukkan dalam chip atau kartu, masak dikenakan fee, karena konsumen harus menanggung investasi infrastruktur? Itu kan urusan bisnis,” kata Yanuar.
Yanuar mengatakan, di beberapa negara maju yang sudah banyak menggunakan e-money, tidak ada biaya untuk top up e-money. Hanya kartunya saja yang harus dibeli. Semua mesin untuk top up, merupakan bagian dari investasi bank bersama penyedia jasa atau merchant.
Sementara Ekonom dari The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menanggapi rencana Bank Indonesia untuk menetapkan fee untuk top up e-money lebih keras. Menurut Enny, jika sampai terealisasi, BI telah berbuat zalim terhadap masyarakat.
“Kalau kebijakan ini dilakukan berarti otoritas moneter kita benar-benar zalim terhadap masyarakat. Karena masyarakat yang sudah rela mengonversikan uangnya menjadi e-money, masih harus membayar pula,” kata Enny.
Kebijakan pengenaan biaya isi ulang, kontraproduktif dengan kepentingan BI agar masyarakat ikut gerakan nasional non-tunai. Seharusnya BI mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan dan insentif bagi masyarakat.
Kalau masyarakat sudah banyak yang menggunakan e-money maka BI tidak perlu sering mencetak uang baru. Selain itu akan meminimalisir peluang beredarnya uang palsu.