Setiap perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia wajib memiliki kesiagaan untuk penanganan bencana migas. Kesiagaan itu meliputi sumber daya manusia yang terlatih dan peralatan baik yang berfungsi sebagai instrumen monitoring untuk pencegahan, juga peralatan mekanik untuk menanggulangi tumpahan minyak. Keduanya harus bisa dikerahkan dan digunakan dengan segera jika terjadi keadaan darurat.
DALAM mengatasi bencana tumpahan minyak atau bahan kimia berbahaya beracun, kesiagaan sumber daya manusia merupakan persoalan yang dialami oleh perusahaan migas atau perusahaan lain yang memiliki eksposur risiko tumpahan minyak atau bahan kimia B3. Hal itu dikemukakan oleh praktisi di industri migas, Krishna D. Hartono.
Saat ini perkembangan teknologi informasi dan program-program aplikasinya sudah sedemikian maju, termasuk yang diterapkan di industri migas. Model-model aplikasi teknologi informasi itu antara lain dipakai guna meminimalisir atau bahkan mengeliminir risiko-risiko di lapangan, khususnya tumpahan minyak.
Menurut Krishna, implementasi aplikasi TI di sektor hilir dipakai untuk melindungi sumber daya manusia, karena lebih rentan terhadap risiko fatal. Sehingga lebih difokuskan pada keselamatan manusia yang bekerja di sana. Sedangkan di sektor hulu, bukan berarti sumber daya manusia diabaikan, tapi risiko yang probabilitasnya paling tinggi adalah tumpahan minyak yang mengancam kelestarian lingkungan hidup.
Namun demikian, lanjut Krishna, hingga kini persoalannya masih terkait dengan kesiagaan sumber daya manusia, jika sewaktu-waktu risiko itu berubah menjadi bencana. Sumber daya manusia yang dipersiapkan dan dilatih untuk menangani bencana di industri migas, umumnya diambil dari divisi tertentu yang memiliki tugas dan fungsi tersendiri.
“Bahkan, untuk perusahaan sekelas Pertamina atau AKR (Aneka Kimia Raya) yang bergerak di bidang hulu dan hilir, sering kali tidak bisa menjaga kesiagaan sumber daya manusia yang sewaktu-waktu dibutuhkan untuk penanggulangan. Mereka sudah dipersiapkan, tapi pada akhirnya tidak jalan,” kata Krishna.
Personel yang sudah mendapat pelatihan penanggulangan dan seterusnya, sewaktu-waktu dirotasi ke tempat lain atau ke daearah lain. Begitu juga dengan operator yang ditugasi menangani sistem automation. Walaupun pekerjaannya masih sebatas sistem monitoring, tapi ketika pejabat atau pemimpinnya berganti dan berubah, sistem itu pun ditinggalkan, atau orangnya dipindahkan.
“Akibatnya tidak ada regenerasi untuk mengoperasikan peralatan monitoring system, juga peralatan mekanis di lapangan,” kata Krishna.
Ia mengingatkan, Pertamina atau perusahaan KKKS lain tidak bisa begitu terus. Karena, jika tidak ada komitmen kuat untuk pemakaian sistem pencegahan risiko maupun peralatan mekanik penanggulangan bencana, termasuk tumpahan minyak, apa yang sudah diinvestasikan menjadi sia-sia.
Dengan persoalan relatif sama yang dihadapi perusahan-perusahaan migas, baik di hulu maupun di hilir, maka alternatif solusinya bisa menggunakan jasa pihak ketiga, baik yang mengoperasikan sistem otomasi monitoring risiko, atau perusahaan pusat penanggulangan tumpahan minyak dan bahan kimia B3.
Penggunaan jasa dari pihak ketiga tersebut bisa sumber daya manusianya, peralatannya, dan maintenance peralatan. Cara mendapatkan jasa tersebut bisa dengan cara sewa maupun membership dari perusahaan pusat penanggulangan tumpahan minyak yang sudah terakreditasi IMO dan disahkan oleh Ditjen Hubla Kementerian Perhubungan. Tinggal dikalkulasi paket mana yang paling efektif dan efisien. Dengan demikian, kesiagaan sumber daya dan peralatan bisa terjaga secara terus menerus, sehingga bisa bergerak cepat melakukan penanganan jika terjadi bencana.
Khusus di Pertamina, telah menerapkan new gen system yang dijalankan oleh anak perusahaan, antara lain Patra Niaga. Jadi, segala sistem yang berkaitan dengan risiko operasional ditangani anak perusahaan. Pertamina sendiri bisa konsentrasi pada core business-nya. “Saya kira itu cukup berhasil”, ujar Krishna.
Krishna menambahkan, penggunaan Terminal Automation New Entry System bisa meminimalisir risiko di area transfer point. Area tersebut memiliki risiko lebih tinggi dibanding tempat lainnya. Risiko yang bisa diminimalkan termasuk yang mengancam keselamatan kerja, pencurian, dan oil spill. Transfer point itu bisa berada di darat dan di laut. Transfer point di perairan menghubungkan antara tanker dengan instalasi di darat.
Penerapannya harus ada input elektronik data, antara tanker dan instalasi on shore (dolphin). Input data itu adalah sifatnya mandatori berdasarkan standarisasi keselamatan di terminal. Jika terjadi keadaan darurat sistem itu bekerja, mengirimkan sinyal ke darat dan darat merespon ke pihak kapal.
Apabila peristiwanya sudah terjadi, ada treatment konvensional yang harus dilakukan, misalnya ada serbuk yang ditabur di area tumpahan minyak, agar minyak tersebut terikat hingga mudah untuk diangkat. Berdasarkan statistik, kecelakaan sering terjadi di area dolphin ketika loading atau unloading.
Sedangkan dari sisi regulasi, Anggota Dewan Penasihat Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia (IAFMI), I Gde Pradnyana mengatakan, ketentuan-ketentuan dalam mengatasi oil spill dan chemical spill itu domain-nya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang harus dipenuhi dengan cara apapun.
Pengadaan peralatan penanggulangan tumpahan minyak oleh perusahaan KKKS, baik dalam skema cost recovery maupun gross split tetap harus memenuhi ketentuan itu, hanya berbeda cara pengadaan peralatannya saja. Dengan cost recovery, SKK Migas ikut menyetujui.
Sedangkan dengan gross split, perusahaan KKKS sendiri yang belanja peralatan penanggulangan oil & chemical spill.
“Masalah harga, tingkat kandungan lokal, buatan dalam negeri dan luar negeri, mereka harus berhitung terhadap persentasi insentif penggunaan produk dalam negeri dalam mengatasi oil spill,” kata Gde.
Mengenai hitungan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) tersebut meliputi barang dan jasa. Jika TKDN mencapai persentase tertentu ada tambahan split. Di situ perusahaan KKKS harus berhitung dengan merujuk pada Permen ESDM No. 8 Tahun 2017.(yus)