Terpusatnya lalu-lintas keluar masuk barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok, menyebabkan kemacetan parah pada ruas antara pelabuhan dengan kawasan-kawasan industri. Akibatnya, mobilitas angkutan barang menjadi sangat rendah dan tidak efisien. Karenanya, diperlukan pelabuhan alternatif sekaligus sebagai pendukung Tanjung Priok. Pilihannya jatuh pada Pelabuhan Patimban, Subang, Jawa Barat.
Guna mengantisipasi lonjakan arus barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, sejak lama pemerintah berencana membangun pelabuhan alternatif yang tidak jauh dari Tanjung Priok. Salah satu lokasi yang diunggulkan adalah Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat. Akan tetapi rencana itu mendapat penentangan dari Pertamina, karena di sekitar Pelabuhan Cilamaya terdapat banyak jaringan pipa minyak dan gas bawah laut. Sehingga tidak memungkinkan untuk dibangun pelabuhan besar.
Maka, pemerintah menetapkan enam lokasi alternatif pengganti Cilamaya. Didapatlah Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang, Jawa Barat. feasibility study telah rampung dilakukan pada akhir Maret 2016. Dari FS tersebut diketahui, Pelabuhan Patimban memiliki rentang dermaga sepanjang 3.000 meter. Ini jika dibuat kolom-kolom yang menjulur ke laut, maka total panjang dermaga bisa lebih dari 10.000 meter.
Saat ini, rata-rata kedalaman laut Pelabuhan Patimban sekitar 15 meter. Sehingga, untuk bisa disandari kapal-kapal dengan draught 20 meter, perlu dilakukan pengerukan hingga berkedalaman minimal 25 meter. Sedangkan luas daratan yang akan dijadikan terminal peti kemas dan perkantoran sekitar 300 hektar. Sementara wilayah laut mencapai 700 hektar.
Keunggulan Pelabuhan Patimban hingga pantas menjadi pelabuhan alternatif sekaligus pendukung Tanjung Priok, menurut sumber PORTONEWS di Pemkab Subang, Jawa Barat, jarak dari pelabuhan ke jalan tol Cipali dan Bandara Kertajati Aerocity hanya sekitar 20 kilometer. Ke depan, pada ruas antara Patimban dengan tol Cipali, akan dibangun jalan tol.
Sehingga waktu tempuh dari kawasan industri yang berada di Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang dan Majalengka ke pelabuhan atau sebaliknya akan cukup pendek. Selain dekat dengan akses tol, Patimban juga dilalui jalur Kereta Api Semi Cepat Jakarta-Surabaya, sehingga dipastikan akan menekan biaya logistik bagi perusahaan-perusahaan di sekitarnya.
Pembangunan Pelabuhan Patimban yang diperkirakan akan menelan biaya US$4 miliar, mendekati kepastian dengan investor dan kontraktor dari Jepang, setelah pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Jepang di Nagoya pertengahan Januari 2017 di Nagoya, Jepang, dan dilanjutkan di Istana Bogor.
“Mengenai Pelabuhan Patimban, kami menegaskan bahwa arah kebijakan (pembangunan dan) pengelolaan pelabuhan akan dilaksanakan oleh perusahaan patungan Indonesia-Jepang,” kata Abe seperti ditulis pada website Sekretariat Negara RI.
Sementara Presiden Jokowi mengemukakan, ia bersama Perdana Menteri Abe sudah mencapai kesepakatan untuk membangun Pelabuhan Patimban. “Saya sampaikan bahwa kami akan mengkalkulasikannya terlebih dulu,” tegas Presiden.
Sementara Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengemukakan, pembangunan tahap pertama Pelabuhan Patimban bisa dilakukan pada awal 2018 dan bisa beroperasi paling lambat pertengahan 2019, dengan kapasitas tampung 1,5 juta TEUs (Twenty Foot Equivalent Unit). Tahap kedua kapasitas tampungnya akan meningkat menjadi 3,13 juta TEU’s, dan pada tahap ketiga kapasitas tampung maksimal Pelabuhan Patimban akan mencapai 7,5 juta TEU’s pada tahun 2037.
Mengenai pembiayaan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional – Kepala bappenas, Bambang Brojonegoro mengatakan, untuk pembiayaan pembangunan Pelabuhan Patimban pihaknya menawarkan beberapa opsi. “Bisa B to B, G to G, atau skema alteratif lain. Tapi yang pasti, kita minta grass period 10 tahun dan pembayaran 40 tahun.”
Jika sudah beroperasi, dipastikan Pelabuhan Patimban akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Pasalnya, saat ini mobilitas angkutan barang milik perusahaan-perusahaan yang pabriknya berlokasi di kawasan industri sekitar Bekasi, Karawang dan Purwakarta, dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok, sangat rendah. Sebuah truk pengangkut barang dari pabrik ke pelabuhan hanya bisa satu kali sehari, karena padatnya lalulintas.