Cuaca di penghujung tahun 1999 itu sangat tidak ramah. Memasuki puncak musim dingin gelombang laut di Atlantik Utara menggeliat hingga lebih dari 10 meter. Tapi Kapten Karun Sundar Mathur sudah tidak sabar lagi untuk memulai pelayaran terakhirnya di tahun 1999. Kapten Sundar bersama beberapa anak buah kapal yang berasal dari India, akan menghabiskan liburan akhir tahun bersama keluarganya, setelah Erika merapat di Pelabuhan Livorno, Italia, yang diperkirakan berlabuh pada tanggal 22 Desember 1999.
Pada sore hari yang berkabut, Rabu, 8 Desember 1999, perlahan Erika meninggalkan Dunkerque, di Perancis bagian utara, dengan membawa muatan 31.000 ton heavy oil. Bendera Malta di buritan kapal berkibar lembut tertiup angin. Kapal sepanjang 184 meter yang dibangun di Kasado Dock Co. Ltd. Jepang pada tahun 1975 itu bergerak ke arah barat, melewati selat Dover, menuju Samudera Atlantik.
Pada malam ketiga tanggal 10 Desember, naluri Sundar sudah menangkap sesuatu yang kurang baik. Sejak memasuki Atlantik terjangan badai yang tak kunjung reda menyadarkan Sundar, bahwa Erika yang ia kemudikan sudah berusia tua, 25 tahun. Ia bersama 18 awak kapal sudah pontang-panting mengendalikan kapal agar tetap pada jalur yang telah ditetapkan.
Memasuki Teluk Biscay badai makin mengamuk. Menjelang sore pada 11 Desember Sundar menyadari kapalnya sudah miring ke kanan 10 hingga 12 derajat. Tidak hanya itu, bagian tengah lambung kapal mulai retak, dan air mulai merambah. Pada jam-jam berikutnya ketika hari mulai gelap Erika sudah tidak bisa dikendalikan. Gelombang laut makin menggila, mempermainkan Erika seperti kaleng sarden. Sundar mengaktifkan sinyal SOS.
“Aku hanya berdoa kepada Tuhan, agar bisa mencapai pelabuhan (terdekat). Tapi saya tidak yakin itu akan bisa dilakukan. Benar-benar mengerikan,” kata Sundar yang bersama 18 anak-buahnya dievakuasi oleh Regu Penyelamat beberapa jam sebelum Erika tenggelam.
Keesokan-harinya, 12 Desember 1999, Erika pecah jadi dua bagian dan tenggelam dengan cepat. Pada ruang kargo yang terdapat di bagian haluan kapal, diperkirakan masih terdapat 6.400 ton minyak. Perusahaan minyak Perancis, Total yang mencarter kapal itu, menghabiskan £85 juta untuk memompa sisa minyak. Erika bersemayam di dasar Atlantik sejauh 75 kilometer sebelah barat lepas pantai Britanny, Perancis.
Penanggulangan
Dalam 24 jam pertama Erika kehilangan lebih dari 14.000 ton minyak yang melumuri Pantai Brittany, wilayah barat Perancis. Angin kencang dan arus laut yang deras dan berubah-ubah arah menyebabkan tim penanggulangan tumpahan minyak kesulitan dalam memperkirakan wilayah tumpahan. Tapi karena hal itu, tumpahan minyak menjadi lebih lama berada di laut, sehingga lebih banyak minyak yang menguap.

Awalnya, minyak bergerak ke tenggara dari lokasi Erika, menuju La Rochelle di sebelah barat, namun kemudian berbalik ke utara, hingga mencapai muara Sungai Loire pada Hari Natal 1999. Karena lama berada di laut, sebagian minyak membentuk emulsi, yang kekentalan dan volumenya meningkat secara signifikan. Daerah yang paling parah terpapar tumpahan adalah Loire Atlantique, dan pulau-pulau di sekitar Vendée, terutama Belle Ile. Untuk membersihkan daerah-daerah tersebut diperlukan mobilisasi peralatan penanggulangan tumpahan minyak dan responder yang memadai.
