Januari tahun 2016 satu rangkaian kereta api terbakar di Bandung. Kemudian Agustus tahun 2016 tiga gerbong kereta api Kertajaya di Tanjung Priok, Jakarta dilalap api. Beruntung pada dua kasus kebakaran kereta tersebut tidak ada korban jiwa.
Bisa dibayangkan jika kebakaran terjadi pada KRL Commuterline Jabodetabek pada jam-jam sibuk, pagi-pagi pada waktu berangkat kerja, atau sore hari pada jam pulang kerja.
Pada peak hours, setiap gerbong kereta disesaki penumpang. Atau, jika perjalanan kereta api mengalami gangguan hingga penumpang panik dan merasa perlu untuk keluar dari gerbong kereta. Meski tidak diharapkan, kemungkinan besar akan banyak jatuh korban.
Sementara, untuk bisa keluar dari kereta bukan di stasiun, ketinggian dari lantai kereta ke permukaan tanah tidak kurang dari 1,3 meter. Ketinggian yang sangat berisiko bagi setiap orang bila melompat, apalagi permukaan tanah di sekitar rel kereta tertutupi batu-batu. Terlebih, jika para penumpang berebut melompat keluar dalam keadaan panik.
Sudah saatnya manajemen KCI menyusun skema darurat yang harus dilakukan penumpang jika terjadi keadaan darurat, dan mensosialisasikannya kepada para penumpang. Saat ini, pada setiap perjalanan kereta commuter selalu diinformasikan bahwa jika terjadi keadaan darurat, penumpang diminta tidak panik.
Jika harus keluar dari kereta penumpang disarankan membuka pintu, atau dengan menurunkan jendela. Artinya, penumpang keluar dari kereta yang tidak berada di stasiun, melalui pintu atau jendela. Itu dipastikan akan menimbulkan korban.
Mengenai hal itu, Fadhila menjelaskan, saat ini masyarakat masih dalam proses belajar bertransportasi publik yang baik dan benar. Persoalan intinya, masyarakat kita tidak pernah diajari bagaimana menghadapi situasi darurat, belajar untuk tidak panik, tahu apa yang harus dilakukan dengan segera.
Berbeda dengan masyarakat Jepang, misalnya. Sejak usia dini sudah diajari menghadapi situasi darurat, menghadapi gempa, tsunami, kebakaran, badai, bahkan situasi perang. Sementara, di Indonesia jika terjadi situasi darurat, masyarakat cenderung panik. Itu persoalan dasar.
Apa yang kita lakukan? Kita menyiapkan desain untuk keselamatan secara maksimal. Kami memulai dari kerja sama dengan JR East, salah satu perusahaan terbesar di Jepang dalam maintenance.
Secara rutin, JR East mengirim tim ke KCI untuk memberikan training mengenai pemeliharaan KRL. Selain itu, KCI juga mengirim beberapa orang untuk belajar bagaimana me-maintenance yang baik, bagaimana membuat schedule, bagaimana menyiapkan suku cadang, dan seterusnya.
“Semua itu kita lakukan untuk menekan risiko seminimal mungkin, ini perlu proses. Kalau ini berjalan dengan baik saya pikir 95% atau 99%, kecelakaan tidak akan terjadi. Tapi kan tidak ada yang bisa menjamin itu tidak akan terjadi, meskipun tidak kita harapkan? Jadi kami terus berupaya untuk terus meningkatkan keselamatan penumpang,” kata Fadhila.
Dalam kondisi darurat di dalam kereta, KCI sudah memberikan informasi, apa yang harus dilakukan, cara membuka pintu dengan tombol darurat dan lain-lain. Tahapan selanjutnya, KCI sudah menyiapkan modul tentang tata cara penyelamatan penumpang dari dalam kereta yang pada waktunya akan disoasialisasikan.
“Cuma gak bisa sekarang kita terapkan, karena pasti kacau. Di Jepang, dalam kondisi darurat tempat duduk KRL gampang dicopot. Tempat Itu untuk turun. Bisa dijadikan tangga, atau ditumpuk di bawah, jadi bantalan sehingga orang bisa meluncur. Pertanyaan saya, pada saat peak hours dan orang panik, siapa yang melakukan itu? Petugas gak mungkin. Ya penumpang, bagaimana kita bisa mengharapkan penumpang bisa tenang menghadapi kondisi darurat itu? Sementara penumpangnya tidak pernah diajari, ini PR besar. Potret publik Indonesia, bukan hanya KCI. Jadi, persoalan dalam transportasi ini tentang perilaku,” Fadhila menerangkan.
