Dalam kondisi keuangan yang seret dan waktu cukup mepet, Presiden Jokowi terus menggeber proyek-proyek infrastruktur besar, termasuk proyek Kereta Api Semi Cepat Jakarta-Surabaya. Dari aspek ekonomi membangun infrastruktur adalah syarat mutlak untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi. Tapi di sisi lain, proyek-proyek besar menjadi pertaruhan politik Jokowi. Jika tidak terawasi secara intensif maka bisa saja berisiko mangkrak, menjadi bahan tertawaan publik seperti halnya proyek Hambalang. Apalagi jika ia memerintah hanya sampai 2019.
Membangun prasarana untuk moda transportasi darat yang cepat, sehingga bisa menghemat waktu, antara Jakarta dengan Surabaya dipastikan akan menjadi stimulus ekonomi bagi masyarakat di Pulau Jawa. Stimulus selama pembangunannya, juga setelah moda transportasi kereta api semi cepat itu beroperasi.
Kereta Api Semi Cepat Jakarta-Surabaya itu adalah kereta api listrik dengan kecepatan rata-rata 140 kilometer per jam, sehingga waktu tempuh sejauh 900 kilometer hanya sekitar lima jam. Jaringan relnya akan menggunakan yang sekarang sudah ada tinggal dilakukan penguatan pada balast atau bantalan pada rel. Jaringan rel tersebut, juga akan diintegrasikan dengan beberapa pelabuhan yang dilalui. Pemerintah menargetkan proyek tersebut akan rampung pada akhir 2019.
Mengenai pembiayaan, selama tiga bulan terakhir tahun 2016 sejumlah pejabat teras republik ini mondar-mandir ke Jepang yang disebut-sebut ‘hampir pasti’ sebagai investor penyandang dana. Sebagai catatan, pembangunan proyek ini diperkirakan akan menelan investasi sebesar US$2,3 miliar.
Namun demikian, pengamat infrastruktur Agus Pambagio berpendapat, adalah aneh kalau pemerintah berharap Jepang akan menjadi penyandang dana sekaligus sebagai kontraktor pelaksana pembangunan, tapi pemerintah menyatakan tender terbuka untuk proyek tersebut.
“Proses tender itu sangat panjang. Bagaimana bisa mengejar waktu yang tinggal dua tahun lagi?” sergah Agus.
Selain penguatan balast rel, proyek lain yang pasti akan memakan waktu cukup lama adalah pembangunan puluhan bahkan ratusan fly over dan underpass di sepanjang jalur kereta api Jakarta- Surabaya. Area rel kereta api semi cepat juga harus steril dari aktivitas manusia dan juga hewan ternak, sehingga perlu pemagaran sepanjang rel.
Ia mengingatkan, karena untuk proyek KA Semi Cepat Jakarta-Surabaya pemerintah sudah melakukan pendekatan dengan Jepang, jangan sampai karena proses tender terbuka itu, proyek itu jatuh ke investor dari negara lain, seperti halnya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Menanggapi opini bahwa pemerintah saat ini lebih ‘memanjakan’ investor dari Tiongkok, Menko Luhut menegaskan bahwa itu tidak benar. Untuk pembangunan proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dilakukan oleh investor dan kontraktor Tiongkok, sedangkan proyek Kereta Api Semi Cepat Jakarta- Surabaya dikerjakan Jepang. “Ingat, investasi Jepang di Indonesia masih jauh lebih besar dibandingkan Tiongkok!”
Studi awal pembangunan jalur KA Semi Cepat Jakarta- Surabaya tersebut hampir rampung dilakukan oleh Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Tahap berikutnya adalah feasibility study yang akan dilakukan bersama tim yang dibentuk Kementerian Perhubungan RI dengan calon investor dari Jepang.
Menyadari saat ini keuangan negara sedang paceklik, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, kemungkinan besar pembiayaan proyek tersebut akan dilakukan dengan skema B to B. “Sekarang dana pemerintah tidak banyak. Jadi akan lebih baik kalau pembiayaannya B to B,” kata Budi Karya.
Namun demikian, apabila pembiayaan dengan skema B to B dinilai tidak fair dan tidak menguntungkan pihak Indonesia, maka tidak tertutup kemungkinan pembiayaan memakai skema G to G. Argumentasinya dikemukakan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Luhut Binsar Pandjaitan.
“Tentu jika dilakukan dengan skema G to G, akan meningkatkan utang pemerintah. Tapi jika dengan pinjaman baru tersebut tingkat utang pemerintah masih pada tingkat wajar, kenapa tidak?”
Belakangan, Menko Maritim dan Sumber Daya Luhut mengatakan pemerintah memutuskan makai skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, atau Public Private Partnership. Hal itu didasarkan atas usulan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional-Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro, yang menyebutkan menurut Undang Undang Perkereta-apian No. 23 Tahun 2007, rel kereta api adalah aset negara dan dikelola oleh pemerintah.
Hanya saja sebagai catatan, defisit APBN-P 2016 mencapai Rp 313,7 triliun atau 2,7% dari PDB. Angka itu sudah ‘lampu kuning’, karena berdasarkan Undang Undang Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003, defisit APBN maksimal 3%. Jika hal itu dilanggar, maka kredibilitas pemerintah akan hancur.
Bahkan untuk menurunkan defisit APBN-P 2016 ke tingkat yang diproyeksikan 2,35%, Menteri Keuangan Sri Mulyani harus memotong anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 65 triliun dan transfer ke daerah Rp 68,8 triliun.
Mengacu pada detail engineering design (DED), pemerintah Jepang akan menyiapkan dana sekitar Rp 100 triliun. Luhut memperkirakan dana yang akan terpakai sekitar Rp 80 triliun.