HINGGA tahun 2025 kebutuhan listrik di Indonesia diperkirakan akan mencapai 35.000 Megawatt, seperti dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam program bauran listrik, ditargetkan 23% dari 35.000 Megawatt dihasilkan oleh pembangkit listrik yang menggunakan energi baru terbarukan. Di masa depan, bauran energi listrik sangat penting karena penggunaan energi fosil dianggap merusak lingkungan, baik dalam penambangannya, maupun penggunaannya.
Energi baru terbarukan di Indonesia, pilihannya cukup beragam, ada tenaga angin, gelombang dan arus laut, sinar matahari, dan yang paling potensial adalah panas bumi. Sebagai negara yang dilintasi Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik, hingga kini di Indonesia terdapat lebih dari 300 titik panas bumi. Namun pemanfaatan panas bumi masih dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat sulit diurai. Guna mendapatkan penjelasan lebih komprehensif mengenai pemanfaatan panas bumi di Indonesia, Yus Husni M. Thamrin dan Renol Rinaldi dari PORTONEWS mewawancarai Ketua Umum Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma. Berikut petikannya:
Berbicara mengenai energi terbarukan di Indonesia, sampai saat ini seolah terkonsentrasi pada geothermal. Padahal energi terbarukan itu banyak sekali jenisnya. Mengapa geothermal yang populer?
Energi air, PLTA itu sudah ada sejak dulu, tapi kemudian belakangan energi air yang besar itu tidak dikategorikan energi baru terbarukan. Karena yang dikategorikan energi terbarukan untuk air itu yang kapasitasnya lebih kecil dari 10 Megawatt, mini hydro. Karena tidak tergolong ke dalam energi terbarukan, maka pengembangannya pun terbatas juga. Untuk membangun PLTA, umumnya harus menenggelamkan kampung, ribuan hektar, bahkan jutaan hektar lahan. Itu berarti merusak lingkungan juga. Sementara kita berbicara memperbaiki lingkungan. Kok itu justru merusak? Kecuali yang dikembangkan di Eropa, bendungan untuk PLTA hanya di sungai saja. Karena itu, dunia menolak pengembangan energi PLTA yang sifatnya boros lahan. Sehingga PLTA tidak menjadi fokus. Kalau di Indonesia, kita punya energi yang lain. Energi panas bumi, termasuk yang terbesar di dunia, karena itu dia menjadi fokus.
Panas bumi itu energi yang terbarukan. Akan tetapi, dalam prosesnya memerlukan waktu yang panjang, katakanlah dari start sampai generate itu 8-10 tahun, eksplorasinya lama, setting up-nya sangat mahal, sehingga investor tidak tertarik. Dalam waktu yang lama itu, uang dalam jumlah besar bisa menghasilkan gain lebih banyak lagi. Penjelasannya bagaimana?
Bagi pengusaha, kalau mau menanamkan sesuatu pasti ada risiko. Risiko itu dikompensasi dengan keuntungan. Makin besar risiko, makin besar keuntungan yang didapatkan. Kalau risiko tinggi tapi keuntungan kecil, ngapain? Karena itu konsekuensinya adalah, kalau risiko tinggi, berarti pengembalian modalnya juga harus tinggi. Ketika dia tidak dapatkan harga yang memadai, ya berarti tidak akan jalan proyek itu, dan tidak akan dikembangkan.
Sementara, listrik yang dibeli PLN dari berbagai jenis pembangkit. Bagaimana harga listrik PLTP bisa bersaing dengan listrik PLTU?
Kalau kompetitif itu melihatnya harus apple to apple, harus sama. Sekarang kita bandingkan geothermal dengan batu bara. Geothermal itu energi yang bersih, batu bara itu kotor. Kalau mau sama-sama bersih, maka batu bara pun harus menggunakan teknologi yang bersih. Nah, ketika itu apple to apple maka harganya pun akan sama. Batu bara secara fisik kalau mau digunakan, dia harus menambangnya dengan pertambangan terbuka, maka harus men-destroy lingkungan. Geothermal, gak ada kerusakan lingkungan. Ini kan gak apple to apple, ketika yang destroy itu mendapatkan harga yang murah dan yang ramah lingkungan harganya mahal. Kita bilang itu gak kompetitif, kan gak fair.
