Dalam bisnis, komoditas terbesar yang diperdagangkan adalah uang. Konon, nilai uang yang diperdagangkan di pasar-pasar uang dunia mencapai 200 hingga 300 kali lipat dari nilai perdagangan komoditas. Tidak mengherankan banyak orang yang gelap mata melihat peluang mendapatkan keuntungan besar di pasar uang.
Berikut ini PORTONEWS menampilkan delapan tokoh yang membukukan kerugian fantastis di dunia pasar uang dan saham yang kami rangkum dari berbagai sumber. Antara lain, Investopedia, New York Time, The Irish Time, CNBC dan lain-lain.
Para pelaku pasar uang dan pasar modal, mempertimbangkan berbagai hal yang sekiranya bisa dikonversi menjadi keuntungan, mulai dari bencana hingga manipulasi. Pada dasarnya, segala cara kotor yang dijalankan akan menuntun para pelakunya pada petaka.
Jérôme Kérviél (US$7,1 miliar)
Para pialang di pasar uang akan mengingat Jérôme Kerviel sebagai trader nakal terburuk dalam sejarah.Kerviel adalah seorang Master di bidang organisasi dan pengawasan keuangan dari Lumiere Lyon University. Tahun 2000 ia bergabung dengan Societe Generale Bank, ditempatkan di departemen kepatuhan.
Kemudian ia ditugaskan melakukan arbitrase antara deriatif ekuitas dan harga ekuitas tunai. Akhir 2006 ia mulai melakukan transaksi fiktif dengan nilai yang relatif kecil. Tapi kemudian makin sering dan nilainya makin besar. Pihak bank memperkirakan hingga tahun 2007 Kerviel telah melakukan transaksi ilegal yang menguntungkan dengan mengantisipasi kejatuhan harga di pasar.
Menurut para pejabat bank, Kerviel menyembunyikan kegiatannya, karena kemampuannya dalam teknologi informasi. Ia berhasil memanipulasi sistem dan menyembunyikan kerugian akibat ulahnya. Namun setelah ditelusuri, bank menutup posisi yang diambil Kerviel secara ilegal di Europe Future Indeks pada 21 Januari 2008.
Menyusul kejatuhan indeks komposit di bursa-bursa Eropa, karena ulah Kerviel tersebut, bank raksasa yang bermarkas di Paris menderita kerugian sebesar €4,9 miliar atau Rp 92,3 triliun. Kerviel diseret ke pengadilan dan dihukum tiga tahun penjara.
Di ruang tahanan ia menulis buku berjudul L’engrenage: Memoires d’un Trader atau Catatan Seorang Trader. Dalam buku itu disebutkan, sebenarnya ketika atasannya tahu ia melakukan transaksi ilegal, dan apa yang dilakukannya juga dilakukan oleh banyak trader di berbagai institusi keuangan. Buku itu dipublikasikan pada Mei 2010.
Brian Hunter (US$6,5 miliar)
Ini adalah kisah tragis seorang trader keuangan yang memanfaatkan bencana sebagai peluang bisnis. Brian Hunter adalah seorang trader yang ahli dalam lindung nilai. Ia bekerja di Amaranth Advisors, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Nicholas Maounis di Greenwich, Connecticut. Perusahaan ini mengklaim sebagai jagoan dalam perdagangan berjangka sektor energi. Salah satu customer-nya adalah San Diego Employees Retirement Association.
Tahu 2005 Brian Hunter melakukan transaksi berjangka gas alam dalam nominal cukup besar. Ia tahu, badai Katrina dan Rita akan menghantam sejumlah negara bagian di Amerika Serikat. Benar saja, di penghujung Agustus 2005 Katrina mengobrak-abrik negara-negara bagian di selatan, mulai dari Lousiana hingga Florida. Sontak, harga gas melompat hingga tiga kali lipat. Amaranth meraup untung yang sangat besar US$1 miliar! Brian Hunter dipuja bagai dewa, ia bertengger di peringkat 29 top traders yang dipublikasikan oleh Traders Monthly.
