Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia yang unggul. Di dunia usaha, sejak jaman kerajaan di Nusantara sudah dikenal banyak pedagang kaya dari Minang, Melayu, Makassar, dan Jawa. Berikut ini adalah delapan saudagar besar Indonesia yang merintis usahanya dari nol, from zero to hero. Mereka berasal dari generasi yang berbeda dan bidang usaha yang berbeda-beda pula.
Achmad Zaky
Setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung tahun 2009, bersama dua kawannya, Nugroho Herucahyono dan Fajrin Rasyid, Achmad Zaky mendirikan platform e-commerce market place ‘Bukalapak.com’ pada 2010. Ia memulai dengan mengakomodasi para pedagang kecil yang kurang berhasil ketika berjualan di mall atau pasar.
Usaha Zaky langsung membuahkan hasil, para pedagang itu merasa terbantu, barang dagangannya lebih laris. Dalam waktu satu tahun, pedagang yang memasang produk dagangannya di bukalapak.com melonjak jadi 10 ribu orang.
Seiring dengan pertumbuhan omset Bukalapak, sejumlah investor berdatangan untuk menanamkan modalnya, termasuk konglomerasi milik taipan Edi Kusnadi Sariatmadja, Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTEK Group) pada tahun 2014. EMTEK masuk melalui anak perusahaannya dengan mengambil 19,68% saham senilai Rp 29,4 miliar.
Pada Januari 2015 EMTEK kembali menyuntikan dananya sebesar Rp 123,69 miliar untuk 23,06% saham. Dan terakhir, Agustus 2015 menambah kepemilikan sahamnya menjadi 49% di Bukalapak dengan menyerahkan dana senilai Rp 215,4 miliar.
Nilai transaksi Bukalapak terus menanjak. Tercatat 450 ribu pedagang memajang barangnya di Bukalapak. Laman belanja online ini diunduh oleh sekitar 7 juta pengguna. Dengan kinerja yang terus meningkat, nilai pasar Bukalapak diperkirakan tidak kurang dari Rp 3 triliun rupiah.
Mengenai perkembangan Bukalapak yang kian pesat, Zaky hanya berkomentar dengan rendah hati, “Sekarang kepercayaan masyarakat terhadap transaksi online jauh meningkat. Itu membuat Bukalapak berkembang dengan baik,” katanya.
Ketika duduk di sekolah dasar tahun 1997, Achmad Zaky yang lahir di Sragen, Jawa Tengah, 24 Agustus 1986, mendapatkan sebuah komputer dan buku-buku pemrograman komputer dari pamannya. Zaky yang memang sejak kecil sangat terobsesi dengan keajaiban komputer, menghabiskan waktu hingga berjam-jam di hadapan komputer atau melahap buku-buku tersebut.
Selama kuliah di ITB, beberapa kali Zaky memenangi kompetisi IT tingkat nasional. Zaky memang hebat. Pada semester pertama kuliah di jurusan Teknik Informatika ITB ia meraih IPK sempurna; 4,0. Karena kecemerlangan otaknya, pemerintah Amerika Serikat mengirim Zaky ke Oregon State University untuk magang.
Menjelang akhir kuliah, ia mewakili ITB ke event “Harvard National Model United Nations 2009”. Atas keberhasilannya membangun dan mengembangkan Bukalapak.com ia menerima Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo pada 21 Juli 2016.
Bukalapak bukan perusahaan pertamanya. Sebelumnya ia mendirikan perusahaan konsultasi teknologi, Suitmedia. Ia juga pernah menekuni usaha yang tidak terkait dengan teknologi informasi, yaitu kios Mie Ayam. Tapi bangkrut.
William Tanuwijaya
Teknologi informasi telah membuktikan banyak hal bisa dilakukan dengan lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah. Teknologi informasi juga telah melahirkan puluhan hingga ratusan taipan muda di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu taipan muda Indonesia yang tumbuh berkembang dari dunia teknologi informasi adalah William Tanuwijaya, pendiri dan pemilik laman belanja online, ‘Tokopedia.com’.
William Tanuwijaya lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara 18 November 1981, diperkirakan memiliki kekayaan tidak kurang dari Rp 15 triliun rupiah pada 2016. Angka kekayaan didapat karena nilai pasar Tokopedia yang dikelolanya terus meroket. Meski perjalanan bisnisnya relatif cukup pendek jika dibandingkan dengan masa perjuangan para pengusaha konvensional, sebelum meraup kesuksesan, ia harus melalui masa-masa berat yang pahit.
