PENASIHAT Utama PKSPL IPB, Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS menjelaskan, menurut sifatnya, pencemaran oleh polutan minyak terbagi dua, akut dan kronis. Pencemaran akut terjadi karena jumlah tumpahan minyak dalam jumlah besar, masif, dan mendadak. Misalnya minyak di laut tumpahan dari tanker, sumur dasar laut, industri oil and gas, atau pipa minyak bawah laut yang pecah.
Sedangkan pencemaran minyak yang kronis, terjadi karena tumpahan dalam jumlah yang kecil tapi berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama. Contohnya, buangan minyak ke muara-muara sungai, kampung nelayan, dan ceceran BBM.
Bagaimanapun, tumpahan minyak di laut maupun di darat akan menimbulkan kerusakan ekologis. Karena berat jenis minyak lebih ringan ketimbang air, maka minyak akan selalu berada di atas, apalagi yang berbentuk produk olahan seperti BBM, akan selalu berada di permukaan air. Ketika air laut surut minyak akan menempel di terumbu karang, mangrove, dan padang lamun.
“Nah, kalau makhluk hidup terkena minyak, kalau ikan ya insangnya tertutup minyak dan mati. Begitu juga kerang di dasar laut, dia akan tertutup dan mati. Tapi dampak yang tidak terasa, yaitu minyak akan menutupi masuknya sinar matahari ke dalam laut. Sinar matahari yang biasanya masuk ke kolom air, akan terhalang oleh lapisan minyak. Sementara sinar matahari diperlukan oleh mahluk hidup yang ada di air,” jelas Tridoyo.

Menurut Tridoyo, tumpahan minyak di laut bisa memutus rantai makanan, bahkan pada akhirnya mencemari yang dimakan manusia juga.
Karena minyak itu walaupun sifatnya organik, bisa mengandung muatan logam, apalagi produk minyak olahan.
“Tapi kalau minyak mentah saja, ikatan C-H-nya saja akan mengganggu rantai makanan juga. Secara kimia, dia kan organik C-H, kalau tidak berikatan dengan kotoran dia akan mengapung, tapi kalau berikatan dengan material lain dia tenggelam. Jadi, berapapun jumlah tumpahan minyak yang tidak terangkat, pasti berikatan dengan molekul lain dan tenggelam. Di bawah akan berdampak terus.”
Tridoyo menerangkan, untuk bisa mengurai molekul minyak, diperlukan waktu yang sangat lama, tergantung panjang ikatan Carbon-nya. Semakin C-nya panjang, semakin lama. Mungkin hitungannya puluhan tahun.
Minyak mentah memiliki ikatan Carbon yang panjang, yang bisa menutupi biota. Tapi yang perlu diingat, alam sendiri mempunyai kemampuan rehabilitasi, adaptasi, dan seterusnya.
“Cuma tetap harus ada yang bertanggung jawab dari pemangku kepentingan atas minyak, atas lingkungan hidup.”
Bioremediasi
Sementara jika tumpahan minyak terjadi di darat atau tanah, akan mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah yang terpapar. Penanganan tumpahan minyak di darat, untuk yang sifatnya akut dilakukan dengan cara mekanis, mengambil lapisan minyak, jika yang tumpah minyak mentah. Lain halnya kalau yang tumpah produk olahan minyak, yang langsung meresap ke dalam tanah, meski sebagian menguap ke udara. Namun, jika tumpahan itu sifatnya kronis, baik minyak mentah maupun minyak olahan, dampaknya sama, akan menghilangkan kesuburan tanah. Selain itu, ketika suhu meningkat, maka minyak yang ada di dalam tanah akan terkonsolidasi dan muncul ke permukaan. Ketika suhu turun, minyak pun kembali ke dalam tanah.
Direktur PKSPL IPB, Dr. Ir. Ario Damar, M. Si. memaparkan, pencemaran minyak mutlak harus diatasi. IPB dengan keilmuannya, memperkuat keahlian untuk menghancurkan berbagai limbah menggunakan proses bio, salah satunya dengan alat Biodispersant. Jika jumlahnya cukup besar, tidak bisa diatasi dengan Biodispersant, maka dilakukan melalui Land Farming, yaitu teknologi awal untuk Bioremediasi. Teknik Bioremediasi sudah diterapkan oleh PKSPL IPB sejak tahun 2001-2002.

“Intinya kita menggunakan bio untuk mengolah limbah supaya kembali lebih cepat ke alam, yang tadinya bisa puluhan tahun,” kata Ario.
