Presiden Joko Widodo menyatakan, di masa datang Tanjung Priok harus mampu menjadi pelabuhan hub international, untuk kawasan Asia Timur Pasifik. Elvyn menafsirkan, secara implisit pernyataan Presiden adalah bagaimana produk-produk ekspor Indonesia yang dikirim ke negara tujuan dilakukan melalui Tanjung Priok, bukan Pelabuhan Singapura, dan itu sangat mungkin dilakukan. Sehingga Tanjung Priok bisa berkompetisi dengan Singapore sebagai transhipment port.
“Harapan Pak Presiden, bahwa kita bisa berkompetisi dalam konteks transhipment port. We will do it!”
IPC diproyeksikan sudah menjadi operator pelabuhan kelas dunia pada IPC Traffic 2020, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, semua industri pelabuhan harus menerapkan standar safety, security, empowerment dan family yang mengacu pada standard IMO, International Maritime Organization.
Manajemen IPC sedang mengupayakan untuk memenuhi empat aspek tersebut. Kalau bicara soal revenue, soal TEUs, sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian sebuah negara. Tidak fair jika membandingkan Tanjung Priok dengan Pelabuhan Singapura yang revenue dari jasa tugboat-nya saja bisa mencapai US$30 juta.
“Karena Pelabuhan Singapura adalah pelabuhan transhipment, jadi cukup simpel, kapal datang, mampir, pergi. Untuk konteks standar IMO tadi, saya no clash. Dalam konteks revenue saya expect kapasitas terpasang kita bisa terutilisasi secara optimal.”
Saat ini Tanjung Priok memiliki kapasitas bongkar muat 7 juta TEUs per tahun. Dengan selesainya terminal baru, The City One, 1,5 juta TEUs per tahun, totalnya 8,5 juta TEUs per tahun.
Dalam beberapa tahun mendatang, kapasitas itu akan meningkat dengan tambahan dua terminal, IPC 2 dan IPC 3 yang masing-masing berkapasitas 1,5 juta TEUs per tahun. Jadi, totalnya 11,5 juta TEUs per tahun.
Nah, dengan kapasitas bongkar muat 11,5 juta TEUs per tahun, jika utilitasnya mencapai 90% maka Tanjung Priok sudah bisa dikategorikan sebagai pelabuhan kelas dunia. Ukurannya bukan pada jumlah kapasitasnya tapi presented terhadap kapasitas terpasang yang dimiliki. Selain itu, ada aspek-aspek lain, cost harus kompetitif, tingkat produktifitas, dan seterusnya.
“Bongkar muat itu kan standarnya 25-27 kontainer per jam. Kita harus penuhi itu. Kemudian waktu tunggu kapal berapa lama. Sekarang maksimum dua jam kapal harus bisa kita layani. Ukuran-ukuran itulah yang harusnya menjadi parameter, bukan sekadar revenue. Karena bisnis pelabuhan kan service.”
Baik buruknya layanan yang diberikan oleh operator pelabuhan, juga sangat tergantung dengan persoalan-persoalan teknis di darat. Karena pada dasarnya barang yang ditransportasikan (dengan kapal) melalui pelabuhan, dari darat dan ke darat. Sementara sistem lalu lintas di Jakarta, khususnya Tanjung Priok masih un-expected.
Untuk mengatasi hal itu, IPC harus mencari langkah-langkah yang sifatnya terobosan. Salah satunya bagaimana pendistribusian barang bisa cepat ke kawasan industri. IPC akan membangun Inland Waterways dari ujung timur Tanjung Priok ke Cikarang, Bekasi sepanjang 19,5 kilometer, dengan memperlebar Sungai Cikeas.
Pilihan itu diambil karena 70% kargo yang masuk dan keluar dari Tanjung Priok, berasal dari kawasan industri di Cikarang, Bekasi. Pembangunan Kanal Cikarang Bekasi Laut (CBL) dengan investasi sekitar Rp4 triliun tersebut diperkirakan akan rampung pada tahun 2019.
Elvyn menjelaskan, tahapan pekerjaan yang dilakukan untuk membangun waterways itu meliputi pengerukan, pematangan, kemudian pembangunan terminal di masing-masing ujung kanal.
Sejauh ini, dana investasi untuk pembangunan Inland Waterways tersebut masih mengandalkan capital expenditure (capex) PT Pelindo II. Sebenarnya, kata Elvyn, IPC terbuka bagi investor yang mau ikut dalam pembiayaan, termasuk kalangan kawasan industri dan shiping line.
“Yang punya wilayah Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan Pemprov Jawa Barat, kami sudah bekerja sama dengan keduanya. Nanti, kanal itu akan dikelola oleh IPC. Kalau pakai kanal kan harus bayar. Kalau punya kargo tinggal pilih, pakai truk atau pakai kanal,” ujarnya.
Satu tongkang yang ditarik tugboat bisa membawa 100 kontainer. Itu jauh lebih efisien, lebih murah, lebih cepat sampai, dan bebas hambatan, dibanding dengan truk yang hanya mengangkut maksimal dua kontainer lewat jalan raya yang lebih sering macet. Kalau tahap pertama dioperasikan empat tongkang, itu bisa mengurangi 30% penggunaan di jalan jalan raya.

Kedua, menghidupkan kembali jaringan rel kereta api dari dan meuju pelabuhan. Sebenarnya, kata Elvyn, desain terminal-terminal di pelahunan belum seutuhnya compatible dengan kereta api. Itulah yang dilakukan IPC guna menyiasati persoalan-persoalan hinterland.
Elvyn mengakui, kapasitas Tanjung Priok yang 11-12 juta TEUs per tahun itu sudah mencapai puncaknya. Karena jaringan jalan raya di Indonesia tidak didesain lebar seperti di negara-negara maju. Itu sebabnya dalam jangka panjang harus dibangun pelabuhan alternatif penunjang Tanjung Priok. Salah satunya adalah Patimban di Subang, Jawa Barat. Dalam 5-10 tahun ke depan, Pelabuhan Patimban bisa berfungsi paralel dengan Tanjung Priok.
Selain Patimban, IPC juga punya proyek strategis nasional, yaitu membangun Pelabuhan di Sorong di Papua untuk Indonesia Timur, Kijing di Kalimantan Barat, kemudian pengembangan Terminal Kalibaru, Jakarta.
baca selanjutnya: Kinerja Keuangan IPC