Amerika Serikat berada di ambang resesi ekonomi akibat kebijakan ekonomi Presiden Trump yang dinilai ekspansif. Risiko ekonomi itu bisa terjadi seperti tahun 2008, tapi kali ini sumbernya adalah permodalan perbankan Amerika Serikat yang rentan, serta kebijakan perdagangan yang cenderung konfrontatif, sehingga bisa memicu kebijakan serupa dari negara mitra dagang, khususnya China.
Berbicara di depan Senat di Capitol Hill, Washington DC pada tanggal pada 29 November 2017 Ketua Dewan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Janet Yellen berbicara tentang kenaikan suku bunga secara bertahap di masa depan. Sebelumnya, pada 13 Juli lalu, Yellen mengingatkan Presiden Donald Trump akan bahaya ekonomi yang mengancam Amerika Serikat, jika salah dalam mengelola kebijakan.
Secara jelas Yellen menyoroti kebijakan keuangan Presiden Trump yang bernafsu untuk melonggarkan sektor keuangan, dengan tujuan memberikan stimulus guna meningkatkan utilisasi ekonomi Amerika, sekaligus menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Dalam kerangka pemikiran Trump, kebijakan bisa dipadukan dengan kebijakan perdagangan yang proteksionistik, sehingga pangsa pasar domestik yang bisa dimanfaatkan oleh industri lokal menjadi lebih besar. Namun, sepertinya, pemikiran itu terkesan serampangan, tanpa mempertimbangkan banyak hal yang berpotensi menimbulkan risiko ekonomi yang cukup besar.
Para pengamat menilai, sejak awal berbicara Yellen tampak akan memberikan sinyal penting. Atau dengan kalimat yang lebih gamblang, ekonomi Amerika Serikat yang saat ini masih cukup baik akan berada dalam situasi sulit jika kebijakan melonggarkan sektor keuangan terus dilakukan.
Saat Yellen mengulas tentang kebijakan keuangan itu, display besar di belakang tempat duduk Yellen menunjukkan angka jumlah utang Amerika Serikat yang sebesar US$19,908,775,482,682 atau hampir US$20 triliun.
Utang pemerintah Amerika Serikat tersebut berupa Treasury Bond atau utang jangka panjang dan Treasury Bill, utang jangka pendek. Angka jumlah utang tersebut adalah sinyal jelas bagi Presiden Trump untuk lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan ekonomi.
Memang sangat sulit bagi Trump untuk mengeksekusi keinginannya agar ekonomi Amerika Serikat bisa tumbuh
lebih cepat. Maklum pendekatan dan paradigma yang dipakai Presiden Trump adalah pendekatan dan paradigma pengusaha, serba pragmatis.
Di satu sisi ia ingin memberikan stimulus ekonomi lebih besar bagi ekonomi domestik dengan melonggarkan kebijakan keuangan, di sisi lain permodalan perbankan Amerika Serikat saat ini cukup rentan. Sehingga jika terjadi dispute di satu bank akan dengan cepat berdampak pada sistem perbankan secara keseluruhan.
Selain itu, melonggarkan kebijakan keuangan berarti membiarkan tekanan inflasi lebih kuat. Meski tidak dikatakan secara langsung, dari raut wajah Yellen menunjukkan ketidak-setujuannya terhadap langkah Trump yang akan menghapus sistem jaminan sosial yang dibuat Barack Obama, Obamacare.
Penghapusan Obamacare itu bisa menimbulkan goncangan, jika tidak disiapkan sistem baru yang lebih baik untuk menggantikannya. Para pengamat menyimpulkan, pidato perempuan berusia 71 tahun itu sebagai pidato terakhirnya sebagai Ketua Dewan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat.
Yellen yang mulai menjabat pada Februari 2014 dan akan berakhir Februari 2018 mendatang dipastikan tidak akan melanjutkan untuk masa jabatan kedua. Hal itu menjadi pasti ketika ditanya, “Apakah Anda tidak akan mengambil masa jabatan kedua?” Dengan tenang namun pasti Yellen menjawab, “Sepertinya, iya.”
Secara personal, Presiden Trump sudah lama menunjukkan ketidak-sukaannya terhadap Yellen yang pada awal masa jabatan Trump bersemangat ingin merombak banyak kebijakan ekonomi, Yellen menanggapinya dengan dingin. Lalu siapa pengganti Yellen mulai Februari 2018 mendatang?