Bahan kimia berbahaya beracun (B3) memiliki sifat destruktif terhadap tubuh manusia. Tapi bahan-bahan B3 itu diperlukan dalam menjalankan proses-proses industri tertentu. Tentu saja, penanganan, mulai dari memproduksi, menyimpan, memproses, mentransportasikan bahan B3 harus dilakukan dengan benar, agar tidak menimbulkan bencana.
Begitu juga dengan penanggulangan tumpahan bahan B3, di laut maupun di darat, memerlukan pengetahuan, keahlian dan peralatan khusus. Inti dari penanganan tumpahan bahan kimia berbahaya beracun (B3) itu adalah, bagaimana paparan vapor-nya tidak menjangkau pemukiman warga.
Kasubdit Pengawasan Norma, Ergonomi, Lingkungan kerja, dan Bahan Berbahaya, Kementerian Ketenaga-kerjaan, Herman Bagus Wicaksono mengemukakan, setiap badan usaha yang memproduksi, menyimpan, mentransportasikan, menggunakan bahan-bahan berbahaya yang berpotensi menimbulkan bahaya besar, wajib membuat dokumen pengendalian bahaya, mempekerjakan ahli K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) minimal satu orang.
Selanjutnya, melaporkan setiap perubahan (bahan, kuantitas, proses, dan modifikasi instalasi), melakukan pemeriksaan dan pengujian kimia minimal enam bulan sekali, melakukan pemeriksaan dan pengujian instalasi minimal enam bulan sekali, dan melakukan pemeriksaan tenaga kerja minimal setahun sekali.
Dokumen pengendalian potensi bahaya besar meliputi, identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko, kegiatan teknis (rancang bangun, konstruksi, pemilihan bahan kimia, pengoperasian dan pemeliharaan instalasi), kegiatan pembinaan tenaga kerja, rencana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat, dan prosedur kerja yang aman.
Kriteria bahan kimia berbahaya menurut Kepmenaker No. 187/1999 mengenai Penetapan Potensi Bahaya, adalah bahan beracun, bahan sangat beracun, cairan mudah terbakar, gas mudah terbakar, bahan mudah meledak, bahan reaktif, dan bahan oksidator.
“Bencana industri selalu menimbulkan kerugian yang besar, berupa tenaga kerja, moril dan material. Ketentuan-ketentuan terkait aktivitas yang berkaitan dengan bahan-bahan berbahaya, untuk mengendalikan potensi bahaya tidak menjadi petaka,” kata Herman.
Penanganan B3
Bahan-bahan kimia berbahaya, akan lebih berbahaya lagi ketika berada di kapal tanker. Karena dalam waktu lama kapal dalam keadaan bergerak dan muatannya pun adalah bahan yang mudah terbakar.
Selain itu, bahan-bahan kimia berbahaya umumnya bersifat khas, dan sangat reaktif terhadap zat lain apabila bercampur. Akibat yang muncul dari reaksi kimia dari pencampuran itu pun sangat beragam, tapi umumnya berbahaya bagi manusia dan efek yang ditimbulkannya sifatnya instan.
Karena itu, menurut Director of Japan Marine Disaster Prevention Center (MDPC) Takahiro Hagihara, ada perbedaan antara tumpahan minyak dengan tumpahan bahan kimia berbahaya. Pada tumpahan bahan kimia berbahaya ada kemungkinan pengapian dan ledakan.
Baca juga: Peringatan Keras Dari Wapres
Sehingga dibutuhkan kemampuan memadamkan api yang efektif. Kemudian, yang utama dalam menanggulangi tumpahan bahan kimia cair berbahaya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus.
“Secara teknis, para petugas di lapangan sering kali kesulitan menangani tumpahan bahan kimia berbahaya, karena lapisannya yang tipis. Sehingga sulit melakukan skimming dari permukaan air. Itu baru wujudnya. Belum sifat bahayanya jika paparan uap dari bahan kimia itu tercium, tertelan, atau masuk ke dalam tubuh lewat telinga atau mata. Jadi sama sekali berbeda dengan penanganan tumpahan minyak yang lebih mekanistik,” papar Hagihara.
Sementara Operational Manager OSCT Indonesia, Yodi Satya mengemukakan, kini OSCT Indonesia tidak hanya meningkatkan kemampuan bagaimana cara menanggulangi tumpahan minyak secara efektif dan efisien, tapi mulai mempersiapkan diri untuk penanganan tumpahan bahan kimia berbahaya beracun (B3).