Dalam operasi yang melibatkan beberapa pusat penanggulangan tumpahan minyak, antara lain Oil Spill Response Limited (OSRL) dan Centre of Documentation, Research and Experimentation on Accidental Water Pollution (CEDRE) itu, selama 15 hari pertama operasi berhasil mengangkat 1.100 ton minyak yang bercampur air. Melalui penanggulangan di laut, diperkirakan sekitar 3% dari jumlah minyak yang tumpah bisa diangkat.
Penanggulangan juga difokuskan pada upaya memompa minyak yang tersisa di beberapa bagian cekungan pada bangkai Erika. Upaya ini membutuhkan situasi lautan yang lebih tenang. Karenanya, baru pada musim panas, tepatnya mulai Juni 2000 selama tiga bulan tim yang dimotori Total berhasil mengangkat 10.000 ton minyak dari reruntuhan Erika.
Selama operasi pembersihan secara keseluruhan, sekitar 200.000 ton limbah minyak yang tercampur dengan pasir, bebatuan, dan sampah dikumpulkan dari garis pantai dan kemudian untuk sementara ditimbun. Kemudian Total menampung limbah itu di kilang Donges, untuk dilakukan penyortiran sebelum benar-benar dibuang.
Mengingat jumlah minyak yang tumpah cukup besar, operasi pembersihan berlangsung selama berbulan-bulan. Marcus Russell, seorang Consultancy Supervisor dari OSRL menceritakan, di Belle Ille en Mer, sebuah pulau kecil di lepas pantai Brittany dan Loire Atlantique, tim umumnya bekerja bergantian dalam seminggu. Itu berlangsung mulai Maret sampai Desember 2000.
“Kami bekerja sama dengan Securite Civile, Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Fire Brigade yang dimobilisasi oleh pemerintah Perancis. Bekerja bersama yang melibatkan ratusan orang, berarti melalui hari-hari panjang dengan kerja keras, tapi juga sangat menyenangkan,” kata Russel.

Meskipun Belle Ille en Mer adalah sebuah pulau kecil, populasinya membengkak dari 4000 menjadi 40.000 di musim panas. Karena para wisatawan yang sebelumnya berniat menikmati pantai, begitu mengetahui pantainya masih tercemar minyak, sebagian dari mereka ikut bergabung membersihkan pantai. Secara keseluruhan, operasi pembersihan selama berbulan-bulan itu menelan biaya lebih dari US$600 juta dolar.
Selama operasi, diketahui bahwa tumpahan minyak telah membunuh lebih dari 100.000 ekor burung laut. Sementara hampir 74.000 ekor burung terdampar di pantai sepanjang Pantai Teluk Biscay dalam keadaan terlumuri minyak. Sekitar 42.000 ekor di antaranya kemudian mati. Selain itu, kalangan pencinta lingkungan hidup juga melaporkan, ribuan lumba-lumba, anjing laut, singa laut, beberapa jenis kura-kura, ratusan jenis ikan mati dan cacat.
Besarnya tumpahan dan panjang garis pantai yang terdampak, menimbulkan sejumlah besar klaim kompensasi. Ada usaha perikanan pesisir, budidaya tiram dan kerang laut, dan sumber daya pariwisata di seluruh Brittany selatan dan Vendée. Selain itu ada juga sentra produksi garam yang tercemar. Tumpahan minyak yang masuk ke area sensitif juga merusak tumbuhan laut di pantai Finistère dan Charente-Maritime sepanjang 400 kilometer.
Persoalan Hukum
Setelah kejadian, Kapten Karun Sundar Mathur ditangkap, kemudian oleh otoritas Perancis didakwa telah menempatkan kehidupan umum dalam bahaya dan menyebabkan pencemaran laut. Dia ditahan, tapi setelah permohonan resmi dari IFSMA, ia dibebaskan pada 23 Desember 1999 namun harus tetap tinggal di Paris. Akhirnya ia diizinkan untuk pulang ke India pada Februari 2000. Tahanan kota atas Kapten Sundar itu karena permintaan Menteri Transportasi Perancis, Jean Paul Levy agar persoalan hukum kasus Erika diselesaikan dulu.
Sementara pemilik kapal, Giuseppe Savarese mengatakan pihak yang bertanggung-jawab atas kasus Erika adalah perusahaan di mana kapal terdaftar, dan perusahaan konsultan perkapalan yang mengeluarkan sejumlah sertifikat kelaikan untuk Erika, yaitu RINA Italia. Panaship, operator Erika, juga diketahui tidak memiliki seorangpun ahli yang mengetahui kekuatan kapal.
