TANGGAL 8 September 2017 lalu Internarional Maritime Organization (IMO) memberlakukan konvensi pengelolaan air ballast atau ballast water management and sediments (BWM). Kebijakan IMO tersebut dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup laut dari penyebaran spesies perairan yang berpotensi invasif. Dengan diberlakukannya konvensi internasional ini, semua kapal diwajibkan untuk mengolah limbah air ballast hingga memenuhi standar tertentu, bebas dari organisma berbahaya dan bersifat patogen, sebelum dibuang ke laut.
Konvensi BWM diadopsi pada tahun 2004 oleh IMO, badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab dalam mengembangkan standar global untuk keselamatan dan keamanan kapal, serta untuk perlindungan lingkungan laut dari dampak negatif transportasi laut.
“Ini adalah langkah penting untuk menghentikan penyebaran spesies perairan yang bersifat invasif, yang dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem lokal, mempengaruhi keaneka-ragaman hayati laut, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar,” kata Sekjen IMO Lim Kitack melalui website IMO.
Kitack mengatakan, persyaratan yang ditetapkan dalam konvensi BWM, mulai berlaku 8 September 2017. Artinya semua pemangku kepentingan atas kelestarian lingkungan hidup perairan, bersama-sama mengatasi salah satu ancaman terbesar terhadap ekologi laut dan kesejahteraan ekonomi di planet ini. Spesies invasif menyebabkan kerusakan besar pada keaneka-ragaman hayati dan kekayaan alam yang berharga di bumi yang menjadi andalan umat manusia di masa depan. Spesies invasif juga menyebabkan efek negatif bagi kesehatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan juga bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan yang seringkali tidak dapat diperbaiki lagi.
“Pemberlakuan Konvensi Pengelolaan Limbah Air Ballast tidak hanya akan meminimalkan risiko invasi spesies asing yang bisa masuk ke laut melalui limbah air ballast, menetapkan standar pengelolaan limbah dengan jelas dan ketat. Selain itu, berlakunya konvensi ini juga akan membuka peluang bisnis baru dalam industri pelayaran internasional,” Kitack menjelaskan.
Sebagai regulator maritim internasional di bawah PBB, International Maritime Organization (IMO) mempunyai tujuh peraturan yang disebut Annex. Annex ini mengacu pada MARPOL 73/78, yaitu konvensi internasional tentang lingkungan hidup untuk wilayah maritim. MARPOL, akronim dari Maritime Pollution, dideklarasikan pada 17 February 1973 dan direvisi pada tahun 1978 menjadi Protocol of 1978. Sehingga, di belakang kata MARPOL, ada embel-embel 73/78.
Hingga kini, IMO telah merilis tujuh peraturan atau Annex. Annex I diterbitkan pada 1983, tentang pencemaran laut oleh minyak dan cairan yang mengandung minyak yang berasal dari kapal. Annex II dikeluarkan pada 1987 tentang pencemaran laut karena bahan-bahan berbahaya cair yang berasal dari kapal. Annex III pada tahun 1992 tentang pencemaran laut dari bahan-bahan berbahaya padat yang berasal dari kapal. Annex IV tahun 2003 tentang pencemaran laut dari limbah kotoran manusia dan kotoran lainnya. Annex V tahun 1988 tentang pencemaran laut dari sampah yang dibuang dari kapal. Annex VI 2005 tentang polusi udara yang berasal dari kapal. Annex VII tentang penanggulangan pencemaran karena kecelakaan di laut.
Sejauh ini Indonesia sebagai anggota IMO telah meratifikasi sejumlah konvensi yang disepakti bersama anggota-anggota lainnya, yaitu SOLAS 1974, CSC 1972, STCW 1978, INMARSAT 1976, MARPOL 73/78 (Annex I – II), COLREG 1972, dan CLC 1992. Kemudian pada 24 Agustus 2012 Indonesia juga meratifikasi MARPOL 73/78 (Annex III, IV, V, dan VI) dan Konvensi SAR 1979.
Pada tahun 2015 Indonesia meratifikasi Convention of Ballast Water Management melalui Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2015 tentang Pengesahan The International Convention For The Control And Management Of Ships Ballast Water And Sediments, 2004 (Marpol Annex IV). Piagam notifikasinya diserahkan kepada Sekretaris Jenderal IMO pada 24 November 2015.
Sebagai implementasi dari pemberlakukan konvensi BWM, PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) mulai melakukan survey dan sertifikasi untuk manajemen limbah air ballast kapal sesuai aturan yang dikeluarkan IMO dalam konvensi ballast water management (BWM) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) adalah satu-satunya lembaga klasifikasi kapal di Indonesia.
Survey itu dilakukan guna menjaga keseimbangan ekosistem laut akibat perpindahan spesies laut akibat pembuangan air ballast yang dibawa oleh kapal dari satu tempat ketempat lain, yang dapat menyebabkan munculnya spesies laut asing yang berbahaya bagi lingkungan. Hal ini dapat juga berdampak pada ketidak-seimbangan ekosistem laut dan berpengaruh buruk pada perkembangan biota laut.
“Sesuai peraturan IMO, tepat hari ini Jumat 8 September 2017 efektif diberlakukannya BWM Convention. Sesuai perjanjian kerjas ama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, atas nama Pemerintah Indonesia, BKI mulai melakukan survey dan proses sertifikasi manajemen air ballast kapal,” kata Direktur Utama BKI, Rudiyanto pada laman Biro Klasifikasi Indonesia pada Senin, 11 September 2017.
Grafik: Jadwal Survey Pembaruan IOPP
Konvensi itu menyebutkan, lanjut Rudiyanto, seluruh kapal yang berlayar di jalur pelayaran internasional harus melakukan pengelolaaan air ballast dan sedimen sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam konvensi.
“Kita berharap para pemilik kapal dapat mengimplementasikan semua prosedur dan form catatan terkait manajemen air ballast sesuai BWM Plan,” kata Rudyanto.
Penerapan konvensi BWM di Indonesia sesuai dengan hasil sidang MEPC 71 tanggal 3 sampai 7 Juli 2017, penting untuk diperhatikan para pemilik kapal yang terkena aturan konvensi BWM. Untuk kapal-kapal bangunan baru yang peletakan lunasnya dilakukan pada atau setelah September 2017, harus melakukan instalasi Ballast Water Management Treatment System (BWMTS) pada saat serah terima kapal. Sedangkan untuk kapal existing (bangunan jadi), melakukan instalasi BWMTS pada saat pembaharuan (renewal) sertifikasi IOPP.
Tahun 2015, Indonesia memiliki 2400an pelabuhan dan sekitar 13.300 kapal berbendera Indonesia. Namun, dari angka itu, hanya 262 pelabuhan dan sekitar 1000 kapal saja yang memenuhi standar International Ship and Port-facility Security (ISPS Code).
Sementara untuk keamanan dan keselamatan pelayaran dalam lingkup nasional, Pemerintah Indonesia menerapkan azas cabotage untuk ukuran dan kapasitas kapal. Berdasarkan Undang Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2011, tahun 2015 adalah batas waktu dimana kapal-kapal yang berlayar di perairan Republik Indonesia harus memenuhi azas cabotage.