Ia memaparkan, visi dan misi OSCT Indonesia adalah melindungi lingkungan hidup. Indonesia yang memiliki lebih dari 200 pelabuhan dalam 14 tahun ke depan, atau di tahun 2030 akan menjadi titik tumpu maritim dunia.
“Apa yang dilakukan OSCT Indonesia, mengikuti dan mendukung visi dan misi pemerintah dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Kita bisa beroperasi dengan efektif dan efisien mendukung kegiatan klien. Kita punya pengalaman dalam menanggulangi lebih dari 50 kasus tumpahan minyak dan beberapa kasus tumpahan bahan kimia B3, di Indonesia, Thailand, China dan Qatar,” kata Yodi.
Tantangan yang dihadapi OSCT Indonesia sekarang adalah bagaimana agar selalu siap menanggulangi semua risiko secara efisien, bukan hanya ketika terjadi kasus tumpahan atau emergency, tapi persiapannya juga. Artinya walaupun tidak terjadi tumpahan minyak dan bahan kimia B3, OSCT Indonesia harus selalu dalam keadaan siaga untuk melakukan operasi di lapangan secara efisien, 24 jam sehari selama tujuh hari dalam seminggu.
Tentang efektifitas, bila sebelumnya OSCT Indonesia mengandalkan pesawat untuk melakukan spraying dispersant, kini OSCT lebih mengutamakan memperbanyak base. OSCT Indonesia membuka beberapa base baru di daerah-daerah strategis. Itu dilakukan agar OSCT Indonesia bisa bekerja lebih cepat dan efektif.
Dalam hal peralatan, setiap tahun dilakukan peningkatan kuantitas dan fungsinya. Sekarang OSCT Indonesia sudah memiliki oil boom sepanjang 10 kilometer, 40 skimer ukuran biasa dan besar, dan peralatan lainnya untuk mendukung operasi penanggulangan minyak secara mekanik.
“Apa yang baru? Sekarang OSCT Indonesia punya kemampuan untuk penanggulangan B3. Dalam mengaplikasikan kemampuan penanganan tumpahan bahan kimia B3 itu kita bisa memaksimalkan produk dan tenaga kerja lokal,” kaya Yodi.
Yodi menambahkan, tahun 2017 ini contingency plan dan prosedur penanggulangan tumpahan bahan kimia secara efektif yang diajukan oleh OSCT Indonesia kepada pemerintah sudah mendapat persetujuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI dan Kementerian Perhubungan RI.
Setiap perusahaan harus memiliki perencanaan penanggulangan tumpahan minyak dan B3 yang disetujui oleh Ditjen Perhubungan Laut, Kemenhub, dan Ditjen Migas, Kementerian ESDM, untuk menentukan kebutuhan sumber daya penanggulangan pencemaran Tier 1 selama durasi operasi.
Perencanaan penanggulangan tumpahan minyak dan B3 itu meliputi kajian risiko yang terdiri atas skenario tumpahan di darat dan di laut. Kemudian, strategi penanggulangan yang meliputi permodelan tumpahan minyak dan bahan kimia, fate of oil untuk menentukan tipe skimmer, waktu dan analisis dampak tumpahan minyak dan bahan kimia.
Serta, rencana operasional yang terdiri atas penyusunan perencanaan tindakan yang diperlukan untuk skala Tier 1 penanggulangan tumpahan minyak dan bahan kimia, peralatan, personil terlatih, dan sumber daya pendukung untuk melindungi lingkungan hidup.
“Bagaimana kita bisa menentukan apakah sudah bisa beroperasi secara efektif? Pertama, harus ada penilaian atau perencanaan penanggulangan tumpahan minyak dan B3. Itu yang harus diselesaikan dahulu, tanpa kita membuat perencanaan, kita tidak bisa menentukan alatnya apa, jumlahnya berapa, seberapa cepat respons time-nya, dan tentu saja durasinya berapa lama. Ini kunci efektifitas,” jelas Yodi.
Penilaian penting sekali. Apabila sudah mendapatkan surat pengesahan, artinya jumlah alatnya selama tiga tahun sudah fixed. Misalnya, satu perusahaan wajib mempunyai 300 meter oil boom. Alat itulah yang harus ada di lokasi. Jadi, semua proses dimulai dengan penilaian dan perencanaan.
