Pengantar:
Tanggal 24 Januari 2017 Oil Spill Combat Team (OSCT) Indonesia menggelar Forum Penanggulangan Tumpahan Minyak dan Bahan Kimia Berbahaya Beracun (B3) di Jakarta. Forum bertema ‘Menjaga Keselamatan Kerja dan Melindungi Perairan Alam Indonesia Secara Efektif dan Efisien’ bertujuan untuk mendekatkan OSCT Indonesia dengan semua anggota, klien, serta mitra kerja sektor publik dan swasta melalui berbagi informasi, regulasi, inovasi, teknologi, dan solusi terbaru dalam melindungi lingkungan hidup perairan secara efektif dan efisien dari potensi tumpahan minyak dan bahan kimia berbahaya beracun (B3).
Wakil Presiden Republik Indonesia, HM Jusuf Kalla hadir menyampaikan sambutannya. Chairman OSCT Indonesia, Dr. Bayu Satya, B.Sc. mengemukakan, berbagai persoalan terkait tumpahan minyak dan Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun (B3) di Indonesia perlu mendapat penanganan yang lebih intensif, baik dalam kesiapan, maupun penanggulangannya. Dari Forum Penanggulangan Tumpahan Minyak dan Bahan Kimia Berbahaya Beracun (B3) PORTONEWS menyajikan tiga tulisan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan, bahwa Indonesia menghadapi risiko tumpahan minyak dan bahan kimia B3 yang cukup tinggi. Hal itu didasarkan pada tersebarnya industri hulu minyak di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, tingginya risiko tumpahan minyak dan bahan kimia B3, juga karena lebih dari 60% produk minyak dan bahan kimia B3 dunia ditransportasikan melalui perairan Indonesia. Karenannya, kesiapan dan kemampuan penanggulangan tumpahan minyak dan bahan kimia B3, harus terus ditingkatkan.
Dalam sambutannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dua trend yang demikian kuat di hampir seluruh dunia saat ini adalah demokrasi, hak azasi manusia, dan pelestarian lingkungan hidup. Sehingga, jika ada penentangan terhadap ketiga hal ini, maka masyarakat dunia akan segera bereaksi keras.
Trend kedua adalah nasionalisme dan proteksionisme. Isu itu mengemuka karena Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mengkampanyekan ‘America first’ dan ‘America Great Again!’, dalam implementasinya akan mengambil kebijakan proteksionistik terhadap produk-produk dari luar Amerika. Hal itu memicu negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama. Sebenarnya ini berbahaya bagi kelangsungan ekonomi dunia, karena bisa terjadi perang dagang antar negara besar atau antar blok.
Menurut Wapres, siapapun yang bertentangan dengan arus pemikiran demokrasi, penghormatan terhadap HAM, dan mengabaikan pelestarian lingkungan hidup, akan berhadapan dengan masyarakat dunia.
“Kita masih ingat bagaimana ketika sumur minyak BP yang jebol dan mencemari Teluk Mexico, BP harus mengeluarkan dana miliaran dolar Amerika Serikat untuk membayar ganti rugi kerusakan lingkungan hidup. Bahkan burung-burung yang mati pun dihitung,” kata Jusuf Kalla.
Artinya, jika tumpahan minyak dalam jumlah besar terjadi di Indonesia dan sampai merusak lingkungan hidup, maka risiko ekonominya sama. Spiller harus membayar biaya pembersihan minyak, membayar ganti rugi kerusakan lingkungan hidup perairan dan pantai, serta biaya-biaya lain karena terganggunya kegiatan ekonomi di satu wilayah.
Terkait dengan hal itu, Jusuf Kalla meminta kepada perusahaan-perusahaan minyak dan bahan kimia B3 yang beroperasi di Indonesia, untuk lebih sungguh-sungguh dalam mencegah terjadinya tumpahan minyak dan bahan kimia B3, meningkatkan kesiapan sumber daya manusia dan peralatan guna mengantisipasi tumpahan minyak dan bahan kimia B3, sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Karena, jika risiko itu sampai menjadi bencana, maka kerugian yang ditimbulkannya sangat besar berupa kerusakan lingkungan hidup perairan.
“Saya ingatkan perusahaan-perusahaan di sektor minyak harus mempunyai persiapan yang cukup, pengetahuan yang cukup, dan kerja sama yang baik. Jadi, anda lebih baik menghindari tumpahan minyak, daripada harus membayar triliunan rupiah!” tegas Wapres.
Terkait dengan gerakan menjaga lingkungan hidup perairan dari ancaman tumpahan minyak dan bahan kimia B3, JK menyatakan, negara mengapresiasi kemampuan OSCT Indonesia dalam mengantisipasi dan mengatasi persoalan tumpahan minyak dan bahan kimia B3 yang sulit diatasi, yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dari luar negeri.
Sebenarnya, lanjut JK, semua berharap tumpahan minyak dan bahan kimia B3 tidak terjadi. Tapi, bencana tumpahan minyak itu bisa terjadi kapan saja. Apalagi kegiatan eksplorasi minyak di Indonesia, khususnya sumur pengeborannya minyak lepas pantai cukup banyak. Sehingga kemungkinan terjadinya tumpahan minyak selalu ada.
Meski saat ini permintaan akan minyak dunia sudah dikurangi dengan banyaknya energi alternatif yang diproduksi berupa renewable energy, tapi kebutuhan minyak untuk transportasi dan industri, volumenya masih sangat besar. Sehingga risiko tumpahan minyak dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transportasi minyak, serta kegiatan di pelabuhan juga tetap tinggi.
