Bagi kaum commuterian yang tinggal di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, KRL Commuterline Jabodetabek begitu dicintai dan dinantikan, seperti Hermes, Dewa Perjalanan dalam mitologi Yunani, yang selalu dinantikan oleh warga Olympus.
Bagaimana tidak, sekitar 400 ribu dari 1,4 juta orang yang setiap hari bergerak masuk ke Jakarta, mengandalkan KRL Commuterline sebagai wahana transportasi. Jika tidak ada gangguan, meski harus berdesakan, namun bisa melaju cepat tanpa hambatan. Sehingga mereka bisa datang ke tempat kerja tepat pada waktunya.
Tahun 2017 ini Kereta Api Indonesia Commuterline Jabodetabek berulang-tahun yang ke-100. Tahun 1917, pertama kali Pemerintah Hindia Belanda mengoperasikan kereta listrik bernama Staats Spoorwegen. Zaman berganti, kereta listrik di Jakarta terus melaju.
Sejak tanggal 19 September 2017 PT Kereta Api Indonesia Commuterline Jabodetabek (KCJ) bersalin nama menjadi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) selaku operator KRL Commuterline Jabodetabek, Rangkasbitung dan Cikarang.
Pemerintah memutuskan untuk mengembangkan transportasi modern Jabodetabek dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011. Dalam Perpres itu diatur hubungan antara PT Kereta Api Indonesia dengan PT Kereta Commuter Indonesia.
Satu studi yang dilakukan oleh PT LAPI ITB menyebutkan, sampai tahun 2022 jumlah penumpang KCJ akan terus meningkat. “Di situ disebutkan persyaratannya apa saja, KAI harus bangun apa, KCI harus beli apa, semua itu melekat. Lalu diputuskan, berdasarkan proyek LAPI itu jumlah penumpang di 2019 mencapai 1,2 hingga 1,3 juta orang per hari,” kata Muhammad Nurul Fadhila, Direktur Utama PT KCI.
Fadhila menerangkan, kalau kita bicara mobilitas penduduk Jabodetabek, sekarang ini definisi Jabodetabek itu melebar, karena sudah termasuk Rangkas, Cibinong, dan Cikarang. Itu yang mendasari ditetapkannya proyeksi 1,2 juta penumpang per hari.
Sebetulnya, jumlah penumpang per hari yang ingin dikejar oleh PT KCI, lebih dari 1,2 juta sesuai hasil studi LAPI ITB. Tapi pada tahap awal, KCI harus bisa merealisasikan target itu terlebih dahulu.
Salah satu upaya yang dilakukan KCI setiap tahunnya ialah menambah unit kereta. Konsekuensinya, dengan frekuensi perjalanan yang semakin tinggi, maka headway atau jeda antara satu perjalanan kereta api dengan perjalanan sebelumnya atau berikutnya, akan semakin pendek. “Sekarang, pada jalur ke Bogor, headway-nya sudah lima menit. Lalu, apakah bisa kalau tiga menit? Bisa. Kalau dua menit? Bisa,” kata Fadhila.
Akan tetapi, menurut Fadhila sejauh ini masih banyak perlintasan kereta api – jalan raya. Sehingga, jika headway diturunkan menjadi kurang dari lima menit, kemacetan lalu lintas di sekitar perlintasan kereta api akan semakin sering dan semakin parah. Untuk menambah kapasitas angkut kereta ada dua pilihan, yaitu menambah jumlah perjalanan dan menambah kapasitas angkut. Fadhila memilih yang kedua.
“Nah, saya gak bisa gitu kan? Makanya kita membuat inovasi, pada saat wakil ITB mendesain pengembangan Jabodetabek, mereka menyarankan satu rangkaian KRL terdiri atas 10 gerbong. Tapi, agar headway tidak makin pendek, diputuskan 12 gerbong. Jadi, frekuensinya saya tahan. Agar jumlah penumpang yang diangkut makin banyak, tapi kemacetan di jalan raya tidak makin parah, maka saya panjangin rangkaiannya,” Fadhila menjelaskan.
Menanggapi kecenderungan makin tingginya frekuensi perjalanan KRL commuterline, akhir tahun 2016 Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono mengeluarkan kebijakan untuk menutup 14 perlintasan kereta api sebidang di wilayah DKI Jakarta. Kebijakan itu dilakukan bersama Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya yang implementasinya dalam tiga tahap.
“Tujuan penutupan perlintasan kereta api sebidang tersebut, untuk mengurangi kemacetan dan angka kecelakaan. Perlintasan kereta api sebidang sering menjadi sumber kemacetan sekaligus lokasi kecelakaan,” kata Prasetyo.
Tahap pertama, Desember 2016 – April 2017 dilakukan penutupan atas empat perlintasan. Tahap dua, Mei 2017 – Agustus 2017 lima perlintasan, dan tahap tiga pada September 2017 – Desember 2017 lima perlintasan.
Saat ini KCI sudah mengoperasikan 18 KRL dengan rangkaian 12 kereta. Awalnya KRL terdiri atas enam kereta, lalu bertambah menjadi delapan, kemudian sepuluh. Saat ini KCI sedang berupaya menghapus rangkaian delapan kereta.