Lulus SMA Pematang Siantar pada 1999, William berangkat ke Jakarta untuk kuliah dengan bekal sejumlah uang dan selembar tiket kapal laut. Orang tua William bukan orang berada, hanya mampu membelikan tiket kapal laut. Berlayarlah William selama empat hari tiga malam menuju Jakarta.
Ia mendaftar dan kuliah di jurusan Teknik Informatika, Universitas Bina Nusantara. Untuk menutupi biaya kuliah dan biaya hidup, ia bekerja paruh waktu di sebuah warung internet dekat tempat kosnya. Ia bekerja mulai jam 21.00 malam sampai 09.00 pagi. Karena kerja di warnet, ia bisa bekerja sambil belajar.
Rampung kuliah tahun 2003, ia mulai bekerja sebagai web designer. Sebenarnya ia bercita-cita bisa bekerja di perusahaan teknologi seperti Google atau Yahoo. Tapi cita-cita itu harus ia lupakan karena perusahaan-perusahaan itu tidak memiliki cabang di Indonesia.
Kemudian William mempelajari bisnis online. Secara umum, bisnis online atau e-commerce itu terbagi menjadi tiga kategori, pertama, iklan baris yaitu mengiklankan produk orang lain dengan penghasilan dari charge pada pemasang iklan. Kedua, e-super market, menjual barang atau produk sendiri. Ketiga, market place, menjual produk orang lain dengan mendapatkan fee dari nilai transaksi. Nah, yang ketiga ini yang dipilih William.
Mulailah ia menawarkan model bisnis market place. Mulai dari atasan tempat ia bekerja, hingga beberapa pemilik modal, semuanya ditolak. Berbagai pertanyaan diajukan dan ia tak bisa menjawabnya. Semua bertanya tentang apa yang sudah dilakukannya. Padahal, masa lalu tidak bisa diubah. Bahkan seorang pemodal sudah invest di internet banking mengatakan, “Anda tidak spesial, jangan mimpi tinggi-tinggi.”
Atas perlakuan itu ia hanya bisa menggerutu, “Orang Indonesia selalu mengecilkan orang-orang yang ingin menjadi besar.” Tapi William tidak menyerah. Ia sadar, tak seorangpun yang percaya. Lalu ia menyimpulkan, membangun bisnis adalah membangun kepercayaan.
Februari 2009 pemilik warnet menginvestasikan dananya untuk mengimplementasikan ide William. Lalu ia membagun platform belanja online Tokopedia. Selama dua tahun ia memperkenalkan ‘tokonya’ tersebut. Ia sangat yakin dengan filosofi Bambu Runcing: keberanian, kegigihan, harapan.
Usahanya mulai membuahkan hasil, orang mulai belanja di Tokopedia. Kemudian William membangun kerja sama dengan perusahaan logistik dan bank untuk sistem pembayaran, tapi ditolak. Terpaksa untuk sementara ia menjalankan bisnisnya secara manual. Setelah berkembang baru perusahaan-perusahaan itu mau bekerja-sama. Tahun-tahun berikutnya banyak kreditur yang memberikan pendanaan. Puncaknya, Oktober 2013 Soft Bank dan Supply Capital menggelontorkan pinjaman sebesar US$100.
Tokopedia berkembang pesat. Jumlah karyawan terus bertambah, hingga lebih dari 500 orang. Dalam merekrut karyawan, ia terapkan nasihat Steve Jobs, ‘Jika anda merekrut manager kelas A, maka manajer itu akan merektur karyawan kelas A. Jika kelas B, akan merekrut kelas B’. Begitu seterusnya. Kendati harus bersaing dengan raksasa-raksasa e-commerce yang masuk ke Indonesia, Tokopedia tetap tumbuh. “Karena kami lebih tahu tentang pasar.”
Ia mengakui, kekuatan yang menjadikannya seorang entrepreneur adalah ‘The Power of Kepepet’. Tapi ia juga memegang kata-kata bijak dari Presiden pertama RI, Soekarno, “Bermimpilah setinggi langit. Jika jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”
Sukriyadi
Setiap naga selalu melahirkan ksatria yang akan membunuhnya. Kalau krisis ekonomi dipersonifikasikan sebagai naga, maka Sukriyadi adalah ksatria kecil yang dilahirkan Sang Naga di Batam, Kepulauan Riau.
Tidak seperti pengusaha pada umumnya yang berdasi, memakai jas dengan sepatu mengkilat, Uki cukup memakai kemeja casual, jeans dan sepatu kets. Padahal, Sukriyadi yang biasa disapa Uki, bisa dikatakan sebagai calon konglomerat. ‘Banda Group’ milik Uki meliputi, micro banking, micro finance, retail, trading, apotik, printing, education, travel, restauran hingga bisnis olahraga.
