Dari postur organisasi dan magnitude aset, di antara tujuh perusahaan operator telekomunikasi selular yang beroperasi di Indonesia saat ini, mungkin Smartfren berada di posisi ke 5 atau 6. Wajar, karena Smartfren baru beroperasi pada tahun 2002. Sementara para kompetitornya sudah masuk pasar sejak awal dekade 1990an. Per 30 September 2016, Smartfren membukukan pendapatan sebesar Rp 3,25 triliun dari total aset Rp 21,5 triliun.
“Pertanyaannya, haruskah kami jadi nomor 1? Untuk survive dan sehat, jawabannya gak harus!” kata Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk. Merza Fachys.
PT Smartfren Telecom Tbk. adalah hasil merger antara PT Smart Telecom Tbk. dan PT Mobile-8 Telecom Tbk. pada April 2010. Saat itu, PT Mobile-8 Telecom Tbk. milik Hary Tanoe Sudibyo di bawah PT Global Mediacom, diakuisisi oleh Sinar Mas Group, induk PT Smart Telecom Tbk.
Merza menyebutkan, hingga kini kue pasar telekomunikasi di Indonesia masih sangat besar, oportunity-nya masih banyak. Tapi, lanjut Merza, dunia usaha telekomunikasi Indonesia terlanjur memasuki era persaingan tidak sehat.
Awalnya, hal itu terjadi tahun 2004-2005, di mana waktu per menit bicara tarifnya masih sekitar Rp 2500. Apakah itu fair? “Konsumennya mau!”
Tiba-tiba ada salah satu pemain memunculkan ide dengan tarif Rp 1 per detik. Waktu itu, operator tersebut mengatakan bahwa tarif tersebut adalah tarif promosi untuk di Sumatrea. Karuan saja, hal itu diikuti oleh operator lain dengan tarif Rp 1/menit. Dampaknya, pasar geger!
Kemudian, apakah dari situasi yang terlanjur tercipta itu, industri ini bisa sesehat sebelumnya? Sulit. Pada tahun 2008, Global System for Mobile Communications Association (GSMA) atau asosiasi operator telepon selular sedunia yang berpusat di London menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan layanan telekomunikasi termurah di dunia.
Padahal, untuk menghasilkan layanan telepon per menit itu tidak murah, tapi tarifnya paling murah. Tidak rugi, tapi marginnya jadi kecil. Persoalannya, Dengan perang tarif seperti itu, menimbulkan masalah bagi para pemain yang permodalannya kurang kuat. Mereka sulit untuk bertahan, untuk bisa survived saja mereka harus pontang-panting.
“Jadi, apakah kita bercita-cita jadi besar? Tidak. Kami mau sehat. Sudah tercapai? Belum.”
Dalam rencana bisnis, sejak smartfren didirikan, shareholder memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan industri telekomunikasi, dengan seluruh perkembangannya yang cepat.
Meski bukan nomor satu dalam postur, lanjut Merza, Smartfren selalu menjadi pionir dalam penerapa teknologi terbaru di Indonesia. Walaupun teknologinya (waktu itu) CDMA, Smartfren adalah perusahaan pertama pengguna ‘One X Data’ sebelum operator lain melayani data. Itu tahun 2001, ketika itu di dunia nomor 6.
CDMA berkembang dari ‘One X Data’ ke teknologi EV-DO yang diusung CDMA untuk layanan data. Smartfren pengguna pertama Rev A di Indonesia, nomor 3 di dunia. Begitu juga saat teknologi Rev B.
Berikutnya, teknologi 4G, Smartfren adalah operator pertama layanan pada Juni 2015. Juga saat 4G advance diluncurkan, Smartfren ke 8 di dunia. Dan terakhir, ketika teknologi voice over lt diluncurkan pada 2016, Smartfren menjadi yang ke 6 di dunia, dan pertama di Indonesia.
“Itu visi utama Smartfren jadi pionir, semua gak murah. Itu komitmen pemegang saham. Jangan tanya dulu bisnisnya bagaimana? Kita belum ngomong bisnis. Baru ngomong bagaimana mencapai visi. Dengan harapan visi ini bisa mengangkat bisnis. Berat memang. Makanya raport kami sampai 2016-2017 masih merah,” papar Merza.
Dalam business plan Smartfren, kata dia, hingga 2016-2017 memang diproyeksikan masih minus. Bukan karena revenue-nya buruk. Bahkan kalau bicara pendapatan, Smartfren selalu mencetak pertumbuhan revenue double digit. Tapi kebutuhan untuk investasi masih lebih kenceng dari pertumbuhan revenue.
“Jadi, jangan mikirin kapan untung. Kami mau sehat, ramping, itu komitmen.”
