Sulit untuk dibayangkan jika terjadi tumpahan minyak berskala besar, sementara tim dan peralatan penanggulangan tumpahan minyak yang tersedia tidak memadai. Lebih sulit lagi jika tidak ada perjanjian dan koordinasi dengan negara-negara terdekat, untuk mendapatkan bantuan personel dan peralatan. Kerugian berupa kerusakan lingkungan hidup tidak akan ternilai, terlebih lagi jika bencana tumpahan minyak itu terjadi di dekat kawasan wisata pantai.
Pada tanggal 17 Mei 2017, pukul 08.00 WITA, kapal tanker MT Spiller berbendera Indonesia yang membawa 100 ribu barel minyak bertabrakan dengan sebuah kapal bulk carrier berbendera Panama di Selat Badung, Benoa, Bali. Akibat tabrakan tersebut kapal MT Spiller mengalami robek pada lambungnya dan terbakar. Minyak yang dibawanya pun tumpah ke laut. Sementara tujuh awak kapal menyelamatkan diri dengan melompat ke laut.
Kapten kapal MT Spiller melaporkan kepada Stasiun Radio Pantai (SROP) Benoa untuk meminta bantuan penyelamatan, pemadaman kebakaran, dan penanggulangan minyak. Pesan itu diteruskan kepada Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Benoa dan Kantor SAR Denpasar.
Kemudian KSOP Benoa mengerahkan Kapal Patroli KNP 326 bersama kapal dan helikopter milik Basarnas untuk melakukan pertolongan dan evakuasi awak kapal. Seluruh awak kapal dapat diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis.
Di atas kapal, api semakin besar dan sudah membakar sebagian badan kapal. Sementara minyak yang tumpah dari kargo kapal semakin banyak dan menyebar. Kemudian datang beberapa kapal KPLP KN Grantin, TB Patra Tunda, dan TB Steady melakukan pemadaman api.
Tim Gabungan melanjutkan operasi penanggulangan tumpahan minyak dengan menggelar oil boom tipe solid sepanjang 200 meter untuk mencegah tumpahan minyak masuk ke wilayah pantai.
Namun karena tipe oil boom yang digunakan kurang sesuai dengan kondisi area tumpahan minyak yang sebagian besar masih berada di laut lepas, maka diperlukan bantuan personel dan peralatan tambahan dari luar Pelabuhan Benoa, bantuan pengamanan dan pengamatan lokasi bencana serta tim medis untuk standby di pelabuhan.
Operasi penanggulangan tumpahan minyak yang sebelumnya dinyatakan Tier-1 tersebut, sudah tidak memadai. Maka status operasi penanggulangan ditingkatkan menjadi Tier-2, dengan meminta bantuan peralatan dan personel dari pelabuhan lain yang dipimpin oleh Syahbandar Tanjung Perak, Surabaya.
Namun karena jumlah minyak yang tumpah ke laut sangat banyak, ternyata operasi dengan Status Tier-2 pun tidak memadai. Area tumpahan minyak semakin luas. Status operasi pun ditingkatkan menjadi Tier-3, dan dipimpin oleh Dirjen Perhubungan Laut, sebagai Kepala Puskodalnas.
Di lapangan jumlah peralatan yang digunakan dalam operasi Tier-3 kurang memadai dan diperlukan bantuan dari negara lain. Kemudian Dirjen Hubla menghubungi Philippines Coast Guard (PCG) untuk meminta bantuan personel dan peralatan penanggulangan tumpahan minyak. Setelah dilakukan persiapan dan koordinasi, empat kapal milik PCG tiba di lokasi untuk melakukan operasi.
Oil boom kedua yang lebih panjang dan sesuai dengan kondisi medan pun digelar, karena minyak sudah mendekati wilayah sensitif dan kawasan wisata Pantai Benoa. Setelah berhasil melokalisir tumpahan minyak di laut, dilakukan penyedotan dengan oil skimmer. Operasi dilanjutkan dengan pembersihan wilayah pantai bersama warga setempat.
Itulah simulasi penanggulangan tumpahan minyak Tier-3 yang terjadi di Selat Badung, Bali. Latihan tersebut melibatkan bantuan tim dan peralatan penanggulangan tumpahan minyak dari Philippines Coast Guard.