Kerajaan kecil bisnis Uki dibangun dalam waktu kurang dari 10 tahun. Tapi sial bagi Uki, ia merampungkan studinya di Universitas Trisakti, Jakarta, justru tahun 1998, ketika krisis moneter sedang parah-parahnya.
Bahkan, krisis ekonomi saat itu menghapuskan cita-cita Uki untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang master. Namun justru pada kondisi serba sulit itulah Uki memutuskan untuk memulai usahanya. Bermodalkan pinjaman dari bank ditambah sedikit tabungannya, ia membangun sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Batam.
“Saya memulai bisnis justru ketika terjadi krisis moneter, dan hebatnya, ada bank yang mau memberikan pinjaman. Untuk efisiensi, saya membangun SPBU tanpa arsitek dan tanpa kontraktor. Akhirnya jadi dan berkembang,” kata Uki.
Seiring berjalannya waktu, bisnis Uki pun tumbuh. Setelah bisnis SPBU berjalan, Uki mulai merambah bisnis penukaran uang (money changer). Setiap gerai money changer yang didirikannya dipadukan dengan toko emas. Kini Uki memiliki delapan outlet money changer dan toko emas. Di sektor keuangan tidak sampai di situ, Uki juga mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Uki yang lahir 10 November 1974 di Batam. Setiap kali memandangi kerlap-kerlip gedung-gedung tinggi Singapura di seberang selat Philips timbul keyakinan, suatu hari Batam akan seperti Singapura. Paling tidak, Batam akan mendapatkan limpahan pertumbuhan ekonomi Negeri Singa itu.
Suatu hari Uki melihat kesibukan banyak anak sekolah di bandara Changi. Setelah dicari tahu, ternyata anak-anak Singapura itu mau mengisi liburan sekolah dengan berlatih bulutangkis di Malaysia atau China. Dari situ Uki melihat peluang bisnis yang bagus.
Maka ia mendirikan sekolah bulutangkis di Batam. Dibangunlah gelanggang bulutangkis sekaligus asrama bagi para siswa yang berlatih. Tentu saja pasar utama yang dibidik Uki adalah anak-anak sekolah Singapura yang orangtuanya berkantung tebal.
“Para orangtua di Singapura berani membayar S$50 per jam untuk anaknya berlatih bulutangkis. Nah, di sekolah bulutangkis yang saya dirikan, dengan tarif S$60 per hari, anak-anak itu sudah bisa berlatih seharian, makan-minum plus biaya pemondokan. Jelas mereka senang.
Apalagi karena jarak Batam-Singapura sangat dekat. Untuk menjenguk anaknya di sini, mereka hanya butuh waktu 40 menit dari Singapura. Kalau di Singapura musim liburan anak sekolah, di sini selalu ramai,” kata Uki yang juga Ketua Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Kota Batam.
Untuk menarik anak-anak Singapura agar memilih Batam sebagai tempat berlatih bulutangkis, tidak tanggung-tanggung, Uki mendatangkan pelatih bulutangkis Arifin, yang pernah melahirkan juara dunia ganda putra, Markis Kido-Hendra Setiawan.
Susi Pudjiastuti
Mengenal sosok pengusaha perikanan dan penerbangan ini agak sulit. Apakah dia itu seorang pengusaha, sosialita atau pemberontak? Hingga kini, setelah sukses dalam bisnis dan menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, sifat-sifat original Susi tidak luntur sedikit pun. Tajam melihat peluang, kritis memahami persoalan.
Bisnis perikanan dan aviation yang dijalankan Susi Pudjiastuti seperti berjalan tanpa rencana. Susi tidak pernah membayangkan bisnis yang digelutinya akan berkembang seperti sekarang.
“Saya tak punya rencana dari awal akan seperti ini. Kebayang saja tidak,” kata perempuan kelahiran Pangandaran, Ciamis 15 Januari 1965 ini.
Susi adalah tipikal perempuan pantai yang jenius. Sejak kelas satu Sekolah Dasar sampai lulus SMP di Pangandaran Susi selalu menempati rangking pertama di kelasnya. Tapi seperti umumnya anak jenius, banyak hal yang didapatnya dari keluarga maupun sekolah, tidak bisa memuaskan pikirannya. Susi melanjutkan sekolah ke tingkat SMA di Yogyakarta.
Seperti halnya di SD dan SMP, Susi selalu mampu menjadi peringkat satu. Namun sekali lagi, semua itu tidak membuat nyaman pikirannya. Sampai pada suatu hari tahun 1982, tanpa sepengetahuan orangtuanya di Pangandaran, ia memutuskan untuk berhenti sekolah.