Tapi, agar tidak terjadi idle perjalanan KRL (dalam satu perjalanan jumlah penumpangnya sangat sedikit) maka KCI melakukan pengaturan. Caranya, untuk jurusan-jurusan tertentu yang penumpangnya tidak banyak, maka penumpangnya harus transit di stasiun tertentu dan melanjutkan perjalanan dengan kereta yang berbeda.
Setiap tahun jumlah perjalanan kereta dan jumlah penumpang terus meningkat. Ini terkait dengan tingkat kenyamanan penumpang ketika berada di stasiun dan di dalam kereta. Keluhan yang paling sering disampaikan adalah AC-nya kurang dingin.
“Lho, sekarang saya tanya, kalau pada peak hours, kereta terisi penuh, bahkan sesak, AC berteknologi apapun, yang paling mahal, tidak akan bisa mendinginkan udara di kabin. Apalagi kita di daerah tropis. Apa yang saya lakukan? Ya itu tadi, memanjangkan rangkaian. Tidak bisa cepat, iya. Tapi kami terus berusaha,” kata Fadhila.
Mengenai kereta-kereta yang didatangkan, Fadhila mengaku, ia harus berhitung ekonomi. Karenanya, kereta-kereta yang dibelinya dari Jepang bukan kereta baru, tapi masih sangat layak pakai.
Toh, kereta-kereta yang diproduksi pada tahun yang sama dengan kereta-kereta yang di jual ke Indonesia, di Jepang masih digunakan. Hingga kini Jepang masih mengopersikan KRL seri 205 dan seri 6000. Artinya, kereta-kereta yang kini digunakan KCI sama dengan yang digunakan di Jepang.
“Sekarang kalau saya datangkan kereta baru, apakah tarif bisa naik? Kita bicara ekonomi. Saya beli 10 trainset itu Rp 10 miliar. Saya bilang bukan baru, tapi saya juga gak mau dibilang itu kereta bekas. Itu kereta layak pakai,” kata Fadhila.
Meningkatnya frekuensi perjalanan harus diikuti dengan upaya mereduksi seminimal mungkin keterlambatan setiap perjalanan kereta. Menurut dia, persoalan itu terjawab, di mana pemerintah sekarang sedang menggenjot pembangunan jalur ganda baru, DDT double-double track.
Isunya bukan jalur double track-nya tapi Stasiun Manggarai. Stasiun Manggarai sampai tahun 2019 akan dibangun lebih dari satu lantai. Nanti, secara fisik jalur menuju Bekasi, jalur menuju Bogor dan jalur antar kota akan dipisahkan. Sehingga tidak ada lagi halting karena menunggu giliran masuk ke Stasiun Manggarai.
Setelah pembangunan hub Stasiun Manggarai selesai, kereta api antar kota masih bisa masuk Gambir, bisa masuk Manggarai. Tapi perjalanan Gambir-Manggarai itu menggunakan rel sendiri.
Stasiun Manggarai akan memiliki tiga lantai. Lantai dua akan diisi KRL Bogor. Mulai dari Tebet akan dibangun rel layang hingga masuk ke lantai 2 Stasiun Manggarai, dan tersambung ke Cikini. KRL Bekasi di lantai satu, dan kereta antar kota di lantai tiga.
“Apa konsekuensinya? Penumpang harus transit, enggak bisa enggak. Kita lihat Jepang, berapa lapis track-nya, orang yang harusnya berpindah kereta. Gak mungkin kita mendesain suatu rekayasa operasional semua kereta masuk ke kota,” ujarnya.
Artinya delay yang sering terjadi saat ini menjelang Stasiun Manggarai, tidak akan terjadi lagi setelah pembangunan Stasiun Manggarai rampung. Karena tujuan proyek yang didanai APBN itu, untuk memisahkan secara fisik jalur commuter line dengan jalur antar kota, dan memisahkan secara fisik jalur Bekasi dan jalur Bogor.
Pengamat transportasi, Ruth Hanna Simatupang mengatakan, KCI sebagai mass rapid transit di wilayah Greater Jakarta, kapasitas angkutnya sangat tergantung pada jaringan rel api yang digunakan oleh KCI. Jaringan rel yang digunakan oleh KCI adalah peninggalan perusahaan kereta api Hindia Belanda, yang dirancang untuk kereta api antar kota.
“Pertanyaannya, apakah jaringan rel KCI itu sudah sesuai dengan peta penyebaran penduduk di wilayah Jabodetabek? Kalau tidak, sulit untuk memindahkan penumpang dari jalan raya ke moda kereta api,” kata Hanna yang juga mantan anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Menurut Hanna, KCI perlu mengembangkan jaringan relnya ke wilayah-wilayah pemukiman yang sedang tumbuh. Salah satunya, di daerah Jakarta Timur di sana banyak terdapat rumah susun dan apartemen. Namun, Hanna juga mengakui, untuk mambangun jaringan rel baru, bukan saja biayanya yang mahal, tapi pembebasan lahannya pun sangat sulit.
Baca selanjutnya: MN Fadhila: Transportasi Itu Soal Perilaku