Ario menambahkan, pada minyak, juga terdapat unsur logam berat. Untuk menetralisir logam berat tersebut, tekniknya akan berbeda-beda. Pada prinsipnya, logam berat harus disimpan, tekniknya disebutnya ‘Fitoremediasi’.
Untuk mengumpulkan minyak tumpah yang sifatnya kronis mencemari tanah, ada proses mekanik kalau masih memungkinkan. Sebelumnya dilakukan mapping terlebih dahulu, untuk memetakan pencemaran minyak yang akan ditanggulangi. Cara kerjanya bagaimana, di mana, seberapa luas, teknologi bio yang tepat apa, dan seterusnya.
“Ada juga yang blocking di satu lokasi. Kadang-kadang kan minyak sudah ngumpul, tidak hanya sekarang, mungkin sejak zaman Belanda. Jadi satu tempat bisa menggunakan bioremediasi. Misalnya total equivalence untuk Carbon syaratnya harus di bawah 1000 PPM (Part Per Mill). Ini kita turunkan sehingga teknologinya menggunakan bakteri setempat yang sesuai dengan lingkungan, tidak harmful tapi mampu memotong rantai karbon itu. Maka itulah dikembangkan teknologi Land Farming,” kata Ario.
Land Farming adalah suatu metode di mana barang-barang yang tercemar dikumpulkan, diproses dengan tanah yang ada, diberi bakteri, dan diaduk. Kemudian untuk mempercepat proses, seperti yang dilakukan PKSPL IPB di Unocal (Balikpapan) pada tahun 2002, membutuhkan waktu selama 190 hari. Kemudian dengan berbagai teknologi waktunya dipersingkat menjadi tiga bulan. “Metodologi proses, pengadukan, campuran itu kemudian menjadi tiga bulan.”
Ario melanjutkan, tiga bulan itu masih terlalu lama bagi perusahaan, kemudian PKSPL mengembangkan Bioreactor. Dengan menggunakan Bioreactor, semua proses yang dilakukan tanpa sentuhan tangan manusia, semuanya mesin. Cara kerjanya, limbah disedot, masuk ke dalam tanker atau kontainer, lalu ‘diolah’, lalu dimasukkan ke kontainer berikutnya, dan mulai proses anaerob. Kemudian ditambah beberapa jenis bakteri.
Kemudian, masuk ke kontainer lain untuk di-treatment. Tujuannya untuk menurunkan kadar Carbon dari 17.000 PPM atau berapapun, tergantung kondisinya, sampai kadar Carbon-nya di bawah 1000 PPM. Total waktu yang dibutuhkan adalah 21 hari. Bahkan hasil pengembangan terakhir, waktu yang diperlukan untuk proses remediasi atau fitoremediasi hanya 14 hari. Output dari proses itu adalah pupuk. Karenanya, teknologi itu disebut Blue Economy, tadi tidak boleh ada limbah atau zero waste.
“Ini sudah memenuhi Peraturan Menteri (Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014). Permen itu yang nyusun kita juga sama teman-teman. Karena pengalaman kita diminta untuk menyusun peraturan itu,” kata Ario.
Ketentuan mengenai restorasi lingkungan hidup dari kerusakan akibat pencemaran, selain Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, ada juga Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis.
Untuk membuktikan setelah dilakukan bioremediasi dan fitoremediasi pada lahan yang tercemar minyak, dilakukan uji lab untuk mengukur Total Petro Hydrocarbon (TPH) pada tanah yang yang sudah di-treatment, yang sebelumnya mencapai 50% atau lebih, menjadi hanya 1%. Kemudian, di lahan itu ditanami beberapa jenis tanaman yang sangat rentan terhadap penurunan tingkat kesuburan tanah. Hasilnya tanaman-tanaman itu bisa tumbuh dengan baik. Artinya, tingkat kesuburan tanah yang sebelumnya tercemar minyak, sudah pulih.
Sejauh ini, PKSPL IPB telah melakukan proyek pemulihan kesuburan tanah di lahan terpapar polutan minyak, di Brunei LNG, Brunei Shell Petroleum, Vico Indonesia, Unocal, Exxon Mobil, di beberapa area perusahaan migas lainnya di Indonesia.
Mengenai bioremediasi dan fitoremediasi, Prof. Tridoyo mengemukakan, pada Oktober tahun 2014 ada preseden yang kontra produktif, di mana proyek bioremediasi yang dilakukan oleh Chevron Pacific Indonesia di Dumai, Riau, dianggap sebagai modus tindak pidana korupsi. Waktu itu beberapa karyawan CPI dan vendor bioremediasi didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Menanggapi kasus itu, Forum Komunikasi Kehumasan Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (FKK Hulu Migas) menyatakan keprihatinannya, karena program bioremediasi jelas dasar hukumnya, yaitu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis. Bahkan, kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi menarik perhatian dunia, khususnya para pelaku industri migas.