“Alasannya sederhana, saya tidak happy. Sekolah tidak bisa mengakomodasi pemikiran-pemikiran dan keinginan-keinginan saya,” kata Susi dengan enteng.
Setelah tidak bersekolah lagi, ia kembali ke Pangandaran. Begitu tahu bahwa Susi berhenti sekolah, orang-tuanya marah besar. Selama berhari-hari Susi tidak disapa. Lalu, selama empat bulan dia benar-benar menganggur.
Baru kemudian, untuk mengisi waktu Susi ikut berjualan berbagai macam barang dan hasil laut bersama ayahnya. Tapi selain berdagang, Susi juga aktif membantu berbagai kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karenanya Susi sering berurusan dengan aparat keamanan, karena sikapnya yang menentang berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru.
Tahun 1984 Susi mulai berbisnis sendiri. Ia berjualan bed cover, kain pantai, hasil bumi, ikan, sarang burung walet, udang, lobster dll. Tahun 1985 ia mendapat pinjaman uang Rp5 juta dari seorang mitra bisnisnya di Tanjung Priok, Jakarta, untuk modal kerja.
Itu adalah quantum leaf bisnis Susi yang pertama. Dengan modal Rp5 juta itu serta ketekunan dan kegigihannya, bisnis Susi berkembang. Tahun 1996 ia mendirikan PT Andhika Samudra International, karena untuk mengekspor lobster, ia harus punya perusahaan sendiri. Jadilah ia pengekspor terbesar lobster saat itu.
Ketika krisis moneter mulai melanda dan ekonomi nasional terpuruk, mulai akhir 1997, pendapatan Susi justru menjadi berlipat-lipat karena penerimaannya dari ekspor dalam US dollar. Saat itu omset bisnis Susi berkisar US$5 juta sampai US$10 juta per tahun.
Karena letak geografis Pangandaran berada di ujung tenggara Jawa Barat, perlu waktu delapan jam mengangkut hasil laut lewat jalan darat untuk sampai ke Jakarta. Sehingga banyak lobster atau ikan yang mati. Satu-satunya solusi agar komoditas ikan dan lobster bisa sampai di Jakarta dalam keadaan hidup, ya harus menggunakan moda transportasi udara.
Mulai tahun 2000 Susi menjajaki pengadaan pesawat. Empat tahun kemudian dia masukkan proposal untuk kredit pengadaan pesawat ke beberapa bank. Pada umumnya bank-bank menilai proposal itu sebagai ide gila.
“Seorang pejabat bank mengatakan, ‘kalau proposal ini diterima, bukan kau saja Susi yang dianggap gila, saya pun akan dianggap gila.’ Tapi akhirnya, Director of Commercial Banking Bank Mandiri saat itu, Ventje Rahardjo, mengerti visi kita,” kata Susi seraya mengenang momen sulit itu.
Setelah melalui berbagai presentasi dan feasibility study, Agustus 2004 kredit bisa cair. Tapi dua pesawat itu baru masuk Indonesia beberapa bulan kemudian, tepatnya November 2004, delapan hari menjelang lebaran. Lalu pesawat itu dioperasikan untuk mengangkut hasil laut ke Jakarta, sekalian melatih beberapa pilot.
Tanggal 26 Desember 2004 pagi terjadi gempa dan tsunami dahsyat di Aceh. Susi hanya bisa melihat kejadian itu di layar televisi. Sahabatnya, Teten Masduki dari ICW, menceritakan bahwa kondisi Aceh seperti killing field.
Mendapatkan penjelasan demikian, Susi langsung memutuskan untuk membantu korban tsunami. Pada 27 Desember dua pesawat yang baru sebulan diterimanya itu, dia mau karyakan selama dua minggu plus uang Rp 500 juta untuk biaya operasionalnya.
Setelah mengatasi beberapa rintangan birokrasi terkait ketentuan asuransi: pesawat itu tidak boleh diterbangkan di Aceh, Ambon, Papua, atau war zone lainnya. Pesawat Susi menjadi yang pertama mendarat di Aceh membawa bantuan.
Hal itu diberitakan oleh CNN yang menyebutkan mereka terbang dengan Susi Air. Kemudian semua orang menyebutnya Susi Air. Padahal saat itu perusahaan penerbangannya belum punya nama. “Kita maunya Java Air atau Eagle Air,” kata Susi.
Itulah Susi, alam menjadikannya pengusaha, musibah menjadikannya sosialita, dan kebobrokan pemerintahan menjadikannya pemberontak. Lalu, seperti apa bisnisnya di masa datang? Dengan mantap Susi menjawab, “Saya tidak tahu!”
