Presiden Joko Widodo menargetkan biaya logistik di Indonesia turun hingga 16% dari produk domestik bruto pada tahun 2019. Sebagai catatan, tahun 2014 biaya logistik tahun 2014 masih sebesar 24% dan tahun 2016 naik jadi 26% dari PDB.
Wakil Ketua Umum DPP Aptrindo, Lookman Djaya mengaku, Aptrindo pesimistis target itu akan tercapai. Menurut dia, hingga kini konsep-konsep dalam sistem logistik nasional (sislognas) belum diimplementasikan. Selain itu, lebih mikro lagi, pemerintah tidak membangun sistem angkutan barang jalan raya yang menjadi tulang punggung logistik di Indonesia.
Lookman menjelaskan, dalam Undang Undang Transportasi No. 22 Tahun 2009, tidak dikenal istilah terminal barang, yang ada hanya terminal penumpang. Karenanya, menurut dia, Sislognas tidak connected dengan sistem transportasi nasional (Sistranas).
“Padahal, jika pemerintah membangun terminal-terminal barang sebagai hub bagi angkutan logistik jalan raya, akan jauh lebih efisien, dan dampak ekonominya bagi masyarakat akan sangat besar,” kata Lookman.
Selama ini, pengiriman logistik di Indonesia dilakukan point to point, tidak dikonsolidasikan dan tidak difasilitasi. Akibatnya, biaya angkutan logistik menjadi mahal.
Ia mencontohkan, saat ini 100 petani jeruk di Pacitan, Jawa Timur, atau 100 petani sayur di Kerinci, Sumatera Barat, mengirim hasil buminya menggunakan truk masing-masing. Kalau ada 100 titik keberangkatan dan 100 titik tujuan, maka harus dilakukan 10 ribu kali pengiriman.Tapi kalau dibangun satu hub di kota keberangkatan, maka hanya diperlukan 200 pengiriman. “Ada banyak biaya yang sebenarnya bisa dihemat.”
Belum lagi kalau hub logistik itu berada dekat dengan stasiun kereta api. Biaya kirim Surabaya-Jakarta untuk satu kontainer feet sekitar Rp 2,75 juta. Sedangkan kalau menggunakan truk, biayanya sekitar Rp 6,5 juta. Belum lagi, kalau dihitung biaya harga bahan bakar solar yang dipakai. Solar yang dipakai kereta api, bukan solar bersubsidi, tapi solar untuk truk solar subsidi.
“Satu kali perjalanan kereta api dengan 30 gerbong, sebanding dengan 60 truk. Lebih banyak lagi biaya yang bisa dihemat,” kata Lookman.
Sementara Anggota Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia, Ellen SW Tangkudung berpendapat, perlu tidaknya hub bagi angkutan logistik, tergantung jenis moda transportasinya, karakteristik komoditas yang diangkutnya, serta lokasinya di mana? Karena kebutuhan di Pulau Jawa dengan di kalimantan jelas berbeda.
“Justru kalau di setiap kota dibangun hub atau terminal logistik, menjadi gak efisien. Selama ini, distorsi yang menyebabkan tingginya biaya transportasi di Indonesia ada pata titik-titik transfer, pergantian moda transportasi. Nah titik transfer itu adalah terminal, pelabuhan, dan stasiun. Jadi kalau dibangun banyak terminal logistik, biayanya akan semakin tinggi,” kata Ellen.
Menurut Ellen, kunci sukses pembangunan transportasi di Indonesia adalah bagaimana mengeliminasi biaya tinggi pada crusial point, titik-titik transfer tersebut. Selain itu, masalah transportasi bukan hanya domain Kementerian Perhubungan, tapi stake holder-nya banyak, ada Kementerian PU dan Perumahan Rakyat yang menangani infrastrukturnya, ada Polri, Kemenkumham, dan lain-lain.
“Jadi, apakah target Presiden Jokowi menurunkan biaya logistik sampai 16% dari PDB pada tahun 2019 akan tercapai? Tergantung para menteri dan staf yang bekerja di bawahnya. Kalau mereka mau bekerja, bukan tidak mungkin itu tercapai. Apalagi pada tahun 2019 banyak proyek infrastruktur yang selesai dibangun,” kata Ellen.
