Dalam pembangunan infrastruktur, Indonesia sebagai negara atau bahkan Jakarta sebagai Ibukota, sangatlah ketinggalan. Bukan hanya tertinggal oleh kota-kota laiannya di negara-negara berkembang, tapi juga jauh tertinggal dibandingkan kebutuhannya, jauh tertinggal oleh meningkatnya persoalan perkotaan dalam kuantitas, tingkat kesulitan, dan kompleksitasnya. Ditinjau dari infrastruktur transportasi, tidaklah salah jika Jakarta disebut sebagai Kota Tertinggal.
Disadari atau tidak, energi masyarakat Indonesia khususnya para elite, lebih mudah tergulung dalam kegaduhan politik yang tidak berkesudahan, ketimbang membangun ekonomi yang berkelanjutan.
Akibatnya, selama puluhan tahun sejak merdeka, pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan tidak kunjung dibangun. Padahal Jakarta adalah ibukota sebuah negara besar dengan jumlah penduduk yang besar pula.
Seperti yang dikatakan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, hingga kini Jakarta tidak mempunyai sistem drainase atau saluran air bawah tanah untuk menampung air di waktu musim hujan. Padahal itu salah satu hal yang harus dimiliki sebuah kota besar.
“Bayangin, kota Jakarta gak punya transportasi massal, kita juga gak punya terowongan, instalasi untuk pengolahan air limbah,” kata Ahok.
Demikian juga dengan sistem transportasi publik. Hingga tahun 2013, selain angkutan konvensional jalan raya dan kereta api komuter Jabodetabek, Jakarta tidak punya sistem transportasi publik yang memadai. Sementara penduduk Jakarta sudah tumbuh hingga lebih dari 10 juta jiwa, plus pendatang harian yang mencari nafkah di Jakarta sebanyak 3 juta jiwa.
Memang terlalu lama infrastruktur dasar Jakarta tidak dibangun. Tapi, dari tahun ke tahun Jakarta harus menanggung beban over population akibat tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Di kota dengan rasio penduduk terhadap luas wilayahnya tidak seimbang, persoalan di semua aspek kehidupan menjadi sangat sulit diatasi.
Untuk sistem transportasi publik, Bus Rapid Transit (BRT) atau yang lebih dikenal dengan Busway baru dibangun pada tahun 2004, Mass Rapid Transit Transit (MRT) tahun 2013, Light Rail Transit (LRT) tahun 2015. Jika dibangun lebih awal, sistem transportasi publik tersebut menjadi solusi dari kepadatan lalu lintas Jakarta. Tapi karena keterlambatan yang sangat, sistem itu hanya akan mengurangi kemacetan. Persoalannya sudah terlanjur kompleks.
Sehingga, masyarakat yang menggunakan jasa BRT, MRT, dan LRT nanti, bukan mereka yang sebelumnya menggunakan mobil pribadi, tapi menggunakan angkutan umum konvensional, bus kota dan mikrolet. Akibatnya kemacetan di jalan raya tidak tidak berkurang.
Lagi pula, jika dihitung, daya angkut penumpang ketiga sistem transportasi itu tidak signifikan dengan pergerakan sehari-hari warga Jabodetabek, khususnya di Jakarta.
Tapi itu bukan berarti MRT dan LRT tidak perlu dibangun. Tetap harus dibangun. Pada waktunya, ketika Indonesia mempunyai banyak kota-kota baru yang berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan menjadi tujuan alternatif bagi masyarakat yang hendak mengadu nasib, dengan demikian pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta karena urbanisasi berhenti.
Maka, sistem transportasi publik yang memadai dalam kuantitas dan kualitasnya akan menjadi pilihan bagi semua lapisan masyarakat, tidak hanya menjadi ikon sebuah kota besar.
Persoalan Teknis
Proyek LRT di Jakarta akan menjadi model bagi kota-kota besar lain di Indonesia. Saat ini, selain Jakarta, kota yang bersiap membangun sistem LRT adalah Palembang, Sumatera Selatan. Empat poin yang ditekankan oleh Presiden Joko Widodo yang mempunyai komitmen tinggi pada pembangunan infrastruktur.