Bambang Soesatyo
Bambang Soesatyo adalah seorang dengan multitalent. Dia seorang wartawan, pengusaha dan politisi. Ketiga profesi yang digelutinya menghasilkan sinergi yang membuatnya eksis di masing-masing profesi itu.
Sejak masih kuliah, bidang yang ditekuni Bambang Soesatyo adalah dunia jurnalistik. Padahal saat kuliah ia mengambil jurusan akuntansi. Sudah bisa ditebak, setelah menyelesaikan studi dia menjadi wartawan. Dalam karier kewartawanannya, Bambang selalu memegang desk ekonomi. Dari situ pulalah dia kenal dengan banyak pengusaha.
Dengan mengandalkan ide dan jaringan yang dimilikinya, ia hijrah menjadi pengusaha. Bahkan dengan mempertimbangkan potensi aset-aset yang dimiliki perusahaannya, sangat mungkin Bambang menjadi salah satu taipan di negeri ini.
Titik peralihan profesi utama Bambang dari wartawan menjadi pengusaha, terjadi ketika dia menawarkan gagasan menerbitkan majalah bisnis, Info Bisnis, kepada beberapa pengsuaha seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Adi Putera Taher dan Fadel Muhammad. Beruntung, gagasan Bambang bisa diterima, dan mulailah dia menjadi pengusaha di bidang media.
“Waktu itu dari nol. Saya hanya punya gagasan, yaitu membuat majalah bisnis. Mereka setuju dan menanyakan modal yang harus disiapkan. Saya ajukan Rp 100 juta. Saat itu untuk mendapatkan SIUPP [Surat Izin Usaha Percetakan dan Penerbitan], harus ada jaminan Rp 1 miliar dan tidak boleh digunakan selama setahun. Kebetulan waktu itu Ical [Aburizal Bakrie] mau menjamin, pinjem dari Bank Nusa. Semua pemegang saham tanda tangan sebagai jaminan,” papar Bambang, kelahiran Jakarta 10 September 1962.
Bambang menceritakan, ketika masih kuliah sudah menjadi penulis lepas di tabloid Prioritas. Bagi dia, menjadi wartawan itu karena hobi. Profesinya sebagai wartawan mempermudah dia masuk ke dunia bisnis. Dari hubungan baik dengan para pengusaha itu ia mendapat masukan untuk memulai bisnis.
“Dari situ saya menyimpulkan, bisnis itu tidak harus dimulai dengan adanya modal, tapi gagasan,” kata Bambang.
Di awal tahun 1990an, kata Bambang, bisnis majalah sangat profitable. Apalagi saat itu majalah bisnis hanya ada tiga, Info Bisnis, SWA dan Warta Ekonomi. Dalam penyajiannya Info Bisnis lebih memilih success story, di balik kegagalan usaha, dan peringkat-peringkat bisnis.
Kemudian Bambang bersama beberapa teman bisnisnya membangun Semanggi Ekspo, Kafe Semanggi, dan tahun 2003 mulai masuk ke bisnis kehutanan. Tidak berhenti sampai di situ, Bambang juga merambah ke sektor mineral dan properti.
Lompatan quantum bisnis Bambang dilakukan ketika mengambil-alih PT Kodeco Timber di Kalimantan Selatan bersama dua mitra bisnisnya, dari sebuah perusahaan Korea. Menurut Bambang, perusahaan Korea itu meninggalkan Kodeco dengan sejumlah hutang. Akibatnya partner lokalnya marah. Lalu Bambang bersama dua rekannya membenahi perusahaan itu. Ternyata banyak bisnis yang ditinggalkan perusahaan Korea itu.
Kemudian Bambang bersama dua rekannya membuat perjanjian dengan pemilik lama (lokal), dimana pembayaran akuisisi itu dilakukan melalui revitalisasi Kodeco. Artinya, pemilik lama masih punya saham di Kodeco.
Di atas lahan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) seluas 99.500 hektare di Kalimantan Selatan itu terdapat hutan tanaman industri karet seluas 30 ribu hektare. Di lahan ini juga terdapat banyak deposit batubara yang sangat besar.
Guna memudahkan pengurusan bisnis ke wilayah itu, Kodeco telah membangun berbagai infrastruktur dan fasilitas bisnis di Batulicin Kalimantan Selatan, antara lain hotel, lapangan golf, pelabuhan batubara dan sebagainya. Nilai aset Kodeco diperkirakan tidak kurang dari US$1 miliar.