Mengenai infrastruktur yang ada saat ini kurang mendukung sistem logistik nasional, Ellen maupun Lookman sependapat. Salah satu indikator buruknya infrastruktur jalan raya saat ini adalah kemacetan lalu lintas yang menyebabkan biaya operasional meningkat dan utilitas alat transportasi menjadi rendah.
“Karena jalan raya sering macet, petani strawberry di Bandung memetik buah yang baru 70% matang. Karena, jika mereka memetik strawberry yang kematangannya 90%, kalau macet buah itu akan busuk di jalan. Konsekuensianya, strawberry lokal rasanya masam, konsumen lebih memilih strawberry impor.”
Lookman menambahkan, tingkat kebusukan hasil bumi yang ditransportasikan lewat jalan raya, rata-rata mencapai 30%. Kalau macetnya parah, komposisinya bisa terbalik, 70% yang busuk.
Lookman berpendapat, sejauh ini sislognas baru sebatas ide, belum terimplementasikan sama sekali. Dalam konsep transportasi massal, harus ada hub and spoke. Fungsi dari hub logistik untuk mendekatkan barang yang ditransportasikan ke titik-titik distribusi.
Lookman menambahkan, untuk mengimplemantasikan transport oriented development (TOD) diperlukan waktu yang lama. Bukan saja pembangunan infrastruktur, sarana, dan pra sarana, tapi yang jauh lebih penting lagi adalah membangun manusia sebagai pelakunya.
Ia mencontohkan, transport oriented development di Jepang dimulai tahun 1872 , dan diperkirakan akan rampung pada tahun 2045. Artinya, TOD tersebut harus dipadukan dengan pengembangan tata kota yang konsisten dalam jangka panjang.
“Di Indonesia, mengawal tata kota ini susahnya setengah mati. Setiap pergantian kepala daerah, hampir pasti diikuti perubahan tata kota,” kata Lookman.
Hingga kini, 80% PDB dihasilkan dari Pulau Jawa. Nah, di Pulau Jawa ini, transportasi logistik 97% dilakukan dengan moda transportasi jalan raya. Terminal barang yang memakai kereta api cuma ada di Pelabuhan Tanjung Perak dan Tanjung Priok. Akibatnya, industri mendekati jalan tol, kalangan petani yang tidak memiliki modal yang kuat, terpaksa minggir. Biaya transportasinya lebih tinggi.
“Kalau pemerintah mau membangun terminal barang, hub logistik, paling tidak, biaya logistik di Pulau Jawa bisa diturunkan,” tegasnya.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Ellen, Lookman mengemukakan pemikirannya. Tol laut yang menggunakan kapal-kapal Pelni, terjadwal akan jalan terus, ada atau tidak ada muatan. Karena pelayaran Pelni disubsidi melalui public services obligation (PSO). Diharapkan ongkosnya murah.
Tapi kemudian persoalannya, adalah biaya dari pelabuhan Pelni di wilayah timur Indonesia, ke tujuan akhir barang akan dikirim yang sangat mahal. Di sana ada pergantian moda transportasi atau transfer, dari kapal laut, ke angkutan jalan raya, terus ke angkutan udara.
“Biaya tol laut-nya ok murah, tapi ongkos ke tujuan akhir atau last money, bisa sampai 90% dari total biaya pengiriman,”
Lookman mengatakan, meskipun angkutan barang jalan raya menjadi tulang punggung angkutan logistik nasional, sejauh ini Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aprtindo) tidak memiliki bargaining position yang kuat terhadap pemerintah.
Pasalnya, hingga kini jumlah truk yang pemiliknya tergabung dalam Aptrindo belum sampai 10 ribu. Sedangkan jumlah truk di Indonesia sekitar enam juta unit. Sebagian besar truk di Indonesia dimiliki oleh para pengusaha untuk mengangkut barangnya sendiri. “Jadi, kami belum didenger.”