Pertama, pengawasan atas pembangunannya harus dilakukan dengan sangat ketat. “Ini terus kita rapatkan karena setiap pembangunan infrastruktur harus kita cek terus, apa yang menjadi hambatan dan kendala di lapangan. Apakah terkait dengan pembebasan lahan? Apakah terkait dengan pembiayaan, atau tata ruang? Sampai soal infarstruktur pendukung, harus segera dicarikan jalan keluarnya,” kata Presiden.
Kedua, Indonesia belum punya pengalaman dalam pembangunan infrastruktur transportasi non-konvensional, baik pembangunan LRT, pembangunan MRT maupun pembangunan kereta api cepat. Sehingga, kata Jokowi, pembangunan LRT dan MRT bisa dijadikan pembelajaran bagi ahli teknologi, sehingga bisa diterapkan di kota lain, di masa mendatang.
Ketiga, pekerjaan pembangunan LRT ini bersifat lintas kementerian dan lintas daerah. Oleh sebab itu perlu sinergi, kerjasama yang solid antara pemerinta pusat dan daerah.
Keempat, Presiden ingin memastikan bahwa pembangunan LRT ini bisa selesai tepat waktu yaitu tahun 2018. Kalaupun mundur sedikit, masuk ke 2019. “Karena yang kita semua tahu, pada 2018 kita punya perhelatan olah raga berkelas internasional, Asian Games 2018 di Jakarta,” kata Presiden.
Dari apa yang disampaikan Presiden terkait pembangunan infrastruktur, khususnya LRT, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berkesimpulan, Presiden ingin semua aparatur pemerintah menguasai semua persoalan di lapangan.
“Presiden selalu tekankan pada saya, bahwa lapangan harus dikuasai betul. Laporan mengenai kemajuan proyek-proyek di lapangan harus lengkap dan detail. Presiden dari dulu gak suka teori-teori. Kalau saya jelasin ke Presiden dengan teori, dia gak mau. Maunya dia lihat, mana fotonya? Kemajuannya mana? Sekarang sampai mana? Kira-kira kalau tahun depan sampai mana? Maunya kerja jelas, tuntas. Presiden gak mau sekadar laporan yang baik-baik saja,” kata Ahok.
Karena itu, kata Ahok, proyek pembangunan infrastruktur, termasuk LRT, harus dikontrol agar tidak terjadi keterlambatan pengerjaan, mengingat proyek MRT dan LRT adalah proyek pertama infrastruktur transportasi perkotaan.
LRT Jabodebek
Waktu Pembangunan | 2015-2019 |
Kontraktor | PT Adhi Karya Tbk. |
Panjang Lintasan | 42,1 kilometer |
Rute | 1. Bogor-Cibubur-Cawang-Dukuh Atas |
2. Bekasi Timur-Cawang-Dukuh Atas | |
Per Satu Rangkaian | 4 Gerbong |
Kapasitas Angkut Per Satu Rangkaian | 678 orang |
Perkiraan Tarif | Rp 10.000 – Rp 15.000 |
Mulai Beroperasi | Awal 2019 |
Sebenarnya, lanjut Ahok, pembangunan LRT agak terlambat karena masalah administrasi dan birokrasi pra pembangunan menyangkut siapa yang akan mengerjakan proyek itu.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang direvisi, jelas disebutkan, pelaksananya BUMN dan BUMD. Setelah dilakukan lelang proyek senilai Rp 23 triliun itu dimenangkan oleh PT Adhi Karya Tbk.
Mengenai sumber pendanaan proyek tersebut, Menteri Perhubungan Budi Karya sumadi mengatakan, setelah kontrak ditanda-tangani dengan empat alternatif pembayaran disodorkan, yaitu dengan dana APBN, PSO (publik service obligation), sinergi BUMN atau dengan Penyertaan Modal Negara (PMN).
“Dalam waktu dekat Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan akan mengumumkan pola mana yang akan dipakai, mekanismenya seperti apa,” kata Budi.
Tapi, karena waktunya mepet, pada proyek LRT tersebut, Adhi Karya tidak hanya sebagai kontraktor, tapi juga investor. Karena perusahaan konstruksi plat merah itu harus mencari dana awal pembangunan.
Akhirnya diperoleh dana sebesar Rp 2 trilun yang berasal dari APBN-P 2015 sebesar Rp 1,4 triliun dan ekuitas Adhi Karya sebesar Rp 600 miliar. Proyek LRT sepanjang 42,1 kilometer akan menghubungkan empat kota, yaitu Bogor, Depok, Jakarta, dan Bekasi.