Bambang juga dikenal sebagai seorang politikus Partai Golkar. Pada Pemilu legislatif tahun 2009 lalu, ia terpilih menjadi anggota DPR-RI untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Begitu juga pada Pemilu 2014, ia terpilih menjadi Anggota DPR-RI dan menjadi Ketua Komisi III DPR. Kesuksesan Bambang adalah pengalaman berorganisasi, mulai dari HMI, Kosgoro, AMPI, KNPI, Golkar dan lain-lain.
Irwandy Muslim Amin Rajabasa
Lahir 9 Januari 1954 di Bukittinggi, Irwandy Muslim Amin Rajabasa adalah model seorang entrepreneur, administrator dan negosiator. Ketika hendak masuk Sekolah Dasar, ia sempat mogok tidak mau sekolah karena merasa risih saat mengenakan sepatu.
Untuk meyakinkan Irwandy kecil, Sang Kakek memanggilnya dan bercerita. Untuk bisa sekolah ke Bandung seperti pamannya, Harun Al Rasyid yang Kepala PU Bukittinggi, belajarnya rajin dan ke sekolah memakai sepatu. Setiap pagi Irwandy melihat pamannya pergi ke kantor mengendarai mobil dinas Toyota Land Cruiser atau lebih dikenal dengan sebutan Toyota Hardtop. Sangat keren. Akhirnya Irwandy luluh, ia mau mengenakan sepatu ke sekolah.
Sesuai rencana, selepas SMA Irwandy berangkat ke Bandung untuk kuliah. Sesampainya di Bandung, wawasan Irwandy menjadi terbuka lebih lebar. Saat itulah ia berubah pikiran, kelak setelah lulus kuliah dia harus menjadi pengusaha, bukan pegawai. Baik pegawai negeri seperti Om Harun yang mendapat mobil dinas Toyota Hardtop yang keren, maupun pegawai swasta.
Lalu ia mendaftar ke Institut Teknologi Bandung untuk jurusan Teknologi Industri. Namun hasilnya Irwandy diterima untuk jurusan Matematika. Karena memang nilai matematika pada raport SMA-nya yang sangat bagus. Dalam benaknya, kalau dia kuliah di jurusan matematika, kurang pas dengan cita-citanya yang ingin menjadi pengusaha. Akhirnya ia mendaftar ke Institut Teknologi Tekstil, ITT Bandung.
Sebelum menyelesaikan kuliah di ITT Bandung, Irwandy menjalani praktek kerja lapangan di sebuah pabrik tekstil di Malang, Jawa Timur. Di sana dia melihat ketimpangan yang nyata antara pemilik perusahaan dengan para karyawan.
“Dalam hati saya, saya tidak boleh menjadi karyawan, saya harus punya pabrik. Sejak itulah saya makin terpacu untuk menjadi pengusaha. Makanya saya tidak melamar kerja. Setinggi-tingginya karir seorang karyawan hanya akan mentok di langit-langit pabrik,” kata Irwandy.
Setelah lulus, tahun 1985 Irwandy pindah ke Jakarta dan melamar ke Asosiasi Pertekstilan Indonesia, setelah melalui tahapan tes, ia diterima. Irwandy kemudian dikirim ke Amerika untuk mengikuti workshop pertekstilan. Di sana dia berkenalan dengan para pengusaha TPT (Tekstil Produk Tekstil) kelas dunia.
Dari workshop tersebut Irwandy menjadi tahu bahwa pengusaha TPT di Amerika menguasai cotton belt dari pantai barat hingga pantai timur. Mereka juga menguasai armada kapal barang dan transportasi dunia.
Tidak hanya di Amerika, di Indonesia pun sama. Sebut saja The Nin King, Sinivasan, Sukanta, Musa dan lain-lain, adalah orang-orang kaya Indonesia pada periode 1970an sampai 1990an yang core business-nya TPT, dan kemudian merambah ke sektor-sektor lain.
Sekembalinya dari Amerika, Irwandy menjadi expert di API. Bahkan Irwandy selalu disertakan bersama Dirjen atau bahkan Menteri, untuk pertemuan dagang, khususnya TPT. Seringkali pula ia melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri mewakili negara.
Tahun 1990, pemilik PT Hanson Garment, Jusuf Muhid memanggil Irwandy dan menawarinya untuk menjadi pengusaha, karena API tak punya uang untuk membayar gaji Irwandy. “Saya bingung, saya tidak punya uang. Bapak saya pegawai negeri, dari mana uangnya?” kata dia.
Ok. Langkah Jusuf berikutnya adalah mendirikan PT Hansonesia Intitama, yang sebagian sahamnya diberikan kepada Irwandy. Pabriknya punya Jusuf, manajemennya dikendalikan Irwandy. “Jadilah saya pengusaha garment,” kata Irwandy seraya menambahkan, ketika pabrik itu diresmikan Irwandy berhalangan hadir.
