Seusai pemutaran perdana film ‘Labuan Hati’ karya Lola Amaria di Jakarta, aktris yang juga mantan Putri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata terlihat sumringah berbincang dan berfoto dengan para penggemarnya. Ia berharap, film ‘Labuan Hati’ bisa mensosialisasikan beberapa daerah tujuan wisata di Nusa Tenggara Timur.
Di film itu Nadine berperan sebagai ‘Indi’, seorang wisatan domestik asal Jakarta yang ingin melupakan persoalan klasik kaum urban dengan menikmati berbagai keindahan alam khas Nusa Tenggara Timur, khususnya Labuan Bajo. Judul film ‘Labuan Hati’ merupakan plesetan dari Labuan Bajo.
Promosi Indonesia di pasar pariwisata internasional, menurut Nadine, sangat kurang. Padahal cara berpromosi satu daerah tujuan wisata bisa bermacam-macam, film salah satunya.
Ketika topik pembicaraan berpindah tentang pembangunan kepariwisataan Indonesia, Nadine tampak lebih antusias. Sebuah pertanyaan dilontarkan kepadanya, menurut data, pada tahun 2016 wisatawan asing yang datang ke Indonesia hanya 10,5 juta orang, sedangkan yang datang ke Thailand lebih dari 30 juta orang.
Nadine mengemukakan tesisnya, bahwa promosi, pembangunan infrastruktur penunjang seperti bandara, pelabuhan, jalan raya, listrik, serta fasilitas kepariwisataan hotel dan lain-lain, adalah penting.
Tapi, sambil menjulurkan tangan dan jarinya mulai menghitung, ia mengatakan, di luar semua itu ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk bisa membangun satu daerah menjadi tujuan wisata, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, pertama keamanan.
Keamanan yang ia maksudkan, melingkupi keamanan dari tindak kejahatan serta aman dari kecelakaan dan tertular penyakit.
“Siapapun tidak akan datang ke satu tempat jika tempat itu tidak aman. Seindah apapun daerah itu. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi,” kata Nadine.
Kedua, kebersihan. Hal ini adalah yang paling sulit diwujudkan di Indonesia. Ia menyebutkan, banyak daerah tujuan wisata di Indonesia yang sebenarnya memiliki banyak objek yang bisa ditawarkan kepada para wisatawan, namun tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya.
Mungkin sudah menjadi ciri khas Indonesia, di mana ada keramaian, disitulah sampah berserakan. Tempat-tempat wisata seperti itu hanya akan dikunjungi oleh wisatawan lokal yang tidak peduli dengan masalah kebersihan.
Sementara wisatawan yang memiliki eksposur pengeluaran cukup besar kemungkinan besar tidak akan datang. Bagaimanapun, jika di satu tempat terlihat berserakan sampah, itu menggambarkan banyak hal.
Pemerintah atau pengelola tempat wisata itu tidak kredibel, standar kebersihan di daerah itu rendah, dan yang pasti, dapat dipastikan tempat itu tidak memiliki sistem pengolahan sampah yang baik.
Tentu saja, sampah yang tidak ditangani dan diolah sebagaimana mestinya, akan menjadi sumber penyakit. “Kalau di satu tempat kita melihat banyak sampah berserakan, eagerness kita langsung hilang. Boro-boro mau berlama-lama berada di daerah itu, mau makan saja gak selera.”
Ketiga, yang menurut Nadine adalah yang terpenting, adalah pendidikan. Pelaku industri pariwisata itu bukan hanya investor pemilik hotel atau wahana pariwisata, tapi lebih penting lagi adalah masyarakat keseluruhan yang tinggal di daerah atau kota tujuan wisata tersebut.
Di semua kota atau bahkan negara tujuan wisata, ditunjang oleh industri rumahan. Produknya bisa makanan, pakaian, cenderamata, yang keseluruhannya diproduksi oleh masyarakat setempat.
Itu berlaku di seluruh kota di dunia, kecuali Jakarta. Wisatawan asing yang datang ke Jakarta tidak akan dengan mudah menemui toko atau kios cenderamata juga pakaian khas Jakarta. Kebanyakan turis asing menemui kendala ketika berniat mencari cenderamata semacam gantungan kunci atau kaos bergambar Monas. Padahal, produk-produk itu dihasilkan oleh masyarakat.
Nah, masyarakat inilah yang harus mendapatkan pendidikan yang baik bagaimana menjadi tuan rumah bagi para wisatawan yang datang. Siapapun bisa membedakan satu kota yang masyarakatnya well educated dengan yang under educated. Masyarakat yang well educated dan sadar wisata, pasti tahu peluang ekonomi apa yang bisa mereka raih, dan bagaimana harus bersikap terhadap para wisatawan.
“Mulai dari bandara saja kita bisa tahu, kota yang kita datangi itu masyarakatnya seperti apa. Kalau di bandara kita sudah bisa merasakan nyaman, diperlakukan dengan baik, maka bisa dipastikan hal-hal lain berikutnya akan sesuai dengan harapan kita, kotanya aman, tertib, bersih, dan seterusnya. Tapi kalau di bandara itu kita sudah merasakan tidak nyaman, bisa dipastikan pula kita akan mendapatkan pelayanan yang kurang baik dalam berbagai urusan. Jadi, menurut saya, pendidikan adalah kunci sukses keberhasilan pembangunan kepariwisataan,” Nadine memaparkan.
Seperti yang dikatakan Nadine, berapapun mahalnya berlibur di Monaco atau Paris, orang-orang dari berbagai penjuru dunia tetap datang. Karena mereka bisa menikmati suguhan wisata yang memuaskan.
Di negara-negara yang pernah ia singgahi, layanan wisata itu diberikan bukan hanya oleh pemilik hotel atau toko tempat belanja, tapi oleh seluruh masyarakat yang tinggal di kota itu. Karena setiap wisatawan yang datang ke satu daerah tujuan wisata, akan kecewa dan tidak akan datang lagi jika mendapat perlakuan yang tidak fair, tidak merasa aman dari tindak kriminal atau diskriminasi sekecil apapun.
Sementara di Indonesia banyak kota yang memiliki obyek wisata yang bagus, tapi tidak dikelola dengan baik, sikap masyarakatnya tidak memberikan rasa aman, perlakuan lembaga-lembaga yang seharusnya memberikan layanan baik justru memperlakukan wisatawan sebagai obyek pemerasan.
Misalnya, ada beberapa obyek wisata air terjun yang sangat bagus di satu kabupaten. Tapi, di perjalanan menuju ke obyek wisata itu, wisatawan yang datang sudah dipungut retribusi yang dasarnya tidak jelas. Itu dilakukan oleh orang-orang berseragam Pemkab setempat.
Begitu juga ketika membayar parkir. Sudah tidak jelas tiketnya, tarifnya tidak wajar, uang parkirnya diminta di muka, keamanan tidak terjamin, dan nanti pas akan keluar, datang lagi orang yang minta lagi bayaran ‘parkir’. Bahkan di tempat wisata tertentu, tiket masuk ke objek wisata, harganya dibedakan antara wisatawan domestik dengan wisatawan asing.
Kesan yang ditimbulkan dari pengalaman-pengalaman tidak menyenangkannya berkunjung ke obyek wisata seperti itu. Artinya, selain masyarakat, jajaran birokrasi pun harus ‘dididik’ agar dapat melek pariwisata, ‘tourism oriented’, toh ujung-ujungnya mereka pula yang kelak akan mendapatkan benefit.