PADA satu sesi diskusi dalam perhelatan Indonesia Development Forum di Jakarta tanggal 9 dan 10 Agustus 2017 lalu, seorang perempuan cantik begitu bersemangat menerangkan kegiatan bersama komunitasnya dalam memberdayakan para petani melalui budi daya kopi arabika yang tumbuh subur di Sembalun, Nusa Tenggara Barat. Ia juga sangat tangkas menjawab sejumlah pertanyaan audience, mulai dari penanaman, perawatan, pengolahan, hingga perdagangan kopi.
Apakah dia seorang insinyur pertanian ahli tanaman kopi? Bukan. Perempuan itu, Siti Maryam Rodja, adalah seorang sarjana hukum lulusan Universitas Al Azhar, Jakarta, dan juga penyandang gelar Master of International Development dari Flinders University, Adelaide, Australia. Profesi formal Maryam adalah seorang peneliti di bidang hukum.
Maryam, lajang kelahiran Jakarta 24 Oktober 1983 silam itu begitu menguasai persoalan kopi, karena kegiatannya bersama Baraka Nusantara, Maryam berhasil merevitalisasi perkebunan kopi di Sembalun, sekaligus meningkatkan kesejahteraan para petani di sana. Tidak hanya itu, Maryam dan kawan-kawan juga berhasil membangun sebuah sekolah bagi anak-anak desa di sana.
Baraka Nusantara adalah sebuah gerakan yang bertujuan menciptakan model bisnis yang berkelanjutan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui kegiatan yang memberdayakan masyarakat dan memanfaatkan potensi lokal.
“Kami memiliki dua ‘lengan’, lengan bisnis dan sosial. Tapi, hasil dari bisnis sebagian besar dikembalikan kepada masyarakat yang kami coba berdayakan,” kata Maryam.
Ceritanya, pada tahun 2013 Maryam bersama teman-temannya melakukan perjalanan ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Mereka sampai di sebuah kampung di kaki Gunung Rinjani di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Desa Sembalun adalah salah satu dari enam desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Sembalun, dan hanya dihuni oleh sekitar 2000 penduduk.
Sekitar 35 keluarga petani tinggal di daerah yang agak terpencil di kaki Gunung Rinjani. Kampung itu bisa dikatakan miskin, bahkan tak ada satu pun sekolah di sana. Hampir semua petani bertanam bawang putih dan berbagai sayur-mayur lainnya. Mereka mulai menanam bawang putih karena diarahkan oleh pemerintah setempat pada masa Orde Baru.
Alangkah kagetnya Maryam dan kawan-kawan, ketika di hutan sekitar Sembalun banyak ditemukan pohon kopi yang tumbuh begitu saja. Bahkan pohon-pohon kopi itu berbuah lebat. Tapi pohon-pohon itu seperti tidak dirawat dengan baik. Ketika ditanyakan kepada penduduk setempat, mereka mendapat penjelasan.
Dahulu kopi adalah tanaman andalan utama masyarakat Sembalun. Tapi pada dekade 1980 – 1990an, pemerintah mengarahkan para petani untuk menanam bawang putih. Maka sebagian besar pohon kopi di kebun mereka dibabat. Hanya tersisa sebagian kecil saja, itu pun lahannya sudah menjadi hutan.
Kemudian Maryam bersama teman-temannya menjelaskan bahwa kopi yang tumbuh di Sembalun bernilai ekonomi tinggi. Mereka menawarkan, jika para petani mau, Maryam dan kawan-kawan akan datang lagi ke sana untuk memberikan penyuluhan bagaimana cara merawat dan mengolah pohon kopi dengan benar. Dengan senang hati para petani menerima tawaran itu.
“Contoh kopi yang kami bawa dari Sembalun kami tunjukkan kepada para ahli kopi di Jakarta. Menurut para ahli, kopi yang tumbuh di Sembalun adalah jenis Arabika grade premium, terbaik. Artinya ada potensi untuk meningkatkan kesejahteraan para petani di Sembalun,” kata Maryam.
Selanjutnya Maryam dan kawan-kawan menemui seorang petani sekaligus pakar kopi di Pangalengan, Bandung. Namanya Supriatna Danuri. Maryam pun menjelaskan apa yang ditemuinya di Sembalun.
