Dalam peradaban modern kebutuhan akan energi adalah kebutuhan mendasar setelah kebutuhan pangan. Begitu juga dalam konteks ketahanan negara, ketersediaan energi juga merupakan prioritas tertinggi setelah ketahanan pangan.
Di masa mendatang, di mana kebutuhan energi akan semakin tinggi, diperlukan sumber-sumber energi baru yang lebih berkelanjutan, ekonomis, dan ramah lingkungan. Karena bagaimanapun juga suatu saat nanti sumber energi fosil akan habis.
Salah satu upaya penghematan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah adalah mencabut subsidi listrik untuk pelanggan berdaya 900 volt-ampere (VA) efektif per Juli 2017. Ketentuan itu dituangkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 18 Tahun 2017.
Selama ini, pelanggan listrik rumah tangga dengan daya 900 VA menikmati subsidi dari pemerintah sekitar Rp800,00 per kilo Watt hours (kWh). Artinya, jika pada awal tahun 2017 para pelanggan listrik 900 VA membayar Rp565,00 per kWh, maka mulai Juli 2017 menjadi Rp1.350,00 per kWh.
Tentu saja bagi sebagian, bahkan sebagian besar kelas menengah sebagai pelanggan listrik PLN 900 VA yang saat ini jumlahnya sekitar 19 juta rumah tangga itu cukup memberatkan. Tapi apa mau dikata, ada kepentingan lain yang harus diutamakan, yaitu keberlanjutan pembangunan negara.
Dengan demikian, para pelanggan listrik 900 VA sudah dianggap sebagai keluarga mampu. Mulai 1 Juli 2017 tarif listrik yang berlaku untuk pelanggan 900 VA akan ditentukan oleh biaya produksi yang dipengaruhi oleh pergerakan rupiah, harga minyak mentah, batubara, dan inflasi.
Dibandingkan dengan beberapa negara lain, tarif listrik di Indonesia sebesar US$11 sen per kWh relatif jauh lebih mahal dibanding Malaysia yang US$6 sen, Vietnam US$7 sen, dan Korea Selatan US$6 sen per kWh. Bisa dipahami, karena luasnya wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, sehingga biaya logistik sangat tinggi. Berdasarkan riset Boston Consulting Group 2013, biaya logistik di Indonesia mencapai 28% dari PDB. Sementara Malaysia hanya sekitar 12%.
Selain itu, yang menyebabkan tarif listrik di Indonesia cukup tinggi adalah distorsi ekonomi. Perdagangan dan distribusi pasok di Indonesia masih dibebani oleh rente dan pungutan liar yang signifikan. Misalnya, batu bara yang dihasilkan oleh perusahaan pertambangan hingga di gudang perusahaan pembangkit listrik, harus melalui beberapa pihak yang masing-masing menarik margin.
Belum lagi fee, kickback, dan under-the-table deal lainnya yang menyebabkan harganya menjadi mahal. Padahal Indonesia adalah salah satu negara penghasil batu bara terbesar di dunia. Ironis. Banyaknya kasus-kasus serupa itu menyebabkan biaya tinggi.
Sementara persoalan-persoalan yang menyebabkan mahalnya energi belum selesai diatasi, sebenarnya Indonesia mempunyai alternatif untuk pengadaan listrik murah bagi masyarakat, yaitu melalui pembangunan pembangkit listrik yang mengandalkan energi baru dan terbarukan (EBT). Seperti tenaga angin, arus laut, sinar matahari, dan energi nuklir.
Di antara sumber energi yang saat ini paling memungkinkan bisa diaplikasikan adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir atau turunannya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Rida Mulyana menjelaskan, pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia masih dihadapkan pada kendala sulitnya menyamakan pola pikir di antara para pemangku kepentingan dan masyarakat secara keseluruhan. Kesamaan pola pikir itu meliputi skema bisnis dan insentif, harga relatif, risiko, dan lain-lain.
“Semua pihak harus memiliki mindset sama, tidak miyopis, bahwa energi merupakan bisnis jangka panjang,” kata Rida.
Kecuali pemanfaatan panas bumi, jenis pembangkit listrik dengan memanfaatkan energi baru dan terbarukan di Indonesia masih dilakukan dengan skala kecil, tersebar, dan sistem interkoneksinya masih terbatas. Kendala terbesar yang dihadapi adalah sikap resisten dari masyarakat.
Karenanya, pengembangan EBT mutlak membutuhkan dukungan dari semua pihak, khususnya perguruan tinggi yang berperan dalam sosialisasi kepada masyarakat.
Meskipun Ditjen EBTKE giat mengampanyekan pengembangan pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT, hingga kini belum memasukkan energi nuklir sebagai alternatif pembangkit listrik di Indonesia. Rida mengatakan, dua persyaratan yang harus dipenuhi sebelum Indonesia mengaplikasikan energi nuklir sebagai pembangkit listrik berskala besar.