“Aku membayar RINA untuk menyatakan kapal saya laik berlayar. Aku membayar RINA untuk memverifikasi bahwa kapal saya berada dalam kondisi yang baik. Jika, karena beberapa orang yang menyatakan ada masalah struktural, RINA seharusnya dapat tempat pada masalah struktural itu. Jika mereka memberi saya tagihan bersih atas kelaikan kapal saya, seharusnya saya diperbolehkan menggunakan kapal itu untuk berdagang,” kata Savarese.
Total, yang mencarter kapal itu mengemukakan bahwa Registro Italiano Navale telah menyatakan bahwa meskipun sudah berusia lebih dari 20 tahun tanker itu dalam kondisi baik. Perusahaan minyak Perancis ini tidak banyak berargumen karena dalam investigasi diketahui, dengan pertimbangan usia Erika, Total hanya membayar setengah dari tarif sewa normal.
Kemudian bermunculan informasi bahwa sejak beberapa tahun sebelum kejadian, Erika sudah dalam keadaan parah karena didera korosi. US Coast Guard menyebutkan setidaknya sejak tahun 1994 korosi telah jelas pada Erika.
Lloyd Register juga melaporkan bahwa korosi parah ditemukan hanya beberapa minggu sebelum kejadian. Namun, tidak ada tindakan perbaikan yang segera dilakukan. Lalu, inspeksi pada tahun 1997 di New Orleans, US Coast Guard memerintahkan bahwa harus dilakukan perbaikan permanen pada kargo kapal.
Banyak masalah Erika yang hanya ditambal, bukan diperbaiki dengan benar. Padahal, kebocoran sebesar lubang jarum pun tetap bertentangan dengan Konvensi Keselamatan Kelautan.
Sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Januari 2008, Total SA, Giuseppe Savarese (pemilik kapal), Antonio Pollara (operator) dan RINA (konsultan) dijatuhi hukuman di Pengadilan Solidum untuk membayar ganti rugi dari €192 juta atau sekitar US$280 juta ditambah denda untuk masing-masing pihak.
Reaksi IMO
Tenggelamnya Erika di lepas pantai Perancis itu mendorong International Maritime Organization (IMO) untuk mengeksekusi tiga hal, yaitu:
Pertama, mempercepat jadwal pembahasan dan pengesahan revisi 13G regulasi MARPOL tentang kapal tanker single-hull.
Kedua, perubahan yang diadopsi oleh IMO pada bulan Oktober 2000 untuk menaikkan sebesar 50% dari batas kompensasi yang dibayarkan kepada korban pencemaran oleh minyak dari kapal tanker minyak di bawah Konvensi Internasional tentang Kewajiban Sipil untuk Kerusakan Polusi Minyak (CLC Convention) dan Konvensi Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional untuk Kompensasi atas Kerusakan Polusi Minyak (IOPC Fund).
Ketiga, Komite Keselamatan Maritim IMO (MSC) pada Desember 2000 mengadopsi amandemen pedoman pada program peningkatan inspeksi selama survei atas kapal curah dan kapal tanker minyak resolusi A.744 (18) dalam kaitannya dengan evaluasi kekuatan longitudinal lambung girder pada tanker minyak.
Menyikapi amandemen IMO atas resolusi A.744 (18) tersebut, Indonesia sebagai anggota IMO, telah meratifikasikan dan menindak-lanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.66 Tahun 2005 tentang Ketentuan Pengoperasion Kapal Tangki Minyak Lambung Tunggal (single hull).
Selanjutnya, IMO telah mengambil tindakan pada beberapa hal operasional lainnya berdasarkan daftar tindakan yang bertujuan meningkatkan keselamatan dan meminimalkan risiko pencemaran minyak, disusun dalam menanggapi insiden Erika.

Erika Law
Kasus Erika mendorong Uni Eropa untuk menerbitkan dua ketentuan menyangkut keselamatan maritim, dan regulasi ketiga dipicu oleh kasus tenggelamnya kapal tanker minyak Prestige di lepas pantai Spanyol dan Perancis pada 2002.
