DALAM beberapa bulan terakhir, reporter sekaligus presenter berita MetroTV, Marializia Hasni lebih sering membawakan berita pada malam hari. Meski tampil ketika sebagian besar orang sedang terlelap tidur, Maria tetap tampil segar, gerak air muka dan bola matanya yang bulat, ‘menari’ mengikuti atmosfir berita-berita yang disampaikannya.
Bekerja pada dini hari, bukan masalah bagi seorang jurnalis. Begitu juga Maria. Jurnalis adalah profesi yang hanya jika engkau mencitainya, maka engkau boleh memilihnya. Jurnalis adalah satu profesi yang harus dijalani dengan komitmen, integritas, kecintaan yang tinggi. Jika tidak, akan menjadi siksaan dan kesia-siaan. Maria, perempuan kelahiran Solo, 5 Juni 1990, telah menentukan jalan hidupnya sebagai jurnalis.
Maria tahu, tidak jarang seorang jurnalis harus bertaruh nyawa dalam menjalankan tugasnya. Risiko tidak memilih-milih jurnalis itu laki-laki atau perempuan. Sudah tak terhitung jumlahnya jurnalis yang tewas ketika melakukan tugas di daerah konflik. Tapi, panjangnya daftar jurnalis yang tewas dalam tugas tidak menyurutkan minat orang-orang yang telah terketuk hatinya untuk selalu mengabarkan kejadian yang sebenarnya. Menjalankan tugas jurnalistik dengan risiko tinggi, khususnya meliput di wilayah konflik seperti penasbihan diri sebagai seorang jurnalis.
“Saya akan senang sekali jika satu waktu ditugaskan untuk meliput di wilayah konflik,” kata Maria tanpa ragu.
Dunia jurnalistik bukan hal baru bagi Maria. Sejak tahun 2008 ketika masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Maria sudah menjadi jurnalis freelance di Jawa Pos TV. Setelah lulus tahun 2012, ia sempat bekerja di sebuah law firm di Surabaya. Namun bekerja di bidang yang sesuai disiplin ilmu yang didalaminya hanya bertahan selama empat bulan. Ia pun kembali ke bidang pekerjaan di mana hatinya telah tertaut erat, jurnalistik. Melamar ke MetroTV, dan diterima.
Pengalaman khas jurnalis, baru ia alami setelah lebih dari dua tahun bergabung dengan MetroTV. Akhir tahun 2014 Airbus 320 Air Asia QZ8501 jatuh di Laut Jawa dalam penerbangan dari Surabaya menuju Singapura. Beberapa hari Maria ditugaskan meliput di Crisis Center, Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Ketika ia berada di Halim, Korlip (Koordinator Liputan) meneleponnya, dan memintanya segera bergerak ke Pelabuhan Tanjung Priok. Di sana ada kapal SAR (search and rescue) yang hendak berangkat ke perairan di lepas pantai Kota Karingin Barat untuk mencari black box pesawat yang jatuh. Waktu itu Maria sembat bertanya, apakah tidak bisa ke rumah dulu untuk mengambil pakaian? Tentu tidak. Kapten Kapal SAR tidak akan menunda keberangkatan, karena menunggu Maria ke rumah dulu membawa pakaian.
“Berangkat saat itu juga. Jadi cuma bawa baju yang dipakai, berlayar di tengah laut selama empat hari tanpa sinyal pula. Hal yang paling gak bisa lupa waktu itu, saya satu-satunya cewek di kapal, sampe harus minjem pakaian ABK untuk ganti baju. Padahal mereka cowok semua. Di sana aku liputan selama 18 hari. Itu memorable banget,” cerita Maria.
Sebenarnya, pada masa training, ia sudah diberi tahu, sebagai jurnalis sangat mungkin ada tugas yang harus mendadak, yang harus dijalankan saat itu juga. Jadi, hasrus selalu siap. “Ternyata aku ngalamin juga.”
Sebagai jurnalis dan news anchor, Maria ingin berkontribusi dalam memajukan masyarakat, dengan memberikan informasi yang edukatif dan mencerdaskan. Menurut dia, jurnalis memiliki kemampuan untuk membentuk public opinion, dan itu harus dimanfaatkan dengan baik.
Di Indonesia profesi jurnalis dan news anchor seolah terbatasi oleh usia. Berbeda dengan di negara-negara maju, para reporter dan news anchor CNN, BBC, CNBC, dan lain-lain, umumnya sudah sangat senior. Di masyarakat yang sudah sangat madani senioritas para reporter, pembawa acara berita, host talkshow, menjadi garansi bahwa mereka menguasai persoalan atau isu dari berita yang disampaikan atau topik talkshow yang dibahas.
Sementara di Indonesia paradigmanya berbeda, jurnalis dan penyiar televisi itu harus muda dan cakep. Persoalan apakah mereka memahami persoalan dari berita yang disampaikan? Itu tidak penting.
“Saya tidak setuju. Mungkin itu dulu, sekarang saya rasa, ada perubahan mindset baik di masyarakat, maupun di industri media itu sendiri. Contohnya Najwa Shihab, saya yakin dia akan terus menggeluti dunia jurnalistik. Dulu mungkin belum seberkembang seperti sekarang. Contoh lain, Christiane Amanpour, dia salah satu idola saya di CNN, show dia paling unggul. Dia salah satu yang paling senior. Keterbatasan let’s say ‘keriput’, itu tidak mengurangi minat pemirsa untuk menontonnya, justru malah makin menarik.”
