DALAM dua tahun terakhir, setiap pesawat yang akan take off dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang-Banten, membutuhkan waktu rata-rata 30 menit untuk taxi dari apron hingga ujung landasan. Jika dilihat dari seberang landasan, maka akan terlihat antrean sedikitnya 10 pesawat yang akan tinggal landas. Begitu juga yang akan mendarat, seringkali pesawat harus melakukan holding atau berputar di atas sebelum mendarat. Hal itu disebabkan tingginya frekuensi take off – landing pesawat di bandara yang berlokasi di Provinsi Banten ini, sekitar 84 pergerakan pesawat per jam. Tak pelak lagi, Bandara Soetta merupakan bandara tersibuk di Asia Tenggara.
Ketika diresmikan tahun 1986, Bandara Soekarno-Hatta dengan dua terminal dan dua landas pacu diproyeksikan mampu melayani 24 juta penumpang per tahun. Saat ini, dengan tiga terminal, bandara ini melayani 67 juta penumpang per tahun. Pemerintah akan membangun Terminal 4 Bandara Soetta, sehingga kapasitasnya mencapai 90 juta penumpang per tahun, dari sebelumnya 60 juta penumpang. Persoalannya, landas pacunya tetap hanya dua. Sehingga frekuensi pergerakan pesawat sangat tinggi, rata-rata 84 pergerakan per jam. Idealnya, dengan dua landas pacu jumlah pergerakan pesawat per jam hanya 52.
Tingginya frekuensi pergerakan pesawat di Bandara Soetta ini dikeluhkan oleh Indonesia Air Traffic Controllers Association (IATCA). Dengan pergerakan 84 pesawat per jam, risiko terjadinya kecelakaan penerbangan menjadi sangat tinggi. Selain itu, padatnya lalu lintas penerbangan di satu bandara, juga menyebabkan kerentanan terjadinya kekacauan jadwal penerbangan.
Harap maklum, untuk melakukan perjalanan udara, baik penerbangan domestik maupun internasional, Bandara Soetta menjadi andalan masyarakat DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang jumlahnya mencapai 68 juta jiwa. Tentu saja beban bandara ini sudah over capacity. Kalaupun ada alternatif, Bandara Halim Perdana Kusuma hanya mampu melayani 1,5 juta penumpang per tahun.
Bandingkan dengan London yang jumlah warganya hanya 8,8 juta jiwa, memiliki enam bandara internasional, yaitu Heathrow, London City, Gatwick, Luton, Southend, dan Stansted, plus dua bandara domestik, Biggin Hill dan Asford.
Sebenarnya, frekuensi pergerakan pesawat di Bandara Heathrow, London, lebih tinggi, hampir 100 pergerakan pesawat per jam. Padahal Heathrow juga hanya mempunyai dua landas pacu, namun dengan manajemen yang baik, di sana nyaris tidak terjadi ‘kemacetan penerbangan’.
Lama dan panjangnya antrian pesawat untuk take off di Bandara Soetta, juga pernah dikemukakan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan pada tahun 2014. Untuk terbang ke Lampung yang hanya 45 menit, antri untuk take off-nya sampai satu jam.
Dahlan mengusulkan, untuk rute-rute penerbangan gemuk, di mana setiap harinya terdapat lebih dari 10 kali penerbangan, perusahaan penerbangan sebaiknya menggunakan pesawat berbadan lebar (wide body) sejenis Boeing 777.
“Untuk penerbangan Jakarta-Singapura yang hanya 1,5 jam, SQ menggunakan Boeing 777. Ini bisa ditiru untuk penerbangan Jakarta – Surabaya, Jakarta-Medan, Jakarta-Denpasar, dan Jakarta-Makassar,” kata Dahlan.
Sependapat dengan Dahlan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga pernah mengusulkan agar pengelola lalu lintas penerbangan (Airnav Indonesia) di Bandara Soetta untuk meniru manajemen penerbangan yang diterapkan di Heathrow.
Padatnya jadwal penerbangan di satu bandara, selain menyebabkan antrian untuk take off, juga sering kali mengakibatkan pesawat-pesawat yang akan mendarat di bandara tersebut harus melakukan holding atau berputar di udara. Holding dilakukan oleh pilot karena berbagai alasan, cuaca buruk, pada saat yang bersamaan ada beberapa pesawat yang akan mendarat, atau alasan teknis lainnya.