Ia meminta Supriatna untuk datang ke Sembalun untuk memberikan pelatihan kepada para petani di sana, bagaimana cara bertani kopi dengan baik dan benar. Mendengar cerita Maryam, Supriatna menunjukkan keprihatinannya, tapi ia langsung menyanggupi.
Tidak itu saja. Maryam juga memberitahu teman-temannya baik yang di Indonesia maupun di luar negeri tentang pengalamannya di Sembalun, Lombok, dan rencana ke depan bersama Supriatna dan Baraka Nusantara. Maryam meminta kepada teman-temannya untuk membantu memasarkan kopi dari Sembalun. Selain itu, Maryam juga mengabarkan bahwa ia bersama teman-temannya berniat membantu masyarakat Sembalun untuk membangun sebuah sekolah di sana.
Selang beberapa bulan kemudian, Maryam, Supriatna, dan rombongan datang ke Sembalun untuk memberikan pelatihan bertani kopi. Sesampainya di Sembalun, Supriatna langsung menuju ‘hutan kopi’. Dia begitu terkagum-kagum, kopi yang tumbuh di hutan saja kualitasnya bisa begitu bagus apalagi kalau dirawat dengan baik.
Menurut dia, letak geografis Sembalun sangat ideal untuk tanaman kopi, dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut, dan tingkat curah hujan yang baik membuat pohon kopi di Sembalun bisa terus berbuah sepanjang tahun.
Lapisan tanah vulkanik memberi mineral berlimpah yang dibutuhkan pohon kopi. Awan tropis dan jenis pepohonan tinggi yang hidup di sana memberikan perlindungan natural bagi tanaman kopi dari sinar matahari yang berlebihan.
Pelatihan yang diadakan tidak hanya diikuti oleh para petani kampung itu, tapi petani dari desa tetangga pun berdatangan. Supriatna juga menerangkan nilai-nilai filosofis kopi.
Selanjutnya, lanjut Maryam, para petani mulai merawat pohon-pohon kopi yang tumbuh di hutan, dan menangkarkan bibit-bibit kopi untuk ditanam lahan yang sudah disiapkan.
“Mereka mau mengubah sebagian lahan kebun sayurnya untuk ditanami kopi. Kami dari Baraka Nusantara memberikan arahan dan pendampingan,” kata Maryam.
Sebenarnya Maryam ingin menyebarkan bibit kopi Sembalun untuk ditanam di daerah lain yang memiliki karakteristik geografis dan topografis yang relatif sama.
“Saya pernah menanamnya di Jakarta, tapi tumbuhnya tidak bagus. Mungkin kalau di daerah Puncak bisa lebih baik,” ujarnya.
Pada tahun ketiga setelah penanaman, pohon-pohon kopi sudah berbuah. Pada panen pertama tahun 2015, jumlah kopi yang dihasilkan dari tanaman baru dan pohon kopi yang ada di hutan, mencapai dua ton. Kemudian pada tahun kedua meningkat menjadi empat ton buah kopi.
“Setelah dikeringkan, menjadi sekitar 800 kilogram kopi siap giling. Kami juga membantu memasarkannya di Jakarta. Kopi Arabika dari Sembalun itu kami namai Kopi Pahlawan. Karena kopi itu, masyarakat Sembalun bisa meningkat kesejahteraannya,” kata Maryam.
Sebagai catatan, harga biji kopi Arabika kering di pasar berkisar antara Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu per kilogram. Hasil dari penjualan kopi, sebagian disisihkan untuk biaya pembangunan sekolah, sisanya dibagikan kepada para petani. Penghasilan dari bertani kopi sangat membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga para petani.
Tapi, sebagian dari hasil penjualan kopi itu belum mencukupi untuk membangun gedung sekolah. Karena ingin cepat mewujudkan bangunan sekolah di Sembalun, Maryam dan kawan-kawan mengumpulkan dana dengan cara menyebarkan charity coffee brochure melalui teman-temannya di Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. Hasilnya, ditambah dengan dana yang ada, cukup untuk membangun bangunan sekolah, yang kemudian dinamai “Rumah Belajar Sankabira”.
Maryam bercita-cita, ke depan ia bersama Baraka Nusantara bisa membantu lebih banyak lagi masyarakat marginal di berbagai daerah di Indonesia dengan memberdayakan potensi sumber daya alam yang terdapat di tiap-tiap daerah. Itulah Maryam, yang memberdayakan masyarakat Sembalun melalui revitalisasi tanaman kopi dengan senyumnya yang menawan.