Tidak lama setelah itu, Irwandy mendirikan tiga pabrik tesktil sekaligus di Serpong, Tangerang. Untuk ekspansi itu, Irwandy membeli mesin-mesin bekas dari perusahaan yang melakukan restrukturisasi, dimana pembayarannya dilakukan dengan cara dicicil. Karena dalam peraturan pemerintah disebutkan, pengusaha yang punya pabrik tekstil sendiri bisa mendapat quota ekspor.
Kini, lengan bisnis Irwandy sudah merambah ke berbagai sektor, antara lain jasa pelayaran, agribisnis, kehutanan, mining, dan tentunya Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Bayu Satya
Berasal dari keluarga miskin yang tinggal di perkampungan kumuh di Palembang, Sumatera Selatan. Saking miskinnya, untuk bisa merasakan enaknya makan daging ayam, Bayu bersama kakak dan adiknya harus memungut kepala ayam dari bak sampah di belakang sebuah rumah makan tidak jauh dari rumahnya. Kepala atau ceker ayam itu dibawanya pulang, untuk dimasak oleh ibunya. Dibuat sop atau digoreng. Itulah santapan yang luar biasa mewah bagi keluarganya.
Tapi kesulitan hidup tidak membuatnya menyerah pada nasib. Ayahnya menasihati, “Kesulitan adalah sekolah kehidupan.” Sejak duduk di bangku SMA ia terus berusaha mengubah nasib. Untuk pertama kali tangannya menghasilkan uang, ketika ia berhasil memperbaiki radio-radio rusak yang dibelinya di pasar loak, lalu dijualnya ke tetangga-tetangga. Ia juga pernah bekerja paruh waktu di sebuah toko kue. Di sana ia mendapatkan pelajaran tentang kejujuran dalam berbisnis.
Tapi, momen yang menjadi jembatan hidupnya di masa depan, ketika ia belajar Bahasa Inggris dari seorang pastur di sekolahnya. Selepas SMA tahun 1971, Bayu Satya berangkat ke Jakarta dengan bekal kayakinan. Baginya, Jakarta adalah tempat menjemput impian tentang masa depan. Tekad kuat sudah terpatri di benak lelaki kelahiran Palembang, 23 Maret 1951 ini.
Nah, kemampuan berbahasa Inggris itulah yang membuatnya ia bertahan di Jakarta. Ia menjadi guru les Bahasa Inggris. Kemampuannya makin terasah ketika seorang dermawan membiayainya kuliah di Akademi Translator dan Interpreter, di kawasan Cikini.
Selain mengajar les Bahasa Inggris, ia juga bekerja sebagai tenaga marketing di perusahaan distributor buku ‘Encyclopedia Americana’ dan ‘Encyclopedia Britanica’. Lalu ia bekerja di perusahaan distributor pompa, juga sebagai tenaga marketing. Bayu menjadi sangat paham tentang bidang marketing.
Sempat bekerja di perusahaan kontraktor, lalu ia berkenalan dengan Chasan Majedi dan Usman Tunggal. Keduanya pemilik PT Nusantara Timur Teduh. Ketika bekerja di perusahaan inilah untuk pertama kalinya Bayu menginjakkan kaki di Amerika. Di sana ia belajar mengenai produksi peralatan penanggulangan tumpahan minyak di Slickbar Corporation, USA.
Sekembalinya ke Indonesia tahun 1989, Bayu dipercaya mengepalai pabrik PT Slickbar Indonesia di Surabaya. Perusahaan berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan hidup di Indonesia, khususnya lingkungan hidup perairan. Tapi di tengah jalan, perusahaan itu ditutup karena ketidak-harmonisan di antara pemilik saham. Bayu hanya diberi ‘pesangon’ berupa hak atas merek Slickbar Indonesia.
Karena sudah menguasai alur produksi dan pemasarannya, dengan mengajak beberapa karyawan Bayu mengembangkan sendiri Slickbar Indonesia. Atas kebaikan principal di Amerika, produksi bisa berjalan meski dilakukan secara manual di atas sebuah lahan yang hanya ditutupi kain terpal di Cikarang, Jawa Barat. Lahan itu dibelinya dengan mencicil.
Hari-harinya dilalui dengan kerja keras. ‘Sekolah kehidupan’ membuatnya jadi kuat, tekun, dan tahan banting. Bangunan pabrik sudah berdiri. Kini Bayu sudah menjadi pengusaha. Impiannya sudah terwujud.