“Mencegah tumpahan minyak ini sama dengan asuransi. Maka harus berhati-hati sebelum terjadi. Saya menghargai kemampuan Tim Pak Bayu, dan saya berharap semoga OSCT Indonesia selalu berkembang,” kata JK.
Wapres menambahkan, tetapi yang terpenting adalah pencegahan. Kemampuan yang memadai untuk melakukan pencegahan harus selalu didahului dengan pelatihan yang rutin, baik terhadap semua tim-tim yang dibentuk di perusahaan, atau latihan bagi para anggota OSCT Indonesia sendiri. Ini mutlak diperlukan agar bisa selalu siaga.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Gusti S. Sidemen mengemukakan, poin persoalan yang terjadi di Indonesia sehingga risiko tumpahan minyak tetap tinggi dikarenakan pasokan energi minyak dan gas masih berperan penting di Indonesia. Bahkan, pertumbuhan di sektor industri manufaktur dan transportasi terus mendorong peningkatan konsumsi migas.
Di sisi lain, dalam dua dekade terakhir lifting minyak di Indonesia terus menurun. Konsekuensinya, ketergantungan akan minyak impor semakin tinggi, sehingga meningkatkan intensitas lalu lintas laut.
“Sehingga keamanan jalur laut menjadi sangat penting. Sehingga harus dilakukan peningkatan kemampuan untuk pengaturannya guna menekan risiko kecelakaan yang bisa mengakibatkan tumpahan minyak,” kata Sidemen.
Jadi, kata Sidemen, peningkatan kapasitas dan kapabilitas pengamanan jalur laut, termasuk kemampuan menanggulangi tumpahan minyak di lokasi, jika terjadi kecelakaan, adalah salah satu perhatian khusus Ditjen Migas.
Jika terjadi kecelakaan, volume tumpahan minyak tidak pernah bisa diprediksi, karenanya kemampuan penanggulangan tumpahan minyak harus terus ditingkatkan. Peningkatan kemampuan menanggulangi tumpahan minyak dalam jumlah besar atau Tier 3, dilakukan melalui kerja sama bilateral dan multilateral.
Langkah strategis yang diambil pemerintah, lanjut Sidemen, adalah mengidentifikasi dan mengurangi risiko penerapan sistem manajemen keselamatan, pemeriksaan terjadwal dan tak terjadwal, penerapan instrumen ekonomi dan administrasi berupa penghargaan, peringatan, penalti, hingga pencabutan izin usaha, serta perbaikan yang berkelanjutan.
Sementara Kepala Divisi Penunjang Operasi SKK Migas, Nurwahidi mengemukakan, dalam enam tahun terakhir kasus tumpahan minyak yang terjadi di sektor hulu migas, dari sisi volume secara umum mengalami peningkatan. Tahun 2011 dan 2012 relatif cukup rendah, tidak lebih dari 140 barel. Namun di tahun 2013 melonjak hingga lebih dari 3.000 barel, dan 2014 sebanyak 1.100 barel. Dalam dua tahun terakhir angkanya menurun di bawah 1.000 barel.
“Selama tahun 2016, meskipun volume tumpahan minyak di sektor hulu migas tidak sampai 800 barel, frekuensinya cukup tinggi, mencapai 17 kasus,” kata Nurwahidi.
Volume Tumpahan Minyak di Sektor Hulu Migas 2011-2016
Tahun | Volume (Barel) |
2011 | 21 |
2012 | 140 |
2013 | 3.026 |
2014 | 1.114 |
2015 | 266 |
2016 | 787 |
Sumber: SKK Migas
Rendahnya harga minyak dalam beberapa tahun terakhir, kata Nurwahidi, mengakibatkan peningkatan risiko kecelakaan di sektor hulu, karena minat perusahaan-perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melakukan investasi baru juga menurun, banyak peralatan yang belum dilakukan pembaharuan.
Kepala Subdit Pengembangan Wilayah Kerja Migas Non Konvensional, Patuan Alfon Simanjuntak mengatakan, dalam rangka menekan risiko kecelakaan di sektor hulu migas, pemerintah menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan hulu migas.
Pertimbangannya, pertama, harga minyak ditentukan oleh mekanisme pasar dunia. Kedua, Perusahaan-perusahaan KKKS dituntut untuk mampu mengelola biaya dengan baik dengan memperhatikan cost management dan risk management, the best cost dan the best technology, biaya operasi dan investasi harus semakin efisien, terutama jika harga minyak makin turun. Ketiga, skema gross split diterapkan secara fair, tidak boleh berdasarkan judgement.
Khusus mengenai gross split, Alfon menerangkan, penerapan skema baru yang menggantikan cost recovery ini tidak menghilangkan otoritas negara dalam penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting migas, pembagian hasil, kepastian penerimaan, penetapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam penunjukan pengelolaan wilayah kerja.
Selain itu negara memegang kendali dalam penetapan penggunaan tenaga kerja nasional, khususnya tenaga kerja yang berasal dari wilayah kerja harus diprioritaskan. SKK Migas lebih fokus dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian. Kemudian, negara mewajibkan KKKS untuk membuka diri terhadap keterlibatan masyarakat di wilayah kerja. Negara juga berwenang menetapkan restorasi atas participating interest sebesar 10%.