Dengan banyak membaca gejala hoax bisa dengan mudah dicegah, jika masyarakat mempunyai minat dan kesadaran membaca yang relatif tinggi. Selain akan dengan mudah mengenali berita palsu, membaca pun dapat menumbuhkan kemampuan menganalisis impuls atau berita.
Dalam pandangan umat Islam, Ramadhan adalah bulan suci dan lebih baik dibanding-bulan-bulan lainnya. Di bulan suci ini keseluruhan wahyu dari Tuhan tuntas disampaikan kepada kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira, peristiwa ini dikenal dengan Nuzulul Qur’an. Kata pertama dari Al Qur’an yang dilanggamkan Tuhan pada utusanNya itu adalah ‘Iqra…’ (‘Baca…’). Jadi perintah pertama Tuhan kepada manusia adalah membaca.
Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim sudah pasti hafal betul momen bersejarah itu. Jika patuh pada perintah Tuhan, seyogyanya umat Islam memiliki semangat untuk mengekslporasi ilmu pengetahuan melalui budaya membaca yang sudah diperintahkan secara tegas oleh Tuhan.
Namun, rasanya harapan itu masih jauh dari realitas. Menilik hasil survei PBB, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Indonesia adalah salah satu negara dengan minat baca terendah kedua di dunia setelah Botswana. Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei UNESCO.
Kondisi itulah yang membuat Tuan Rumah acara ‘Mata Najwa’ di MetroTV, Najwa Shihab, begitu antusias mengkampanyekan budaya literasi kepada masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Najwa Shihab pun ditunjuk oleh Perpustakaan Nasional sebagai Duta Baca Indonesia, melanjutkan estafet dari seniornya di MetroTV, Andy F. Noya.
Najwa mengaku sangat prihatin dengan minat baca masyarakat Indonesia yang teramat rendah. Ia mengungkapkan, rata-rata orang Eropa membaca 25 judul buku dalam setahun, orang Singapura 17 buku setahun, namun orang Indonesia, membaca satu buku pun perlu bertahun-tahun.
Dalam hal lain, Indonesia adalah negara dengan pengguna internet terbesar ke-6 di dunia, sekaligus sebagai negara dengan jumlah pemilik akun media sosial tertinggi di dunia. Tapi lagi-lagi terjadi anomali. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan internet bukan untuk membaca, belajar, riset, atau bekerja. Tapi untuk berekreasi, bersosial-media, dan aktivitas sejenisnya.
Lebih buruk lagi, kalaupun mereka mau membaca, maka obyek bacaannya yang bersifat sensasional. Tak peduli yang dibacanya itu bernilai atau tidak, informasi yang benar atau bukan, dan seterusnya. Karenanya, tak heran jika hoax atau informasi palsu yang sensasional dan kontroversial sangat mudah diterima, diteruskan, berseliweran memenuhi ruang jemala masyarakat.
Menurut Nana, demikian ia biasa disapa, gejala tersebut sebetulnya bisa dengan mudah dicegah, jika masyarakat mempunyai minat dan kesadaran membaca yang relatif tinggi. Selain akan dengan mudah mengenali berita hoax, membaca pun dapat menumbuhkan kemampuan menganalisis impuls atau berita.
“Harus menjadi pembaca yang bisa memahami. Itu berita palsu, ini bukan, dan itu harus dilatih, sama halnya dengan olah raga. Kemampuan kita harus terus dilatih. Membaca memahami makna, menghubungkan satu ide dengan yang lain, mencari hubungan kausalitas, kemampuan menganalisa didapat dari banyak membaca,” jelas Najwa Shihab.
Ia menambahkan, beberapa kendala yang menyebabkan minimnya minat baca, bukan semata karena masyarakatnya yang enggan, namun fasilitas dan akses yang bisa dimanfaatkan juga masih sangat kurang memadai. Problem untuk di daerah pelosok juga berbeda-beda, terutama soal infrastruktur yang masih tidak mendukung, yang akhirnya akses bagi masuknya buku-buku ke daerah, untuk dibaca anak-anak juga jadi terbatas.
Najwa yang juga putri dari ulama termashur nan sejuk, Quraish Shihab, mengaku senang ketika Presiden Jokowi memperhatikan soal akses buku bagi masyarakat di daerah terpencil. Di depan para pegiat literasi yang diundang ke Istana, Presiden Jokowi memberikan maklumat untuk menggratiskan distribusi buku pada satu hari di setiap bulan melalui kantor pos.