Seorang pilot di satu maskapai penerbangan domestik mengemukakan, holding sering terjadi di beberapa bandara yang cukup sibuk. Ia mengingatkan, baik lamanya waktu taxi dan panjangnya antrian untuk take off, maupun holding di udara, berakibat pada penggunaan bahan bakar yang lebih banyak.
Sebagai catatan, tingkat konsumsi bahan bakar pesawat ditentukan oleh faktor, khususnya jenis pesawat, ketinggian terbang, arah serta kecepatan angin, dan beban muatannya. Tapi sederhananya, bahan bakar yang diperlukan oleh pesawat untuk beroperasi, terdiri atas non-cruise fuel atau bahan bakar untuk taxi, take off, dan landing, ditambah cruise fuel atau bahan bakar untuk terbang.
Misalnya untuk pesawat jenis Boeing 737-400, untuk satu jam terbang dengan ketinggian 35.000 kaki, diperlukan non-cruise fuel sebanyak 550 gallon dan cruise fuel sebanyak 600 gallon. Ukuran gallon yang dipakai adalah gallon versi Inggris, 3,785412 liter. Sehingga, untuk satu jam terbang dengan beban tertentu, sebuah Boeing 737-400 memerlukan avtur sebanyak 1.150 gallon atau sekitar 4.350 liter.
Jadi, taxi yang lebih lama akan mengkonsumsi bahan bakar (non cruise fuel) lebih banyak, karena konsumsi bahan bakar terjadi selama mesin pesawat dalam keadaan hidup. Begitu juga dengan holding di udara, di mana menurut standar internasional satu putaran atau satu kali holding memerlukan waktu empat menit.
“Meskipun pesawat harus antre untuk take off dan sebelum mendarat harus holding, tidak akan kehabisan bahan bakar. Karena, misalnya satu pesawat akan terbang selama satu jam, maka jumlah minimal bahan bakar di tanki harus cukup untuk terbang selama satu setengah jam,” kata pilot yang enggan disebutkan jati dirinya.
Sehingga, padatnya lalu lintas penerbangan di satu bandara mengakibatkan penggunaan bahan bakar yang lebih banyak dari yang semestinya.
Dalam struktur biaya penerbangan, besaran komponen bahan bakar bisa berubah-ubah, tergantung harga minyak dunia kurs dan nilai tukar Rupiah. Karena harga avtur ditetapkan dalan US$. Ketika harga minyak dunia mencapai US$120 per barrel dan nilai tukar Rp10.500 per US$, komponen bahan bakar dalam struktur biaya mencapai 62%.
Catatan lain, harga avtur di Indonesia, rata-rata 12,5% lebih mahal dibanding di negara lain. Hal itu dikarenakan Pertamina sebagai pemasok avtur di seluruh bandara di Indonesia, mengenakan biaya tambahan untuk distribusi lantaran jarak antara kilang-kilang Pertamina dengan bandara-bandara relatif berjauhan. Selain itu, Angkasa Pura sebagai pengelola bandara, juga memungut fee sebesar 0,03% dari nilai avtur yang dijual.
Lalu, siapa yang menanggung beban bertambahnya biaya bahan bakar akibat ‘kemacetan penerbangan’ di bandara? Siapa lagi kalau bukan penumpang, sebagai konsumen. Sebenarnya, akibat dari jumlah penumpang di satu bandara yang melebihi kapasitas terpasang, tidak baiknya tata kelola lalu lintas penerbangan, serta harga bahan bakar yang lebih mahal, menyebabkan efisiensi di industri penerbangan nasional menjadi sangat rendah, atau dengan kata lain, biaya penerbangan yang terefleksikan dalam harga tiket, menjadi lebih mahal dari pada yang seharusnya.
Bagi masyarakat Indonesia, mau tidak mau keadaan itu pasti diterima. Tapi hal itu akan menurunkan minat wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Indonesia. Tentu saja persoalan ‘kemacetan lalu lintas penerbangan’ ini menjadi PR yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Jika tidak, selain merugikan masyarakat secara ekonomi juga meningkatkan risiko penerbangan.