Pertama, dukungan masyarakat. Kedua, political will dari pemerintah. “Intinya syarat pertama harus dipenuhi. Tanpa dukungan masyarakat, pemerintah tidak bisa mengeksekusi meskipun ada keinginan,” kata Rida.
Persepsi Publik
Untuk membangun PLTN di Indonesia, kendala utama yang hingga kini masih menghadang adalah sikap masyarakat yang belum bisa menerima keberadaan PLTN karena minimnya referensi mengenai PLTN. Cerita-cerita seram mengenai kebocoran reaktor nuklir pada PLTN Chernobyl, Rusia pada tahun 1986 yang kemudian menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar, masih sangat kuat dan kembali mengemuka ketika muncul wacana pembangunan PLTN.
Kemudian gempa dan tsunami di Jepang pada Maret tahun 2011 yang mengakibatkan hancurnya PLTN di Fukushima, seolah mengembalikan ingatan publik pada bencana Chernobyl.
Alasan ‘terdekat’ dari penolakan terhadap kehadiran PLTN itu adalah letak geografis Indonesia pada lintasan dua cincin api, yaitu Sirkum Mediterania yang memanjang dari Spanyol, melintasi Laut Tengah, ke Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Papua. Dan Sirkum Pasifik yang melingkar dari Chile, ke utara hingga Alaska, ke Kepulauan Aleut, Semenanjung Kamchatka, Jepang, Filipina hingga Maluku.
Indonesia adalah wilayah pertemuan kedua cincin api tersebut. Indonesia adalah wilayah yang paling sering dilanda gempa. Karena itu, PLTN tidak cocok dibangun di Indonesia. Kurang lebih demikian argumentasi dari penolakan tersebut.
Mengenai argumen itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Prof. Muhammad Nasir menjelaskan, meskipun Indonesia berada di jalur dua ring of fire, namun ada daerah-daerah yang relatif aman dari gempa. Karenanya, PLTN diusulkan dibangun di Sumatera bagian timur dan utara, Kalimantan bagian selatan, Jawa bagian utara, atau Sulawesi bagian selatan dan barat.
“Itu bagian wilayah Indonesia yang relatif aman dari gempa,” kata Nasir.
Persoalan letak geografis yang berada di ring of fire, adalah hal yang sifatnya given bagi Indonesia. Namun, bukan berarti Indonesia harus menghindari PLTN untuk selamanya. Kemajuan teknologi sudah demikian maju, sudah banyak teknologi yang lebih menjamin keamanan sekaligus keekonomisan PLTN.
Riset yang sudah diselesaikan oleh BATAN, meliputi uji tapak dan uji akseptabilitas. Uji tapak adalah serangkaian pengujian dari berbagai aspek mengenai tingkat keamanan untuk dibangunnya PLTN di satu tempat.
Menurut mantan Kepala Bidang Produksi Bahan Bakar Nuklir Reaktor Riset BATAN, Fathurrahman Fagi yang terlibat dalam riset PLTN, uji tapak di Semenanjung Muria, Jawa Tengah selesai pada tahun 2006 dan uji tapak di Bangka Barat dan Bangka Selatan, Bangka-Belitung, selesai pada tahun 2013. Dalam uji tapak yang melibatkan Surveyor Indonesia tersebut, ada 28 aspek yang dianalisis dan hasilnya bagus.
Sedangkan uji akseptabilitas masyarakat, kata Menristekdikti, per tahun 2016 tingkat penerimaan masyarakat Indonesia terhadap pembangunan PLTN sudah mencapai 75%. Masih perlu sosialisasi yang intensif untuk meningkatkan akseptabilitas masyarakat sehingga pembangunan PLTN bisa dieksekusi.
Dua variabel, yaitu akseptabilitas masyarakat terhadap pembangunan PLTN yang baru 75% dan masih mungkin mengalami volatilitas (turun naik), dan perbedaan tingkat keekonomisan antara biaya investasi dan harga jual listrik PLTN dengan harga jual listrik dari pembangkit konvensional, bagi pemerintah menjadi persoalan politis.
Pertama, karena kurangnya referensi masyarakat mengenai PLTN sehingga persepsi publik tentang PLTN kurang updated, menjadikan isu pembangunan PLTN sebagai isu sensitif. Pada akhirnya, jika tidak dikelola dengan tepat, isu sensitif itu akan bertransformasi menjadi persoalan akseptabilitas terhadap pemerintah yang sedang in-charge. Sekali lagi, kata ‘nuklir’ bagi sebagian masyarakat Indonesia masih berkonotasi ‘seram’.