Di samping melakukan pemeliharaan dan meningkatkan sumber daya manusia untuk pemeliharaan itu, KCI juga mulai menjalankan agenda mengedukasi penumpang.
Baca: Transportasi Massal Pilihan Rakyat
Tahap pertama, KCJ membuat garis kuning di lantai peron, agar penumpang yang menunggu kereta berdiri di belakang garis itu. Tujuannya, supaya tidak tersambar kereta, dan agar penumpang yang turun tidak bertabrakan dengan penumpang yang akan naik. Tapi itu pun dilakukan secara bertahap.
“Sekarang kalau kita lihat, di pintu penumpang yang turun bertabrakan dengan yang mau naik. Ini edukasi. Apa itu gampang? Belum tentu. Setahun belum tentu bisa.”
Kalau mau, lanjut Fadhila, edukasi menghadapi situasi darurat harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang. Kalaupun tidak dimasukkan ke dalam kurikulum, sejak SD sampai perguruan tinggi dilakukan latihan rutin menghadapi situasi darurat.
Jumlah penumpang saat peak hours sekitar 3.000 orang, sedangkan dalam satu rangkaian petugas KCI Cuma empat orang, mereka ditempatkan di gerbong paling depan dan paling belakang.
“Jadi, harus penumpang yang ambil alih jika terjadi situasi darurat. Kita dalam tahapan ke situ. Saya gak bisa jawab kapan itu bisa berjalan. Karena perilaku masyarakat kita juga beda-beda.”
Sebagai Dirut, ketika sidak di Stasiun Bogor, Fadhila pernah menegur penumpang yang membawa burung, karena ada peraturan dilarang membawa binatang ke dalam kereta. Penumpang itu dengan enteng menjawab, “Yang bapak tulis itu dilarang membawa anjing, saya bawa burung!”
Fadhila menyadari bahwa yang dihadapi adalah masyarakat, di mana KCI adalah bagian dari mereka. PR terbesar KCI sebagai penyelenggara transportasi modern adalah mengedukasi publik untuk saling bertoleransi dan menumbuhkan kesadaran bertransportasi publik.
Yang terjadi kini, penumpang dengan penumpang bisa baku hantam gara-gara bersenggolan sedikit. Artinya, kesadarannya tidak ada. Itu masih dalam situasi normal, sulit dibayangkan jika terjadi kondisi darurat.
Sebagai penyelenggara transportasi umum, KCI lebih siap daripada moda transportasi lain. Hanya saja, kesiapan KCI selaku operator perlu diimbangi dengan kesiapan masyarakat menggunakan transportasi KRL.
Fadhila meyakini, teknologi di dunia transportasi hadir pada jamannya. Di Jepang, Korea, Prancis, Singapura, di semua negara-negara maju. Mereka menghadirkan teknologi sesuai jamannya. Kenapa di Indonesia tidak menggunakan gate report seperti di Jepang? Karena di Jepang gate-nya sudah normally open, pada saat darurat akan menutup otomatis.
“Di kita kalau kita pasang gate itu, yang gak bayar banyak. Makanya saya pasang tripod gate, itu memaksa orang untuk antre. Itu sistem, nah, kita dalam tahap membangun sistem.”
Fadhila mencontohkan, sebelum Transjakarta membuat skybridge, dimana-mana calon penumpang tidak ada yang mau antre di halte. Sekarang mereka mau antre menunggu bis. Itu sistem.
“Pada saat pertama kali KCI menerapkan e-ticketing, orang-orang chaos, protes, di Manggarai antrean sampai jalan raya. Sekarang mereka nyaman. Memang butuh waktu,” terangnya.
Dulu, berbagai usaha dilakukan untuk menurunkan penumpang dari atap kereta, bermacam metoda dicoba, pakai alat semprot cat, ditangkapi bajunya dibuka, dipasangi kawat berduri, semua tidak berhasil. Sekarang tidak ada lagi penumpang di atap, karena sistemnya yang dibangun.
Fadhila percaya, jika sistem sudah terbentuk, kebiasaan masyarakat juga mulai mengikuti. “Bukan tidak mungkin masyarakat Indonesia perilaku bertransportasinya akan sama dengan orang-orang di negara maju. Pada saat kondisi darurat, tidak akan panik, semua ngambil posisi, turun satu per satu. Pasti bisa!”
Selanjutnya: Kinerja PT Kereta Commuter Indonesia