Elvyn menafsirkan karakteristik pelabuhan sebagai perusahaan penyedia jasa. Kebetulan cocok dengan background-nya di sektor keuangan yang sarat dengan kaidah-kaidah jasa.
Secara konseptual, perusahaan di sektor jasa memiliki empat parameter, pertama, spec-nya harus cepat, kedua access harus terbuka, ketiga physical appearance di sektor keuangan physical reference, di pelabuhan harus good seen, peralatannya harus bagus, dan friendly, ongkosnya tidak mahal.
Di luar itu, secara umum persepsi orang tentang pelabuhan adalah keras, remang-remang, lamban, crowded, macet.
Nah, Elvyn ingin menghapus potret pelabuhan yang buram tersebut. Persepsi itu harus dibalik, kalau remang-remang harus dibuat terang benderang yang dalam pakem yang berlaku adalah transparan, dan seterusnya. Itu berarti harus ada sistem, artinya harus dilakukan penataan operasional.
Apa solusinya? Mengimplementasikan sistem. Sejak tahun 2016, ia membangun konsep baru. Di Tanjung Priok khususnya, semua aktifitas yang selama ini dilakukan secara manual, menjadi aktifitas yang technical.
Tiga aktifitas utama pelabuhan meliputi, pertama terkait dengan marine, kelautan. Bagaimana kapal bisa datang dengan cepat, merapat dengan mudah, biayanya bisa murah. Dengan sistem baru yang dimulai pada September 2016, yaitu Inaportnet.
“Sehingga kalau kapal datang dia gak perlu lagi ngantri gak jelas, dia sudah tahu kapan harus datang. Ini mengkonversi konsep dokumen-dokumen yang manual menjadi data digital elektronik,” kata dia.
Selain itu, IPC juga membangun marine operation system, agar operasional layanan pelabuhan di area laut bisa dilakukan dengan cepat dan mudah. Sedangkan di terminal, bagaimana agar kegiatannya handling cargo bisa lebih cepat.
Untuk itu diterapkan satu sistem operasional yang mempersyaratkan service level agreement. Misalnya, dalam satu jam sebuah crane mengangkat 25 kontainer.
Kemudian bagaimana barang bisa keluar dari pelabuhan dengan cepat? Maka proses di terminalnya pun harus ditata sedemikian rupa, termasuk container yard.
Lalu bagaimana agar kontainer tidak berlama-lama di pelabuhan? IPC memberlakukan tarif progresif, hari pertama free, hari berikutnya kena denda, hari berikutnya kontainer harus dikeluarkan paksa dari pelabuhan.
“Pemilik barang harus mengatur waktu kapan barang itu sampai di pelabuhan, kapan dibawa ke pabrik dan seterusnya. Jadi gak bisa lagi sesuka-sukanya naro di pelabuhan. Bagaimana ini semua bisa berjalan, tentu kita harus ada komunikasi dengan mereka.”
Konsep yang dikembangkan adalah meng-create system, menyiapkan service level yang jadi komitmen dan disepakati oleh para pengguna jasa. Menurut Elvyn sistem itu ia terapkan sejak 2016, dimulai di Tanjung Priok dan juga akan dilakukan di pelabuhan-pelabuhan lain di bawah Pelindo II.
Dalam upaya menjadikan Tanjung Priok sebagai pelabuhan kelas dunia, lanjutnya, tidak satu pun pelabuhan yang menjadi referensi atau model. Karena letak dan karakter geografis setiap pelabuhan pasti berbeda.
Tanjung Priok adalah destination port, artinya sebagai final destinastion. Artinya, tujuan akhir dari kapal yang memuat kontainer dan berlabuh di Tanjung Priok, adalah Jakarta, Indonesia. Berbeda dengan Pelabuhan Singapura misalnya, yang karakteristiknya sebagai transhipment port, di mana kapal-kapal kecil datang lalu muatannya dipindahkan ke kapal besar untuk dikirim ke negara tujuan.
Oleh karenanya, ia merasa perlu untuk mempelajari karakteristik pelabuhan besar di dunia, misalnya mengenai pola operasi. Pola operasi pelabuhan-pelabuhan besar di dunia saat ini mengarah ke automasi, mulai mengurangi tenaga manusia, dan beralih ke mesin-mesin otomasi. Kemudian pola pengelolaan dermaganya, kedalaman lautnya harus bisa dimasuki kapal-kapal besar. Lalu hinterland-nya harus seperti apa.