Cuma kan market tidak peduli, itu ramah lingkungan atau tidak?
Memang kalau diserahkan ke market, sama kayak orang masih butuh makan, mau dari nyuri atau enggak itu bukan urusan. Tapi apakah itu akan kita biarkan? Karena dia tidak punya uang untuk membeli makanan, kita biarkan dia mencuri? Berarti harus ada peran seseorang, dalam negara itu Pemerintah. Pemerintah harus membuat suatu peran agar tidak serta merta menggunakan energi yang tidak ramah pada lingkungan, tetapi menciptakan masyarakat yang aware terhadap lingkungan. Itu jauh lebih baik.
Berarti harus ada instrumen yang memberikan semacam ‘penalti’?
Kita tidak harus memberikan penalti, hanya harus ada peran Pemerintah untuk meregulasi, sehingga memungkinkan perbandingan apple to apple, tidak ada orang yang mengatakan itu murah, itu mahal. Jadi Pemerintah harus menciptakan tools, misalnya, kalau ada orang yang menggunakan energi yang kotor, konsekuensinya dia harus bayar denda. Denda itu dikompensasi dengan harga. Jadi, peran Pemerintah di sini sangat sentral agar semua energi punya peran masing-masing. Apalagi sekarang sudah dibuat ke dalam kebijakan energi nasional. Jadi energi terbarukan gak mengambil peran batu bara, batu bara juga jangan mengambil peran energi terbarukan, ada porsinya masing-masing. Bagaimana porsi ini ditingkatkan, supaya modal yang ditanamkan dapat kembali. Kita yang harus menciptakan.
Pemerintah harus memberikan kewajiban kepada perusahaan yang menggunakan energi yang merusak lingkungan itu ke pihak lain?
Itu sudah diatur dalam Undang-Undang Energi, bahwa harga energi itu ditetapkan berdasarkan keekonomian yang berkeadilan. Bagaimana mencapai harga energi yang berkeadilan? Di situ disebutkan, ada konservasi energi yang dimasukkan, itu ada nilai. Nilai itu siapa yang tetapkan? Pemerintah. Anak cucu kita yang tidak bisa menikmati energi fosil karena habis, itu kan ada nilainya, namanya premium tax. Kemudian ada biaya lingkungan, externality-nya itu dimasukkan di situ. Ada nilai, tetapkanlah berapa nilai yang bisa dihitung.
Sejauh ini, apakah Pemerintah ke arah sana?
Mungkin sekarang cara memandangnya saja yang berbeda. Kalau di Undang-Undang hasil Pemerintah itu adalah komitmen Pemerintah dengan Parlemen, komitmen politik. Kalau ditanya, Pemerintah ke arah sana, mustinya iya.
Indonesia begitu banyak memiliki potensi panas bumi, di 312 titik. Itu yang sudah termanfaatkan berapa besar?
Sekarang 1648 Megawatt.
Energi ini kan dijual ke PLN. Apakah dihargakan sama oleh PLN yang dibeli dari geothermal dan batu bara?
Energi terbarukan di kita, ketika dijadikan listrik, pembelinya kan tunggal. Kalau pembeli tunggal itu, selama ini negosiasi. Kalau negosiasi itu bisa cepat, juga bisa lama. Kayak (PLTP) Sarulla itu lima tahun negosiasinya. Kalau pengembangannya 5 tahun, negosiasinya 5 tahun berarti 12 tahun.
Padahal makin mulur ‘argometer’ jalan terus?
Argo siapa yang tanggung? Investor. Konsekuensinya apa? Insentif. Itu saja. Kita sudah bisa jawab, bahwa cara-cara itu tidak memberikan insentif kepada investor untuk pemanfaatan yang lebih cepat. Kalau itu bisa kita tetapkan dengan sistem tarif, maka orang akan melihat berapa harga di sini? Dia bisa masuk atau tidak? Kalau negosiasi, mungkin dia bisa dapat segini, bisa juga enggak, atau malah gak dapat-dapat.