Kedua, disparitas biaya investasi dan harga jual listrik, di mana PLTN jauh lebih ekonomis dibanding pembangkit listrik konvensional. Hal ini berpotensi menjadi persoalan politis. Karena, bagaimanapun, ada banyak pihak yang telah menanamkan dana dalam jumlah besar, menghabiskan waktu dan tenaga untuk membangun pembangkit-pembangkit berbahan bakar konvensional.
Pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan tambahan pasokan listrik, tentunya harus menjamin keamanan investasi mereka. Ada banyak orang yang menggantungkan harapan ekonominya pada pembangunan pembangkit-pembangkit listrik konvensional itu.
PLTN di Indonesia
Jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo menargetkan pembangunan pembangkit tenaga listrik sebesar 35.000 MW dalam lima tahun masa pemerintahannya yang pertama, hingga tahun 2019. Terlepas target tersebut menjadi bahan kontroversi, baik dari sisi kemungkinan pencapaiannya, maupun dari sisi penggunaannya, di masa depan pertumbuhan kebutuhan listrik dipastikan akan jauh lebih tinggi.
Saat ini saja, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 5% per tahun, pertumbuhan kebutuhan akan pasok listrik tidak kurang dari 8% per tahun.
Pada waktu yang bersamaan dengan digulirkannya proyek kelistrikan tersebut, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) merampungkan riset mengenai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Menurut Menteri Nasir, PLTN sangat bisa dibangun di Indonesia, tanpa mengabaikan atau mengurangi faktor keselamatan, keamanan, dan keekonomisan.
“Dari riset yang dilakukan oleh BATAN, PLTN sangat feasible untuk dibangun di Indonesia,” kata Muhammad Nasir dengan meyakinkan.
Jadi, kata Menteri Nasir, jika target pembangunan pembangkit listrik baru sebesar 35.000 MW yang ditugaskan ke Kementerian ESDM tidak tercapai, maka Kementerian Ristek dan Dikti menawarkan alternatif renewable energy, salah satunya adalah pembangunan PLTN.
Untuk tahap pertama, lanjut Nasir, Indonesia menargetkan penyediaan listrik, 23% di antaranya dari renewable resources, yaitu microhydro, geothermal, solar cell, energi mekanik (angin, ombak dan arus laut), dan energi nuklir. Sisanya, 70% berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil. Komposisi itu secara bertahap harus berubah, pembangkit listrik renewable energy harus makin besar dan yang berbahan bakar fosil makin kecil.
“Di berbagai belahan dunia, trend-nya demikian. Di beberapa negara Eropa, lebih dari 50% listrik yang dihasilkan, berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar renewable energy, termasuk nuklir. Sedangkan di China saat ini, 70% masih menggunakan pembangkit berbahan bakar fosil, 23% dari PLTN, dan 7% sisanya dari berbagai jenis pembangkit renewable energy,” kata Menteri Nasir.
Dari riset yang dilakukan oleh BATAN sejak tahun 1990, dari aspek keamanan dan keselamatan, PLTN sangat aman, dan dari aspek ekonomi sangat efisien.
“Dan satu lagi, dari aspek dampak terhadap lingkungan hidup, PLTN sangat bersih, tanpa polusi, ramah lingkungan. Karena menggunakan clean technology.”
Dari sisi keekonomisan, Muhammad Nasir menjelaskan, saat ini harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batu bara atau diesel, yang harus dibayar oleh masyarakat berkisar antara US$7,5 sen sampai US$9,1 sen per kiloWatt jam (kWh). Sementara dalam perhitungan untuk tahun 2016, harga jual listrik yang dihasilkan oleh PLTN hanya sekitar US$3,5 sen per kWh.
“Jelas, harga listrik PLTN sangat murah, kurang dari 50% dari harga terendah listrik dari pembangkit konvensional saat ini. Ini menguntungkan konsumen, ini yang harus diperkenalkan kepada masyarakat, bahwa PLTN itu aman, clean, efisien.”
Menteri menambahkan, biaya investasi PLTN juga jauh lebih murah dibanding pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Saat ini, biaya investasi pembangkit listrik konvensional berkisar antara US$1,5 juta sampai US$2,2 juta per MW. Sedangkan perhitungan biaya investasi untuk membangun PLTN, hanya US$1,2 juta sampai US$1,5 juta per MW.
“Untuk menghasilkan listrik 1.000 MW misalnya, pembangkit dengan bahan bakar konvensional perlu membangun tiga sampai empat unit. Sedangkan dengan PLTN, cukup satu pembangkit.”
Generasi PLTN
Dalam perkembangannya sejak pertama kali PLTN dibangun pada tahun 1950an sampai tahun 2040 mendatang, para ahli membagi teknologi yang diterapkan dalam PLTN menjadi empat generasi. Generasi pertama dibangun antara tahun 1950an sampai 1960an. Pembangunan PLTN generasi I ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa energi nuklir bisa digunakan untuk tujuan damai.