Tahun 2006, sejumlah analis iklim memperkirakan akan terjadi lagi badai dahsyat yang akan melanda Amerika Serikat. Hunter pun kembali berspekulasi dengan menempatkan dana dalam jumlah besar untuk komoditas gas alam. Namun hingga hedging gas alam itu jatuh tempo, badai tak kunjung datang, dan Amaranth harus menanggung kerugian sebesar US$6,5 miliar atau Rp 84,5 triliun. Hunter adalah seorang pialang bermadzhab Machiaveli, menghalalkan segala cara demi keuntungan besar, termasuk berharap datangnya bencana
John Meriwether (US$4 miliar)
Tahun 1994, John Meriwether mendirikan perusahaan lindung nilai, Long-Term Capital Management (LTCM). Perusahaan ini mengelola aset dengan nilai lebih dari US$100 miliar. LTCM yang dijalankan oleh para PhD, profesor dan peraih Nobel Ekonomi, berani menawarkan return hingga 40% per tahun, dengan embel-embel berbagai teori menekan risiko hingga titik nol! LTCM bagaikan super star di Wall Street, semua orang berebut berinvestasi di perusahaan yang bermarkas di Greenwich, Connecticut ini.
Berbarengan dengan Asian Flu tahun 1997, ekonomi Rusia guncang, nilai tukar Rubel jatuh terperosok. Surat-surat hutang Pemerintah Rusia terhempas. Berbagai upaya penyelamatan dilakukan oleh Presiden Yeltsin. Hasilnya, memasuki 1998 sejumlah pengamat memprediksi ekonomi Rusia akan segera bangkit.
Mengacu pada prediksi tersebut, John Meriwether melihat peluang besar jika ekonomi Rusia pulih dan surat-surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah Rusia akan menanjak ke posisi awal. Lalu ia memborong surat-surat utang Rusia dari pasar uang dalam jumlah besar. Saking yakinnya, Meriwether tidak melakukan hedging atas transaksi tersebut.
Harapan tinggal harapan, selama tahun 1998 ekonomi Rusia bukannya membaik, justru sebaliknya. Surat-surat utang yang tadinya diperkirakan nilainya akan menanjak jadi kian terpuruk.
Akhirnya mimpi buruk spekulasi Meriwether menjadi kenyataan, dari US$4,7 miliar yang ditanamkan LTCM hanya kembali US$700 juta, atau rugi US$4 miliar atau Rp 52 triliun. Untuk menyelamatkan LTCM pemerintah federal Amerika Serikat mengucurkan dana talangan sebesar US$3,5 miliar.
Yasuo Hamanaka (US$2.6 miliar)
Yasuo Hamanaka adalah seorang master di bursa komoditas Tokyo. Ia dijuluki ‘Mr. Copper’ karena keahliannya dalam perdagangan tembaga. Hamanaka disebut-sebut mengontrol sekitar 5% dari perdagangan tembaga dunia. Tahun 1980an ia bergabung dengan perusahaan multinasional Jepang, Sumitomo Corporation. Kariernya menanjak hingga menjadi chief trader.
Mulai tahun 1986 Hamanaka mulai dikenal sebagai rogue trader, trader bandel. Dalam perjalanan kariernya ia menjadi bagian dari konspirasi pengaturan harga tembaga. Untuk melancarkan aksinya, ia memalsukan tanda tangan atasannya pada dokumen-dokumen yang diperlukan. Namun, pada tahun 1995 ia gagal merekayasa kenaikan harga tembaga dunia.
Akibatnya Sumitomo Corp. menderita kerugian hingga US$2,6 milliar setara Rp 33,8 triliun . Banyak pihak yang mempertanyakan, apakah dalam memanipulasi harga tembaga dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun itu dia bertindak sendirian?
Mega skandal menyangkut uang dalam jumlah sangat besar di bursa komoditas itu kemudian dikenal sebagai ‘The Silver Thursday’. Hamanaka ditangkap pada 23 Oktober 1996. Ia dijatuhi hukuman delapan tahun penjara.
Nick Lesson (US$1,4 miliar)
Sejak akhir dekade 1980an Nick Leeson dikenal sebagai salah satu trader paling gila di pasar uang. Namun karena ‘kegilaannya’ itu karirnya di industri keuangan meroket. Tahun 1992, di usia 28 tahun ia ditunjuk menjadi Kepala Baring Bank di Singapore International Monetary Exchange, Singapura. Baring Bank adalah bank dagang tertua di Inggris, didirikan oleh Sir Francis Baring tahun 1762.