Apakah Anda melihat di situ ada ruang ‘abu-abu’?
Oh, saya gak tahu.
Negosiasi harga listrik itu kan domain publik, harus terbuka? Jadi negosiasi ini yang menjadikan lama?
Salah satu. Tapi banyak lagi. Jadi tools semacam ini yang sebetulnya bisa diubah menjadi lebih cepat, sama misalnya ketika kita menyelesaikan izin usaha yang berbelit-belit. Itu kan tools juga, makin berbelit-belit kan makin costly, makin cepat makin mengurangi cost. Kenyataan di Indonesia, proses izinnya berbelit-belit.
Belum tersentuh percepatan? Atau deregulasi?
Mungkin sekarang sudah mulai diarahkan lebih mudah.
Apakah PLN memperlakukan hal yang sama untuk pembelian listrik batu bara?
Saya kira polanya kalau batu bara itu dia sudah ada harga, yang di-tender itu pembangkitnya. Kalau pembangkit di mana-mana sama. Tapi harga batu bara kan di-pass through-kan ke PLN. Kalau harganya naik ya naik, kalau turun ya turun. Jadi gak ada persoalan ini itu. Kalau energi geothermal, kita kontrak selama 25 tahun, ya 25 tahun harganya segitu.
Harusnya PLN bisa menghitung inflasi?
Kalau harusnya iya, tapi persoalannya negosiasi ini gak seimbang. Pembeli satu, penjualnya bisa banyak. Posisi tawar tidak seimbang, makanya perlu peran regulator?
Dari 1.648 Megawatt ini yang sudah dibeli PLN?
Ya, itu yang sudah diproduksi.
Boleh dapat bocoran 1.648 Megawatt yang dibeli PLN berapa?
Itu kan macam-macam unitnya, ada yang cuma 2 Megawatt, ada yang 10 Megawatt.
Range-nya berapa?
Saya gak hafal.
Artinya 1.648 MW itu harganya berbeda-beda dilihat dari tingkat kesulitannya?
Tergantung hasil negosiasi.
Dan keputusannya itu keputusan ‘daripada mangkrak’?
Mungkin ada yang iya dan juga tidak.
Sarulla itu mungkin yang terbaru, kalau Anda tadi bilang dari tahun 1994?
Terbaru deal-nya. Dulu dikembangkan oleh Unocal, mungkin dia lihat suasana, dia jual. Kenapa dia jual kalau itu memang menguntungkan.
Yang di Kamojang, Garut dan Gunung Salak, itu bagus?
Ya, itu sudah mulai sejak lama. Jangan tanya harga, dulu di Kamojang harganya cuma US$1 sen per Kilowatt jam, tapi setelah sekian lama jalan dengan kondisi seperti itu kemudian di-renegosiasi.
Yang dalam negosiasi?
Anda bayangkan begini, tahun 1974 energi panas bumi dikembangkan di Indonesia, itu polanya negosiasi. Saya melihat dari 1974 itu ada yang sampai 20 tahun baru bisa. Lahendong (Sulawesi Utara) Unit I mulai dibor tahun 1982, baru selesai negosiasi tahun 2002. Berarti 20 tahun.
Selama 20 tahun itu maintenance-nya?
Dari developer-nya, investor.
Nah, dengan lamanya negosiasi itu hitung-hitungan investor berbeda lagi dari tahun ke tahun?
Sudah pasti berbeda, tetapi posisinya, kalau sudah 20 tahun tanam investasi di situ, gak ada yang mau beli, daripada gak ada sama sekali, berapa aja jadi, yang penting diambil. Bisa begitu kan?
Dan sangat mungkin begitu?
Tanya ke developer-nya.
Lahendong punya siapa?
Pertamina.
Kalau yang privat, seperti Sarulla?
Sarulla mulai dikembangkan tahun 1994. Sudah 24 tahun, baru Unit I.
Sudah berproduksi?
Ya, Unit I baru berproduksi.