Peralatan
Perkembangan teknologi memudahkan dan mempercepat berbagai pekerjaan yang sebelumnya dilakukan secara manual dan konvensional, termasuk dalam penanggulangan tumpahan minyak. Saat ini dengan memasukan data lokasi dan waktu terjadinya tumpahan minyak ke dalam sistem komputer, hanya dengan satu click, satu kasus tumpahan minyak bisa diketahui berapa banyak volume yang tumpah, bergerak ke arah mana, dan seterusnya.
Dengan mempunyai perencanaan yang matang, pusat penanggulangan tumpahan minyak bisa menentukan, wilayah-wilayah yang paling sensitif yang harus dilindungi, serta response time-nya akan diketahui, berapa lama.
“Alat yang kita punya itu namanya Windows of Response. Dengan alat itu kita bisa melakukan penanggulangan sebelum tumpahan minyak sampai ke pantai dan menjadi bencana. Selama minyak itu di laut, kita bisa ambil, sementara kita bisa lakukan perlindungan terhadap pantai-pantainya. Kalau minyak itu sampai ke pantai, kita perlu 50 sampai 100 orang untuk membersihkan pantai secepat mungkin. Itu bedanya penanggulangan dan pembersihan.”
Yodi menambahkan, bedanya penangulangan minyak dengan B3, yang pertama kali diidentifikasi bukan cairannya, tapi penyebaran uap atau vapor-nya, seberapa cepat vapor itu sampai ke pemukiman terdekat. Misalnya, dalam 60 menit sudah sampai 400 meter, dengan asumsi source-nya tidak ditutup atau dinetralisir. Radius luasan penyebaran vapor itu tergantung kecepatan dan arah angin.
“Itu cukup berbahaya. Kuncinya bahan berbahaya itu sumbernya harus segera ditutup atau dinetralisir, baik secara kimiawi atau mekanik, jangan sampai ke pemukiman penduduk,” Yodi mengingatkan.
Yodi menyebutkan contoh kasus penanggulangan tumpahan kimia dari kapal tanker kimia Jepang, MT Southern Mermaid tahun 2013. OSCT Indonesia mendapat notifikasi pada 17 November, ketika hari libur. Pemilik kapal dan otoritas pelabuhan meminta OSCT Indonesia untuk menangani kasus itu.
OSCT Indonesia langsung memobilisasi personel dan peralatan ke lokasi di perairan Ciwandan, Banten pada hari yang sama. Untungnya, yang tumpah itu bukan muatan bahan kimianya, tapi minyak.
“Kalau kita sampai di hari yang sama, minyaknya di satu tempat, kalau kita sampai di hari kedua minyaknya di dua tempat, kita sampai di hari ketiga dan seterusnya minyak sudah menyebar. Ini yang menentukannya, Windows Response. Dan itu efektif. Kalau kita telat empat hari kita membersihkannya, cost dan waktunya bisa sampai empat kali lipat. Jadi, tindakan cepat itu penting sekali,” kata Yodi.
Satu lokasi yang tercemar sepanjang 12 kilometer, perlu waktu 12 hari untuk membersihkannya. Tapi tergantung medannya. Tim OSCT Indonesia pernah membersihkan pantai sepanjang 8 kilometer, tapi membutuhkan waktu hingga satu bulan.
Pembersihan tumpahan kimia B3, membutuhkan peralatan yang lebih spesifik, misalnya pakaian full personal protective equipment (PPE), Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA) tabung seberat 4 kilogram dalam suite yang panasnya 45 derajat celcius, kalau matahari sedang terik tentu lebih panas lagi.
“Bayangkan, cuma bisa nafas 20 menit harus mengambil sampel dan mengurangi B3. Jadi memang harus terlatih. Kita contohkan Amoniak, yang baunya seperti telur busuk. Vapor-nya kita netralisir dan jadi beku atau kristal, dia tidak mengeluarkan uap lagi,” kata Yodi.
Dengan skema membership, user bisa melakukan efisiensi, termasuk dalam penggunaan peralatan. Kalau sudah mempunyai perencanaan yang matang, dalam jangka waktu tertentu baru bisa melakukan efisiensi. Misalnya, alat di lokasi dibutuhkan 500 unit, tapi ada resources terdekat yang bisa disewa. Ya selebihnya mendingan sewa dengan cara on call.
Itulah konsep membership, yang nama lainnya Simply On Call Resources. Tapi bottom line-nya, On Call Rescources 24 jam tujuh hari seminggu, mengefisiensikan penyediaan alat. Tapi itu semua tergantung kajiannya, khususnya terkait lokasi.
Baca lainnya: Bahan Kimia Berbahaya Beracun (B3)