“Jadi kalau ditanya apakah ada satu contoh pelabuhan yang menjadi referensi dalam semua hal, jawabannya tidak ada. Saya berpandangan, Port of Rotterdam misalnya, sangat bagus dalam pengelolaan hinterland, pengelolaan supported, karena di situ sudah ada industri, sudah ada aktifitas-aktifitas ekonomi langsung dekat dengan pelabuhan.”
Tapi dalam hal otomasi peralatan, Elvyn terkesan dengan pelabuhan Hamburg, Jerman. Pelabuhan ini didukung oleh sistem transportasi kereta api dan trucking yang bagus.
Begitu juga dengan Pelabuhan Dubai yang sangat modern. Kelebihan dari tiap-tiap pelabuhan itu, apa bila cocok, bisa diadopsi dan diterapkan Indonesia, di Tanjung Priok. Pada prinsipnya, yang harus dilakukan adalah mengadopsi best practice of port, model mana yang pas untuk diterapkan di Tanjung Priok.
Lalu, apakah manajemen pengelola pelabuhan di negara-negara maju juga harus mengatur persoalan-persoalan di luar korporasi dengan managing stakeholder? Semua pelabuhan di berbagai negara memiliki basic problem yang sama, tapi level problemnya beda-beda, karena peradabannya juga beda-beda.
Tentu saja persoalan di Tanjung Priok dengan di pelabuhan-pelabuhan Eropa tingkat persoalannya berbeda, tapi paling tidak problem itu pasti ada.
Artinya, di Indonesia perusahaan pengelola pelabuhan harus mampu menciptakan social image yang bagus. Elvyn menyebutnya sebagai The art of communication, bagaimana berkomunikasi dengan seluruh stakeholder dan membawa spirit, serta meyakinkan mereka untuk tumbuh bersama-sama.
Karena semua pihak punya kepentingan. IPC harus mengakomodasi, sepanjang kepentingan itu arahnya sama, untuk memberikan kontribusi pada perekonomian Indonesia, membuat pelabuhan berperan signifikan.
Tentu hal itu tergantung pada cara mengelolanya. Salah satu yang dilakukan adalah menerapkan service level agreement. Misalnya, para pelaku usaha ingin bermitra dengan IPC diberi kesempatan, dengan persyaratan harus punya expert di bidang kepelabuhanan, harus punya experience, harus punya modal, dan harus punya network. “Artinya, kalau dia bermitra dengan kita harus mampu bawa bisnis, bukan cuma bawa proposal.”
Pembenahan dalam shiping line services yang dilakukan Elvyn bertujuan agar mulai kapal datang sampai keluar lagi dari pelabuhan dibuat se-smooth mungkin dan selancar mungkin. Artinya, bagaimana caranya agar di Tanjung Priok tidak terjadi lagi kongesti dan distorsi lainnya.
Elvyn bercerita, awalnya ia naik ojek ke pelabuhan hingga lima kali, karena lalu lintas menuju gerbang pelabuhan sangat macet. Kemudian ia menganalisis, apapun itu bidang usahanya, konsep pemecahan persoalannya ada pada manajemen. Menurut dia, kalau ada kongesti, baik di laut maupun di darat, maka yang harus diperbaiki adalah manajemen trafiknya.
Solusi yang ia ambil waktu itu, menyiapkan buffer truck, agar truk itu tidak lalu lalang, tapi dikumpulkan dalam satu tempat. Ketika diperlukan baru dipanggil. Sekarang di Tanjung Priok sudah diimplementasikan e-trucking. Pada prinsipnya, transformasi yang dilakukan adalah men-convert pengelolaan pelabuhan yang sebelumnya conventional port menjadi digital port, itulah basis transformasi yang dijalankan.
Transformasi yang dilakukan pada akhirnya untuk meningkatkan competitivness Tanjung Priok. Untuk mengukur competitiveness satu pelabuhan harus ada bench-mark yang ditetapkan. Tapi bagi Elvyn, kompetitor tidak selalu harus berupa institusi atau perusahaan yang bergerak di sektor yang sama. Daya saing bisa diukur dengan beberapa parameter.