PLTN yang termasuk generasi pertama, antara lain tipe Shippingport (tipe PWR), Dresden (tipe BWR), Fermi I (tipe FBR) dan Magnox (tipe GCR). Hampir seluruh PLTN generasi pertama ini sudah ditutup pada tahun 1980an dan 1990an.
PLTN generasi II dibangun pada tahun 1970an dan mulai mengedepankan aspek komersial. Beberapa PLTN generasi ini masih beroperasi. PLTN generasi III, dibangun pada akhir dekade 1990, dengan pengembangan signifikan pada aspek keamanan, dampak terhadap lingkungan, dan keekonomisan. Riset untuk pembangunan PLTN generasi III di Indonesia sudah dilakukan oleh BATAN.
Menurut pakar nuklir Indonesia, Fathurrahman Fagi, hasil riset pembangunan PLTN yang dilakukan oleh BATAN itu, dalam rencananya akan dipakai dalam pembangunan PLTN di Muria, Jawa Tengah dan di Bangka. Bahan bakar yang akan digunakan adalah Uranium-235.
PLTN rancangan BATAN ini akan menggunakan teknologi HTGR (High Temperature Gas-cooled Reactor) yang memakai gas Helium sebagai pendingin, grafit sebagai moderator, dan mampu menghasilkan panas hingga 950 derajat Celcius. PLTN generasi III dan III+ ini akan terus dikembangkan hingga tahun 2030.
Menurut Menristekdikti Muhammad Nasir, teknologi HTGR hasil riset yang dilakukan oleh Perancis dan Jerman sudah termasuk PLTN generasi III+. Kemudian teknologi ini dikembangkan oleh China. PLTN yang menggunakan teknologi HTGR sudah dilengkapi dengan sistem pengamanan otomatis yang canggih.
Jika sensor menangkap adanya guncangan pada tingkat tertentu, maka sistem pengaman akan bekerja otomatis mematikan semua peralatan, dan menutup bagian-bagian yang sensitif hingga empat lapis. Sehingga, teknologi ini sangat cocok diterapkan di negara-negara yang sering dilanda gempa seperti Indonesia.
“PLTN berteknologi HTGR ini juga terbukti ekonomis. Di Jepang, biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kWh listrik dengan PLTN HTGR, hanya sekitar 4,1 Yen. Sementara biaya untuk 1 kWh listrik dengan reaktor air ringan, sekitar 5,3 Yen. Ada selisih sekitar 1,2 Yen,” jelas Menristekdikti.
PLTN generasi IV, tidak hanya sebagai pembangkit listrik, tetapi juga sebagai penghasil panas untuk industri pemrosesan. PLTN generasi IV tidak lagi disebut sebagai PLTN, tapi Sistem Energi Nuklir (SEN). Ada enam tipe reaktor daya pada PLTN generasi IV ini, yaitu Very High Temperature Reactor (VHTR), Sodium-cooled Fast Reactor (SFR), Gas-cooled Fast Reactor (GFR), Liquid metal-cooled Fast Reactor (LFR), Molten Salt Reactor (MSR), dan Super Critical Water-cooled Reactor (SCWR). PLTN generasi IV ini akan dikembangkan mulai tahun 2030 sampai 2040.
Menurut Fathurrahman, generasi IV sudah menggunakan bahan bakar cair, antara lain Thorium cair. Hal yang menggembirakan, Indonesia memiliki deposit Thorium yang melimpah, sekitar 117 ribu ton. Thorium dengan jumlah itu bisa menggerakkan 117 Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) berkapasitas 1 GWe selama 1000 tahun. Di Bangka Belitung terdapat tambang monasit dengan deposit 1,5 miliar ton yang mengandung Thorium 0,26% sampai 14,9%.
“Sebagian ada di permukaan tanah yang merupakan produk sampingan atau slag tambang timah. BATAN bersama PT Timah Tbk. melakukan kerja sama untuk memanfaatkan monasit di sana,” kata Fathurrahman.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) untuk Pokja Energi, Zulnahar Usman pernah mengemukakan, kemungkinan Indonesia akan membangun PLTN atau SEN generasi IV yang lebih aman, dan tidak menggunakan Uranium, tapi Thorium yang sumber bahan bakunya terdapat di Indonesia.
Meskipun SEN atau PLTN generasi IV sudah jauh lebih aman, tetap harus memprioritaskan aspek keselamatan para pekerja dan masyarakat sekitar. Dalam pengoperasian PLTN, semua kegiatan harus mengikuti standar keamanan dan keselamatan yang berlaku universal di seluruh dunia.