Erika I, dirilis 22 Juli 2003 menyangkut Port State Control, Proposal pertama untuk mengamandemen Directive 95/21/EC guna mengawasi kapal-kapal yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan Eropa. Kapal yang berusia lebih dari 15 tahun yang dalam dua tahun terakhir dinyatakan bermasalah, akan ditolak masuk pelabuhan-pelabuhan Eropa. Ketentuan itu juga mengenai Classification Societies, Double-hull Oil Tankers. Mulai 1 Januari 2010 kapal tanker minyak single hull berbobot 20.000 DWT dilarang masuk perairan Uni Eropa. Mulai tahun 2015 tanker single hull 600 DWT juga dilarang masuk perairan Uni Eropa.
Erika II, beleid ini menyangkut Maritime Traffic Monitoring and Control System, dimaksudkan untuk menekan tingkat risiko kecelakaan. Uni Eropa akan mendirikan Compensation of Oil Pollution in European waters atau COPE Fund, guna meningkatkan dana kompensasi bagi korban tumpahan minyak di perairan Uni Eropa. Dana tersebut akan diberikan kepada korban dengan klaim dibenarkan, yang lebih dari €200 juta melebihi batas kompensasi regim internasional. Batas kompensasi dana adalah €1 miliar. Peraturan ini juga memberikan hukuman keuangan bagi mereka yang terbukti lalai dalam transportasi minyak melalui laut. Regulation (EC) No 1406/2002 ini kemudian diadopsi menjadi the European Maritime Safety Agency.
Erika III, menyangkut Flags State, MoU Paris tentang Port State Control, Classification Societies, Port State Control, Traffic Monitoring, dan Shipowner Insurance. Melalui Directive 2009/16/EC Uni Eropa membentuk Port State Control, di mana kapal-kapal yang akan masuk Eropa harus diinspeksi dan dicatat profil risikonya berdasarkan jenis, usia kapal, bendera, catatan tentang perusahaan, dan catatan tentang penahanan kapal.
Accident Investigation, Directive 2009/18/EC, menyiapkan panduan investigasi teknis dan diseminasi pembelajaran dari kasus-kasus transportasi laut. Lalu, Passenger Carrier Liability, ketentuan seragam di antara negara-negara Uni Eropa, tentang kompensasi bagi penumpang kapal yang menjadi korban kecelakaan kapal, disusun melalui Regulation (EC) No 392/2009. Ketentuan ini ekstensi dari Konvensi Athena (IMO) yang sudah menjadi bagian dari hukum Uni Eropa.
Persoalan-persoalan yang merupakan domain dari Port State Control dan Maritime Traffic Monitoring and Control System yang dibuat Uni Eropa paska Tragedi Erika, sejatinya sudah terangkum dalam kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan yang dimaksud adalah, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 atau Konvensi Hukum Laut dan Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC) 1990.
Tindak lanjut atas ratifikasi dua konvensi internasional itu, berupa penerbitan produk hukum, yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Hukum Laut, Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2006 tentang Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
PP No. 109 Tahun 2006 diterbitkan sebagai panduan untuk melakukan tindakan penanggulangan tumpahan minyak di laut, secara cepat, tepat dan terkoordinasi, agar penanggulangan musibah dapat dilakukan secara efisien pada masing-masing kategori, yaitu Tier 1 berskala kecil, dilakukan oleh pihak spiller, pemilik minyak, pemilik kapal, pemilik instalasi, dan lembaga yang wilayah kerjanya tercemari minyak. Tier 2, berskala sedang, penanggulangannya dilakukan bersama dengan lembaga atau perusahaan terdekat dengan lokasi pencemaran minyak dan perlu melibatkan organisasi penanggulangan tumpahan minyak. Tier 3, tumpahan minyak berskala besar, penanggung-jawab ada pada negara, yang penanggulangannya memerlukan bantuan dari negara lain.
Sedangkan untuk memastikan kelaikan kapal-kapal niaga berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang secara reguler beroperasi di perairan Indonesia, jauh sebelum tenggelamnya MV Erika, tepatnya pada tahun 1964 Pemerintah Indonesia mendirikan Badan Klasifikasi Indonesia. Kini lembaga ini berbentuk Badan Usaha Milik Negara.
Baca juga: Bergerak Cepat Sebelum Menjadi Bencana