“Misalnya, bagaimana tingkat produktiftasnya, bagaimana servisnya. Dengan parameter-parameter itu saya mengukurnya, apakah kita sudah kompetitif atau belum. Dari situ dampaknya pada cost. Untuk destination port, tentu Priok tidak punya kompetitor, gak ada ‘Priok Perjuangan’, gak ada Priok yang lain. Tapi apakah pengguna jasa satisfied dengan kita apa tidak? Itu disebut kompetisi,” kata Elvyn.
Maka yang dilakukan Elvyn adalah membenahi aspek produktivitas, aspek kecepatan pelayanan, yang dampaknya pada dwelling time, waiting time, boarding time, kemudian pada cost. Dari beberapa pembenahan itu bisa menekan total cost dari pengguna jasa. Sehingga, daya saing Tanjung Priok meningkat.
Dia menambahkan, mulai tahun 2017 dimulai proses untuk menjadikan Tanjung Priok sebagai transhipment port. Barang-barang dari Semarang, Surabaya, atau Palembang yang akan dikirim ke Jepang, China atau Korea, sebelumnya dilakukan melalui Singapore, kini dialihkan ke Tanjung Priok. Di sini Tanjung Priok harus berkompetisi langsung dengan Pelabuhan Singapura.
Apa keunggulan yang akan ditawarkan IPC dalam berkompetisi dengan Singapore dalam konteks transhipment port? “Cost kita harus mampu kompetitif, berapa kalau lewat Singapura? Kita harus lebih murah. Oleh sebab itu ada konsep untuk menjadikan Tanjung Priok sebagai cargo consolidation port bagi barang-barang ekspor dari daerah-daerah di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan.”
Jika Tanjung Priok sebagai transhipment port sudah efisien dan kompetitif, dibandingkan Pelabuhan Singapura, maka bukan saja barang-barang dari beberapa daerah di Indonesia yang bisa dikonsolidasikan, tapi juga dari Australia Barat.
Karena bagaimanapun, bagi kapal-kapal yang dari Australia Barat akan lebih efisien biaya dan waktu, jika transit di Tanjung Priok dibanding Pelabuhan Singapura.
“Ya, dari sisi geografis Priok lebih menguntungkan daripada Singapura, dan kita sudah memulai itu,” kata Elvyn.
Awal April lalu, sebuah kapal kargo raksasa Compagnie Generali Maritime (CMA-CGM) berkapasitas 8.500 TEUs milik perusahaan Perancis, Compagnie Maritime d’Affretement merapat ke Tanjung Priok. Mother Vessel itu akan membawa kontainer dari Jakarta langsung ke West Coast Amerika Serikat.
Perusahaan Perancis itu sudah memasukkan Tanjung Priok ke dalam rute yang dilaluinya. Kedatangan kapal itu bisa diinterpretasikan sebagai lonceng tanda dimulainya berkompetisi langsung dengan Singapura.
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi mengatakan, pemerintah terus mendorong para operator pelabuhan di Indonesia untuk menarik perusahaan-perusahaan kapal internasional untuk masuk ke Indonesia.
Diakui Menhub, jumlah kontainer di pelabuhan-pelabuhan Indonesia yang diangkut untuk tujuan jarak jauh masih terlalu kecil. Akibatnya, kegiatan ekspor impor lebih banyak dilakukan lewat Pelabuhan Singapura.
“Ada tiga hal yang harus dikerjakan, pertama mengumpulkan barang-barang dari seluruh Indonesia yang akan dikirim ke luar negeri. Kedua, menurunkan biaya-biaya yang ada. Dan ketiga, kita persingkat proses kerja di sini,” kata Budi.
Rencana terdekat untuk direalisasikan, lanjut Menhub, adalah menjadikan Tanjung Priok sebagai pelabuhan hub internasional dengan mengintensifikan transhipment dan direct call yang long distance. Kemudian, pelabuhan-pelabuhan lain seperti Kuala Tanjung dan Bitung juga bisa menjadi transhipment port.
Selanjutnya: Mendukung Tol Laut Dengan Integrated Chain Port