Maria mengaku, sulit baginya untuk meninggalkan dunia jurnalistik. Apalagi hanya karena usia. Jadi, kalaupun ia sudah tidak dibutuhkan lagi oleh institusi media tempatnya bekerja saat ini, ia memastikan tidak akan jauh-jauh dari dunia jurnalistik.
“Kalaupun tidak lagi menjadi jurnalis, saya bercita-cita punya sekolah jurnalistik. Passion saya di sana, dan itu bukan sekadar materi.”
Jurnalistik dan Ke-Indonesia-an
Sejak Pilpres 2014 sampai sekarang, masyarakat Indonesia seolah terbelah menjadi dua kelompok besar, karena perbedaan keberpihakan politik. Perbedaan itulah yang menjadi titik tolak dalam memandang setiap persoalan politik yang muncul kemudian. Maria menilai kondisi itu sebagai kemunduran sebagai bangsa.
“Untuk masalah keberagaman sebagai satu bangsa itu ada sedikit friksi. Saya sedih melihatnya, harusnya tuh gak begini keadaannya. Saya berharap kita masih bisa mempertahankan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Tapi kadang-kadang saya denial, saya masih optimistis, ini mungkin karena kontestasi politik kemarin segala macam. Tapi saya yakin, hal-hal seperti itu pasti akan terlewati.”
Menurut Maria, semua masalah kompleks itu muncul, sebagai penegasan bahwa Indonesia masih sebagai negara berkembang, belum menjadi negara maju. Di bidang apapun belum ada yang nilainya mencapai 90%.
“Semuanya masih nanggung. Kesenjangan masih ada, tingkat kesejahteraan juga belum merata. Kita masih berkembang. Itulah faktor-faktor penyebabnya. Tapi balik lagi di kekuasaan, dengan power lebih yang mereka miliki, mereka bisa mengontrol orang-orang yang kesejahteraanya tidak terjamin, dan memanfaatkannya,” Maria menjelaskan.
Lalu, sebagai bangsa, perlukan kita bersumpah lagi untuk meneguhkan ke-Indonesia-an kita? Tidak perlu, kata Maria. Ia berpendapat, individu, sebagai unit terkecil dari bangsa, cukup mengurusi dan memperbaiki sikap dan laku diri sendiri saja. Contoh kecilnya, tidak buang sampah sembarangan, berlaku tertib, karena sekarang era sosial media, hanya menyebarkan informasi yang positif saja.
“Kita pasti punya akun sosial media, sekarang ranah sosial media itu mengerikan. Dari situ kita bisa berperan sebagai individu untuk tidak menyebarkan pesan-pesan negatif, dan kalaupun ada informasi semacam itu, kita jangan ikutan terpancing. Sebetulnya dari hal kecil kayak gitu aja sudah cukup. Sumpahnya itu untuk diri sendiri,” kata Maria.
Di sisi lain, ada juga media massa yang partisan, yang hanya menyampaikan berita-berita yang sesuai dengan selera politiknya, meski tidak ditunjang fakta dan data akurat. Ia mengaku tidak kaget dengan media seperti itu. Bahkan, media internasional sekalipun tidak ada yang benar-benar independen ‘one hundred percent’. Mereka hanya menyiaran berita yang secara subyektif mereka yakini benar.
“Kita harus punya sudut pandang yang baik, baik bagi masyarakat. Tapi tetap harus ditunjang dengan data-data akurat. Kalaupun saat ini keberpihakan politik masyarakat dan media terbelah, kita harus memihak salah satu yang memberikan informasi yang baik pada masyarakat,” ujarnya.
Persoalannya, secara normatif keberpihakan itu ada batasnya. Dampak dari pemberitaan itu seperti apa? Kalau banyak negatifnya, harus dihindari. Sebagai jurnalis, ia harus bisa membaca itu, bagaimana publik opini terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk berita.
Ia mencontohkan, institusi media tempatnya bekerja, banyak memberitakan satu orang tokoh dalam satu kontestasi politik. Setelah itu, masyarakat meresponnya dengan hujatan. Dari situ ia belajar memperbaiki diri. Mungkin, publik tidak melihat secara keseluruhan, tapi kata Maria, perubahan itu memang ada di media tempatnya bekerja, antara lain ditampilkannya program-program yang acceptable di masyarakat luas.
Maria menambahkan, pada Indonesia yang situasi dan kondisnya seperti saat ini, masyarakat tetap menanamkan harapan menjadi lebih baik di masa datang. Menurut Maria, 10 sampai 15 tahun ke depan itu waktu yang singkat.
Ia mengaku tetap optimistis. Setidaknya, di bidang ekonomi Indonesia akan lebih maju. Alasannya, saat ini pemerintah sangat giat membangun infrastruktur yang tak lain sebagai penunjang utama pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Kalau infrastrukturnya memadai, pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya masih setengah-setangah, tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat, perlahan akan naik, kesejahteraan meningkat, kesenjangan akan turun. Dalam kondisi yang lebih sejahtera, masyarakat tidak gampang terprovokasi, dan kembali menjadi bangsa yang bersatu.
Itu persoalan di dalam negeri, internal. Tapi, sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa proses globalisasi tidak mungkin bisa dihentikan. Konsekuensinya, masyarakat Indonesia harus meningkatkan daya saing dalam berbagai bidang, agar tidak tergerus dan hanya menjadi pasar. “Tantangannya memang berat, tapi harus dijalani.”