Petaka dimulai pada 16 January 1996, ketika Lesson menempatkan dana sebesar £3,94 miliar atau $6.68 triliun pada perdagangan jangka pendek di Bursa Nikkei, Tokyo. Itu ia lakukan karena Nikkei sedang bullish.
Tapi Tuhan berkehendak lain. Tanggal 17 Januari 1996 gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter meluluh-lantakkan Kobe, Jepang. Tak ayal, bursa Nikkei terjun bebas. Akibatnya, uang yang ditempatkan Lesson di Nikkei berkurang £827 atau Rp 18,2 triliun. Hal yang membuat Lesson kejang-kejang adalah penempatan dana di perdagangan berjangka pendek Nikkei itu dilakukan tanpa persetujuan kantor pusat di London.
Seperti pada umumnya manusia bersalah, ia menulis pesan, “I am sorry.” lalu melarikan diri ke Malaysia, ke Thailand, dan tertangkap di Jerman. Tanggal 20 Januari ia diekstradisi ke Singapura, diadili dan dihukum 6,5 tahun.
Hari-hari berikutnya adalah langkah penyelamatan Baring Bank yang mendadak bangkrut. Tanggal 25 Januari 1996 pewaris Baring Bank, Peter Baring mengundurkan diri. Sehari kemudian, 26 Januari Baring Bank dijual ke ING, sebuah bank Belanda seharga £1.
Selama mendekap di Penjara Changi, Lesson menulis autobiografi, Rouge Trader. Tahun 1999 ia dibebaskan. Ia didiagnosis menderita kanker usus. Ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai CEO Galway United, sebuah klub sepak bola Liga Irlandia. Kemudian ia bermitra dengan Bizintra, sebuah lembaga pelatihan pialang keuangan. Lesson juga kerap menjadi pembicara di forum-forum keuangan, khusus mengenai risiko transaksi di pasar uang. Itulah pelajaran dari Nick Lesson.
Liu Qibing (US$1 miliar)
Liu Qibing bergabung dengan State Reserve Bureau tahun 1995. Sebelumnya, ia bekerja di London Mercantile Exchange. Ia memiliki reputasi yang cemerlang di bursa komoditas. Qibing bekerja sebagai trader senior untuk perdagangan logam. Pada periode 2002 – 2004 Qibing mencetak keuntungan sebesar US$300 juta untuk SRB.
Tahun 2005 Qibing mengambil posisi jual untuk tembaga dalam volume yang sangat besar. Pertimbangannya, dalam beberapa tahun ke depan harga tembaga dunia akan jatuh. Akan tetapi, yang terjadi di pasar adalah sebaliknya. Harga tembaga naik secara meyakinkan sesuai permintaan pasar dunia. Akibatnya, para pedagang yang mengambil posisi jual, termasuk lembaga tempat Qibing bekerja, menderita kerugian sangat besar. Jika mengacu pada puncak dari kenaikan harga tembaga waktu itu, SRB menderita kerugian hingga US$1 miliar atau Rp 13 triliun.
Berdasarkan penelusuran, persoalannya kembali ke State Reserve Bureau, para trader tahu bahwa Pemerintah China harus memenuhi permintaan yang terus meningkat. Jelas, ini mendorong harga tembaga naik. Kemudian anehnya, Pemerintah China berusaha menekan harga dengan mengklaim bahwa cadangan tembaga yang dimiliki jumlahnya lima kali lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Ini menimbulkan pertanyaan, bersama siapa dan untuk siapa Qibing melakukan itu?
Karena kasus itu menyangkut lembaga pemerintah dan melibatkan pejabat pemerintah, di mana Qibing sendiri adalah anggota Partai Komunis China, maka penyelesaian skandal itu tidak terpublikasikan. Namun kabar lain menyebutkan, Qibing ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun oleh pengadilan setempat.
John Rusnak (US$691 juta)
Tahun 1993 Allfirst Financial merekrut John Rusnak untuk operasi forex, yaitu lindung nilai mata uang guna meningkatkan kinerjanya. Sebelumnya Rusnak bekerja di Fidelity and Chemical Bank. Keahlian Rusnak adalah mengambil opsi yang tepat dalam kontrak forward dengan melakukan hedging untuk meminimalisir risiko.