“Excited sekali. Setiap kali ke daerah, bertemu dan melihat para pegiat literasi, perpustakaan. Mereka selalu bersemangat. Tapi bagaimana kemudian semangat itu bisa terus berlanjut? Seperti di Sumatera Barat, buku diantar ke keluarga, satu keluarga dipinjami empat sampai lima buku selama dua minggu. Dalam perjalanannya belum dua minggu mereka sudah minta buku lagi. Jadi saya percaya, begitu orang kenal dan dikasih buku, mereka akan mau membaca dan mulai mencari (bacaan lain). Karena problemnya, bagaimana kita memberikan akses, terutama ke orang-orang yang di pelosok,” paparnya.
Najwa Shihab menyayangkan, kalau akses terhadap buku yang sudah begitu besar dan mudah bagi masyarakat di kota-kota besar, justru tidak mendorong semangat untuk menggali ilmu, melalui buku bacaan, dan selalu saja kalah oleh gadget.
Maka, bersama Perpustakaan Nasional ia merancang aplikasi pada smartphone e-Pusnas (Perpustakaan Nasional elektronik). Hal itu sebagai salah satu upayanya untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Konten dari e-Pusnas tersebut cukup bervariasi, yaitu buku-buku yang disesuaikan dengan berbagai tingkatan usia pembacanya.
“E-Pusnas platform ini kita publish, dengan memanfaatkan trend di yang masyarakat yaitu penggunaan gadget,” jelas Najwa.
Ia menyimpulkan, poin utama dalam meningkatkan minat masyarakat berliterasi, adalah kemudahan. Di daerah problemnya bisa dalam hal pengiriman buku gratis, sedangkan di perkotaan masyarakatnya sudah dijamah internet. Menurut Najwa, pada dasarnya semua anak memiliki naluri untuk mengeksplor ilmu pengetahuan. Jadi, harus ada perubahan cara pandang, bahwa ‘perpustakaan’ itu bukan lagi kata benda, melainkan kata kerja.
“Kita yang harus mendatangi, kita yang harus memberikan kemudahan pada mereka. Tugas saya berkeliling ke daerah-daerah, kampus, sekolah, komunitas-komunitas, dan menjadi penghubung dengan pemerintah. Intinya mengajak orang untuk membaca buku, entah itu cetak atau elektronik,” jelasnya.
Selain menjadi Duta Baca Nasional, perempuan kelahiran Makassar 16 September 1977 ini juga didapuk menjadi Duta Pustaka Bergerak. Yakni gerakan sukarela meningkatkan minat baca dengan dukungan orang-orang yang sangat mencintai buku. Bersama Pustaka Bergerak, Najwa mengaku optimistis karena di luar sana masih banyak orang yang peduli akan pentingnya sebuah buku.
Dari kegiatannya itu, banyak kisah-kisah menyentuh terkait dengan buku. Misalnya, ada seorang mantan atlet angkat berat di Papua yang rela memanggul nokennya yang berisi buku-buku dengan menyusuri pegunungan agar masyarakat Papua di pelosok bisa membaca buku.
Ada pula komunitas di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, memiliki perahu pustaka yang berlayar dari pulau ke pulau dengan tujuan membawa buku untuk dibaca masyarakat di pulau-pulau yang disinggahinya.
Kisah lain. Yudi, seorang pria dari desa di Wonogiri yang berjualan burger ke pelosok desa sembari meminjamkan buku bacaan untuk anak-anak. Ada juga Sugeng yang dengan sepeda motor jadulnya menyusuri jalan berbukit di Lampung untuk mengantarkan buku-buku ke desa-desa.
Siapa sangka inisiatif mereka semua mendapat perhatian khusus dari orang nomor satu di negeri ini, Presiden Jokowi? Pada bulan Mei 2017 lalu, mereka memenuhi undangan Presiden ke Istana Negara. Ini membuktikan bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Dukungan dari Kepala Negara yang sangat berarti, pun mereka dapatkan.
Ia menekankan bahwa tantangan untuk meningkatkan minat baca itu bisa menjadi gerakan, bukan jadi program. Kalau program, seolah-olah dari pemerintah, kalau gerakan semua orang terbuka, terlibat, dan harus turut melakukan.
Semakin banyak orang yang menjadi duta baca, semakin banyak orang yang memperkenalkan buku, semakin banyak orang yang terlibat dalam penyebaran buku. Pada akhirnya minat baca masyarakat Indonesia akan meningkat.
Terakhir, Najwa bernasihat, dengan membaca, makin banyak manfaat yang bisa didapat untuk kesehatan jiwa. Membaca buku membuat hidup lebih bahagia, berkualitas, dan jauh dari stress. Membaca buku juga mencegah pikun, karena ada banyak syaraf yang bekerja saat membaca. Dan, bagi umat Islam, membaca itu adalah ibadah, menjalankan perintah pertama dari Tuhan. Membacalah!