Peningkatan Kerja Sama
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, A. Tonny Budiono mengatakan, Regional Marpolex yang diadakan setiap dua tahun adalah implementasi dari komitmen Dirjen Hubla sebagai Kepala Puskodalnas dalam mewujudkan dan menjaga kesiap-siagaan dan sumber daya nasional dalam menanggulangi pencemaran laut, terutama oleh tumpahan minyak.
Dengan adanya latihan bersama ini, selain dapat meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan Filipina dan Jepang, diharapkan Indonesia juga dapat memberikan respon cepat jika terjadi tumpahan minyak. Skenario dalam Regional Marpolex ini dirancang seperti kejadian sebenarnya, agar bisa diterapkan jika benar-benar terjadi,” kata Tonny.
Sementara Officer-In-Charge Philippine Coast Guard, Commo Joel S. Garcia mengatakan, Indonesia dan Filipina adalah negara tetangga dan sama-sama penghasil minyak. Selain itu, perairan Indonesia dan Filipina sering dilalui oleh kapal-kapal tanker raksasa, baik tanker milik kedua negara, maupun tanker milik negara lain.
“Jadi kita harus selalu memiliki kesiapan untuk mengatasi tumpahan minyak kapanpun dan dalam skala apapun. Khusus untuk mengatasi tumpahan minyak skala besar di wilayah kedua negara, dengan latihan rutin semacam ini, Filipina, Indonesia, dan Jepang memiliki kemampuan, prosedur, koordinasi, dalam operasional penanggulangannya,” kata Garcia.
Lebih lanjut Garcia mengatakan, komitmen dan kesiapan untuk penanggulangan tumpahan minyak harus selalu dijaga, karena siapapun tidak tahu kapan bencana akan terjadi. Tumpahan minyak dalam skala besar (Tier-3) seperti yang terjadi di Deepwater Horizon di Teluk Mexico atau tumpahan minyak dari tanker Exxon Valdez di Alaska, kerugian yang sangat besar bukan hanya diderita oleh perusahaan spiller, tapi juga oleh negara yang lingkungan hidup perairannya tercemar minyak.
“Kerusakan lingkungan hidup adalah kerugian yang nilainya jauh lebih tinggi. Untuk memulihkannya perlu waktu sangat lama,” tambah Garcia.
Ketua Delegasi dari Japan Coast Guard, Mr. Kuniko mengatakan, Jepang mempunyai sistem pencegahan dan penanggulangan tumpahan minyak yang dijalankan oleh Marine Disaster Prevention Center (MDPC). Undang-Undang Lingkungan Hidup di Jepang menyatakan, jika terjadi tumpahan minyak di perairan Jepang, maka penanggulangan harus sudah dilakukan tidak lebih dari dua jam setelah kejadian.
“Kami sadar bahwa kami punya banyak tanker yang melintas di perairan Indonesia, dan itu berpotensi untuk terjadinya tumpahan minyak. Untuk itu, kami mempunyai kerja sama dengan beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, jika terjadi sesuatu dengan kapal-kapal Jepang, kami bisa secepat mungkin melakukan koordinasi dan penanggulangan bersama tim lokal,” kata Kuniko.
Seperti diketahui, saat ini puluhan ribu tanker Jepang melintas di selat Malaka, selat Sunda, Selat Lombok, Laut Jawa, Sela Karimata, Selat Makassar dan laut Sulawesi. Untuk mengantisipasi kejadian tumpahan minyak dari kapal-kapal Jepang, Petroleum Association of Japan memiliki stockpile peralatan penanggulangan tumpahan minyak di Jakarta dan Singapura.
Dalam Regional Marpolex 2017 di Pelabuhan Benoa, Bali ditampilkan berbagai peralatan penanggulangan tumpahan minyak, termasuk sebuah ‘Giant Octopus’ oil skimmer terbesar di dunia buatan Slickbar Indonesia. Sebanyak 24 kapal dari berbagai jenis yang memiliki fungsi berbeda dalam satu operasi penanggulangan tumpahan minyak. Ada kapal yang membawa oil boom, kapal pemadam kebakaran, kapal penyemprot dispersant, kapal SAR, speedboat, kapal tunda, helikopter, dan drone.