Mata uang favorit Rusnak dalam transaksinya adalah Yen. Ia yakin bahwa nilai tukar Yen telah mencapai bottom rock setelah pecahnya buble ekomoni Jepang dan akan segera mengalami apresiasi terhadap US$. Seperti umumnya para trader, Rusnak mengambil kontrak forward untuk mendapatkan harga yang lebih murah ketimbang di pasar sekunder. Rusnak meraup keuntungan besar dan dia ketagihan.
Tahun 1996 Rusnak mengambil posisi forward untuk Yen dalam jumlah besar dengan risiko besar pula. Keberuntungannya berakhir pada tahun 1997 ketika pasar Asia mengalami goncangan, termasuk Jepang. Akibatnya ia jeblok sebesar US$29,1 juta. Lalu coba ditutupi dengan transaksi lainnya, jeblok juga. Begitu seterusnya. Ia sudah bermain di zona merah.
Untuk menutupi kerugiannya, ia memasukan laporan transaksi palsu ke dalam sistem sehingga atas posisi yang dia ambil seolah-olah dilakukan hedging. Lebih gila lagi, bukan hanya menyembunyikan kerugian, Rusnak membuat sistem komputer di tempatnya bekerja menampilkan laporan seakan-akan perusahaannya meraih keuntungan dan dia mendapat bonus.
Pada tahun 2001 aksinya itu diketahui perusahan. Setelah dihitung, total kerugian Allfirst Financial karena ulah Rusnak mencapai US$691 juta atau sekitar Rp 9 triliun. Di pengadilan ia dijatuhi hukuman 7,5 tahun penjara dan denda US$1 juta.
Julian Robertson (US$17 miliar)
Tahun 1980 Julian Robertson mendirikan lembaga lindung nilai (hedge fund) Tiger Management. Dalam waktu enam belas tahun ia berhasil menyulap dana US$8 juta menjadi US$7,2 miliar. Tahun 1997, aset yang dikelola oleh Tiger sudah mencapai US$10.5 miliar, dan menjadikannya sebagai lembaga lindung nilai terbesar kedua di dunia. Setahun kemudian, aset itu melompat menjadi US$23 miliar. Salah satu investasi terbesar Tiger Management adalah U.S. Airways.
Pada tahun 1998 itu pula persoalan mulai muncul, ketika ia tergiur oleh booming-nya saham-saham teknologi, tech bubble di bursa Nasdaq. Padahal, sebelumnya Robertson menilai meroketnya harga saham-saham perusahaan teknologi itu sebagai sesuatu yang tidak rasional.
Robertson menempatkan dana dalam jumlah besar pada saham-saham IT yang ia yakini berprospek bagus, dan membuang saham-saham yang dianggapnya sampah. Ia melakukan itu ketika harga saham-saham IT melambung, dengan bersandar pada teori bodoh, harga saham-saham itu akan terus menanjak.
Hasilnya, setelah mencapai puncaknya harga saham-saham itu jatuh, dalam dua tahun Tiger menderita kerugian sangat besar, sekitar US$17 miliar atau setara Rp 221 triliun. Aset dikelola yang pada 1998 sebesar US$23 miliar, tahun 2000 tinggal US$6 miliar.
Dengan berat hati pada akhir milenium kedua waktu itu, Robertson harus menutup Tiger Management yang sangat dibanggakannya. Dua tahun kemudian U.S.Airways juga dinyatakan bangkrut. Berbeda dengan para trader lain, Robertson menjalankan bisnisnya secara legal. Karenanya, kerugian yang sangat besar itu dianggap sebagai risiko bisnis semata.
Tapi Robertson entrepreneur sejati. Setelah menutup Tiger Management, ia segera bangkit dengan mendirikan perusahaan manajemen investasi. Perusahaan ini berkembang pesat, dan ia mendirikan beberapa perusahaan baru, termasuk perusahaan properti di Selandia Baru.
Kini Robertson sudah kembali sebagai bilioner. Ia dikenal sebagai simpatisan Partai Republik dan menjadi pendukung Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat November 2016 lalu.