Tahun 1996 ia membangun pabrik baru yang megah dan modern di Delta Silicon 2, Cikarang. PT Slickbar Indonesia menjadi salah satu produsen peralatan penanggulangan tumpahan minyak (PPTM) terbesar di dunia. Produknya tersebar di berbagai belahan dunia. Bahkan, tahun 2015 Bayu membeli copyright Slickbar Corporation, USA. Sehingga produk-produk yang dihasilkan PT Slickbar Indonesia menjadi karya anak bangsa Indonesia sepenuhnya.
Tahun 2000, Bayu mendirikan Oil Spill Combat Team (OSCT) Indonesia, pusat penanggulangan tumpahan minyak. Perusahaan ini menyewakan peralatan, menyediakan jasa penanggulangan tumpahan minyak, konsultasi dan asesmen, serta pelatihan tenaga penanggulangan tumpahan minyak bersertifikat International Maritime Organization (IMO). Catatan perjalanan hidup Bayu Satya dirangkum dalam sebuah biografi berjudul ‘Berani Melangkah’.
Ciputra
Kisah tentang Ciputra adalah suatu pembuktian kemenangan keteguhan dan kerja keras atas kepahitan dan kesulitan hidup. Sewaktu kecil Ciputra menangis, ia ingin merasakakan enaknya buah Durian, tapi tak tercapai karena orang-tuanya tidak mampu membelikannya.
Mengutip salah satu kata-kata mutiara pujangga Lebanon, Kahlil Gibran, Ciputra adalah orang yang meraih fajar setelah melalui perjalanan malam. Pra Ciputra, laki-laki kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah 24 Agustus 1931 ini, sepulang sekolah harus berjualan kue yang dibuat ibunya, keliling kampung. Itu ia lakukan agar tetap bisa bersekolah.
Sebelum meninggal, ayahnya pernah berpesan kepada Ciputra, apapun keadaanya, Ciputra harus tetap sekolah. Kerja keras Ciputra bersama Sang Ibu akhirnya berhasil mengantarkan Ciputra hingga lulus SMA.
Tahun 1955, Ciputra menapakkan kakinya di Bandung untuk belajar arsitektur di Institut Teknologi Bandung. Hal pertama yang dilakukan Ciputra di Kota Kembang adalah mencari teman yang bisa ditumpangi. Dengan kepandaiannya bergaul, tidak sulit bagi Ciputra mendapatkan teman yang siap berbagi derita.
Bakat entrepreneur Ciputra mulai terlihat, bahkan sebelum ia tamat kuliah. Ciputra sudah mendirikan sebuah perusahaan bersama beberapa temannya. Perusahaan konsultan arsitektur ini adalah keping pertama yang ia susun menjadi imperium bisnis properti.
Setelah sukses menjadi salah satu taipan properti, bukan berarti deraan kesulitan tidak mampir lagi dalam hidup Ciputra. Di saat krisis ekonomi 1997-2000, Ciputra kembali menangis. Ketika para konsumen properti menanyakan rumah yang dijanjikannya.
Meskipun skalanya berbeda, tapi kesulitan itu pada dasarnya sama dengan yang ia alami di masa kecil, tidak punya uang untuk menutupi kewajibannya. Kembali Ciputra mengeluarkan jurus yang dahulu ia gunakan untuk mengenyahkan kesulitan hidup: tekun, kerja keras dan memelihara kepercayaan orang lain.
The darkest days in life. Penjualan anjlok, hutang ke bank, pemegang bond Ciputra dalam dan luar negeri nilainya melonjak hingga 6 kali lipat. Di pasar modal, harga saham Ciputra anjlok 80% jadi Rp 75 per lembar. Karena saat meminjam atau menerbitkan bond menggunakan denominasi US dollar. Teori ekonomi tidak bisa menjelaskan kondisi saat itu.
“Pekerjaan di proyek terhenti sama sekali, tinggal beberapa orang satpam yang masih bertugas menjaga proyek-proyek. Waktu itu saya menangis,” kenang Ciputra.
Hanya perlu waktu kurang dari lima tahun setelah terpuruk, Ciputra kembali menjadi raksasa properti Indonesia. Bahkan, kini ia telah menjelma menjadi global player, dengan merambah ke sejumlah negara. Kini, total aset Ciputra Group tidak kurang dari Rp 30 triliun. Ciputra adalah ikon properti Indonesia
Ciputra Group sudah kembali sebagai salah satu konglomerasi properti terbesar di Indonesia. Bahkan tentakel bisnisnya sudah merambah ke empat negara, Vietnam, India, Kamboja dan China. Kini Ciputra sudah punya uang, tapi ia tidak membeli Durian, karena dokter melarangnya makan Durian.