Dalam industri telekomuikasi selular, rule of thumb-nya, 30% dari revenue harus dialokasikan untuk re-investasi. Smartfren, dengan pendapatan tahun rata-rata Rp 3 triliun, 30%-nya atau Rp 1 triliun, harus di-reinvest. Dalam industri telekomuikasi selular, reinvest Rp 1 triliun tidak dapat apa-apa. Lalu kapan final achievent? Inilah uniknya industri telekomunikasi selular. Even Telkomsel, selalu berinvestasi tiap tahun.
“Kita gak mungkin investasi dari revenue, belum saatnya. Tapi dari kantong shareholder. Rising fund-nya bagaimana, terserah. Kalau begitu jangan investasi gede-gede dong! Gak bisa! This is part of our vision and nature of telecommunication industry,” kata Merza.
Karena Smartfren adalah perusahaan publik, maka dengan tambahan modal dari pemegang saham mayoritas, maka persentase saham publik atau pemilik saham minoritas akan terdilusi? Tentu.
“Kalo gak mau terdilusi, ya ikut chip in dong. Kalau mau untung, ambil saham lain. Ini memang dalam plan masih minus, demi teknologi, demi visi mulia,” kata dia.
Saat ini, coverage Smartfren baru mencapai 70% dari penduduk Indonesia. Kalau dari sisi geografis masih jauh. Sementara segmen yang dibidik adalah para pemakai yang harga hp-nya di bawah Rp2 juta. Sebagai catatan, bukan mereka yang berdaya beli kelas bawah, tapi yang baru punya handset, mereka masih fresh.
Kedua, gen Y dan milenial yang menyukai banyak feature. Ketiga, mereka yang haus data. Untuk menangkap segmen tersebut, Smartfren adalah satu-satunya operator telekomunikasi selular yang memproduksi handset, yaitu Andromax yang harganya tidak lebih dri Rp 1,7 juta. “Tentunya di sana kami sisipkan misi edukasi.”
Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan pengguna internet tertinggi di dunia. Tahun 2008 penetrasi internet di Indonesia hanya 2,2% dari jumlah penduduk tapi pada 2012 angka itu melompat jadi 28%. Fenomenal.
“Peningkatan itu kami yang buat. Sejak awal Smartfren fokus pada layanan data. Kurva itu kami yang buat. Dan kurva penetrasi internet terhadap jumlah penduduk tersebut, berbanding dengan sales perushaan-perusahaan operator telepon selular,” kata Merza.
Lalu, bagaimana Smartfren meng-intercept perkembangan teknologi informasi biar tidak kecolongan? Perkembangan di bidang IT menstimulasi orang-orang untuk melakukan hal-hal besar di muka bumi. Misalnya, melalui perusahaannya Space-X, Elon Musk berencana meluncurkan 4.425 satelit untuk menjadikan dunia jadi fully wifi.
Merza menerangkan, dulu perusahaan teleks ditelan SMS, pager ditelan SMS, lalu SMS tersisih oleh WhatsApp dan seterusnya. Apakah perusahaan teleks atau pager itu mati? Tidak. Mereka bermetamorfosa, ada yang jadi menjadi perusahaan pembuat konten, aplikasi-aplikasi internet, dll.
Artinya, perubahan itu tidak serta merta melenyapkan pemain usaha yang ada. Karena mereka selalu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Dari awal, itu landasan utama platform Smartfren. Makanya, kami memilih menjadi pionir untuk teknologi telekomunikasi di Indonesia.
Ia mengingatkan, jauh-jauh hari Presiden Jokowi sudah mengatakan, digital akan menjadi platform utama ekonomi Indonesia. Pada tahun 2020 nilai bisnis e-Commerce akan mencapai US$160 miliar.
Apakah mereka bisa jalan tanpa jaringan operator? Itu baru bisa dieksekusi jika ada jaringan yang dilewati. Artinya kapasitas jaringan hari ini masih di bawah kebutuhan bisnis yang nilainya miliaran dolar. Kalau ada pemain lain menambah jaringan satelitnya tentu akan lebih baik.
Perkembangan teknologi informasi juga mengubah asumsi-asumsi lama mengenai ekonomi. Misalnya tentang pajak. Google berkantor di Amerika, tapi operasionalnya sampai Indonesia, mereka dapat untung di wilayah hukum RI. Apakah mereka harus membayar pajak?
“Misalnya, kita turunan raja. Kalau orang untung di tanah kita, harus ada upeti untuk kita. Sekarang, pola-pola thanksgiving seperti itu sudah tidak bisa diterapkan. Sekarang terjadi destruction the sceme of business. Lalu, sudah ada cara untuk memajaki mereka? Belum. Tapi bagaimana caranya pemerintah bisa menjaring pajak dari mereka.”