Kalau orang awam berpikir, besinya saja selama 20 tahun mungkin sudah habis kena karat. Berarti bisa double investasinya?
Bukan saja persoalan double, kalau gak ada yang beli akhirnya berapa pun akan dijual juga.
Bisa dijelaskan tahapan beroperasinya PLTP? Setelah dibor pertama sudah generate?
Belum, pembangkitnya kan belum ada, tapi uangnya sudah masuk di situ. Jadi tidak seimbang, makanya saya bilang dalam hal ini perlu ada peran arbiter, agar seimbang.
Yang tadi diceritakan itu user atau buyer, Pemerintah sebaiknya membuat regulasi yang menjadikan energi yang dihasilkan dari geothermal dan batu bara relatif sama. Persoalannya sekarang dengan lembaga pembiayaan, karena investor tidak mungkin menggunakan 100% ekuitas. Bagamana bank bisa menilai layak, menguntungkan dalam bisnis kalau tidak ada certainty dalam negosiasi?
Makanya dari potensi yang kita punya 29.000 Megawatt kan gak jalan-jalan, baru 1.600 Megawatt. Karena gak ada yang biayai.
Yang 1.600 MW ini dari mana biayanya?
Sebagian besar Pertamina yang jalankan. Pertamina, dia sudah bor. Kalau gak ada yang beli, ini sudah dibor, jual saja pada akhirnya.
Padahal ini akan menjadi pilihan utama ketika energi fosil habis?
Dalam Undang-Undang Energi disebutkan, energi terbarukan itu sudah prioritas, bahwa diimplementasikan atau tidak, itu persoalan lain.
Boleh tahu pihak mana yang tidak eager dalam shifting dari energi fosil ke terbarukan?
Ini komitmen bersama, malah saya kira, tidak bisa kita sebutkan ini pihak mana. Kita harus bersepakat. Misalnya, ada pada satu masa Pemerintah ingin melakukan tapi Parlemen tidak, enggak jalan. Tapi ada masa lain, Parlemen bersepakat, karena itu muncul inisiatif Undang-Undang tentang Panas Bumi, itu berarti DPR bersemangat. Jadi dua-duanya harus gayung bersambut, dan isinya harus menarik bagi para pemilik modal.
Menurut Anda, kira-kira masih berapa lama untuk bisa memanfaatkan potensi panas bumi dengan smooth? Katakanlah, aspek legalnya mulai digarap sejak sekarang?
Aspek legal sudah ada, kita punya Undang-Undang tentang Energi, kita punya Undang-Undang Panas Bumi, kita punya PP tentang KEN (Kebijakan Energi Nasional) dan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) targetnya 23% (dari total energi listrik yang dihasilkan), itu sudah cukup sebagai instrumen. Sekarang bagaimana menyusun roadmap agar target-target KEN itu tercapai pada 2025.
Instrumennya. Pertama, regulasi, yang ditugaskan harus memberikan daya saing. Kedua, kita harus punya legal aspek, jangan sering-sering melakukan perubahan aspek hukum. Karena kalau sering melakukan perubahan akan menimbulkan ketidakpastian bagi bisnis. Ketiga, teknologi. Kita harus punya tekonologinya, jangan semuanya kita impor. Keempat, kalau ingin mengembangkan SDM-nya harus dipersiapkan juga, jangan sampai ini mau ada, tapi SDM tidak ada. Terus dari mana? Kelima, lembaga finansial harus memiliki daya tarik, semua yang diberikan memiliki daya tarik dari segi bisnis, memiliki daya tarik bagi yang punya uang. Oleh karena itu pricing policy itu menjadi sesuatu yang penting.
Selain geothermal?
Ada Solar PV, ada bioenergi, energi arus laut, energi angin.
Dari semua itu hanya solar yang sudah berkembang di Indonesia?
Kalau yang dipasang di tiap-tiap rumah punya Pemerintah itu sudah lama. Tapi sebagian besar setelah dipasang tidak berfungsi, banyak komplain.
Artinya bioenergi, laut, angin itu belum ada?
Kalau energi angin sudah ada di Jeneponto, unit pertama.