“Penurunan TPH di area CPI yang dilakukan bioremediasi, dianggap karena proses alam. Jadi bioremediasi itu dianggap korupsi. Itulah teknologi bioremediasi tidak bisa berkembang, dari sisi aturan menjadi seperti salah,” kata Tridoyo.
PKSPL IPB
Prof. Tridoyo memaparkan, PKSPL didirikan tanggal 21 Agustus 1997 yang merupakan salah satu dari 22 pusat penelitian di IPB, pusat studi di IPB. PKSPL IPB juga satu-satunya pusat penelitian yang berfokus pada kelautan dan pesisir. Pada tahun 2001, PKSPL IPB memprakarsai dan mendirikan Forum Bioremediasi Indonesia. Kementerian Ristek dan Dikti telah menetapkan 20 pusat unggulan Ilmu Pengetahuan Nasional.
“Dari 20 pusat unggulan ipteknas itu, enam dari IPB yang salah satunya adalah PKSPL. Selain itu, penghargaan atas 107 karya inovasi yang diberikan Pemerintah, yang populer dengan Vidya Padi, 30% diraih oleh lembaga-lembaga riset IPB. Ya kalau kami boleh berbangga, IPB saat ini nomor satu,” kata Tridoyo dengan bangga.

Mandat yang diterima PKSPL, adalah untuk mengembangkan ilmu dan teknologi melalui penelitian yang terkait dengan aspek kelautan dan pengelolaan sumber daya alam, yang bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Core of competence PKSPL IPB, meliputi sumber daya alam pesisir dan laut, termasuk di dalamnya biologi, eksosistem tumbu karang, mangrove, dan perikanan. Kemudian upaya-upaya untuk memanfaatkan sumber daya laut tersebut untuk peningkatan ekonomi.
“Selain meningkatkan aktivitas ekonomi kita juga berupaya menciptakan ekonomi berkelanjutan, sustainable untuk pengolahan sumber daya alam,” kata Tridoyo.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh PSKPL IPB antara lain pada tahun 2004, mengenai matinya ikan-ikan di Teluk Jakarta. Waktu itu PKSPL meneliti sedimen yang terdapat di Teluk Jakarta, sampai pada uji lab terhadap ikan-ikan yang mati, otopsi biologi seberapa berpengaruh apabila dimakan manusia, apa dampaknya, kadar logam beratnya berapa, dan seterusnya.
“Sayangnya pemerintah Indonesia tidak memonitor secara kontinu, sehingga setelah ada kejadian dan kita turun ke lapangan baru ada perhatian.”
Waktu itu, PKSPL menggunakan biaya sendiri untuk melakukan penelitian tersebut. Padahal institusi ini tidak diberi anggaran satu sen pun oleh negara untuk melakukan itu. Jadi PKSPL IPB harus bekerja sama dengan lembaga lain untuk aktivitas riset.
Tridoyo menambahkan, PKSPL IPB mempunyai beberapa divisi, center of excellent yang bisa juga menyadarkan stakeholders, baik kalangan bisnis, LSM, pemerintah, maupun komunitas internasional yang terkait dengan laut dan maritim yang dihadapi Indonesia.
Konsep terbaru yang dikembangkan PKSPL IPB adalah Blue Economy. Tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat di pesisir, khususnya masyarakat kecil, nelayan, pembudi-daya ikan, dan kelompok masyarakat marginal lain di sekitar pesisir. Sehingga riset-riset yang dilakukan sifatnya multidisiplin dari mulai aspek ekosistem, sosial masyarakat, dan ekonomi.
PKSPL IPB mempunyai lima divisi, yaitu Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Divisi Bioteknologi Kelautan, Divisi Teknologi dan Sistem Informasi Pesisir dan Laut, Divisi Kebijakan Ekonomi dan Kelautan, dan Divisi Pemberdayaan Masyarakat.
Kemudian, PKSPL juga mempunyai program Sea Farming di Kepulauan Seribu, yang pelaksanaannya dipimpin oleh Direktur PKSPL IPB, Ario Damar.
“Kita punya stasiun lapangan di sana, klinik budidaya laut, central of port, serta shipping and maritime logistics. Itu yang terkait dengan bisnis laut kemaritiman. Itu semua mandatnya dari IMO (International Maritime Organization),” kata Ario.
Terkait dengan Shipping and Maritime Logistics, PKSPL mengembangkan keilmuan kepelabuhanan bekerja sama dengan World Maritime University di Malmo, Swedia. Sedangkan untuk penerapannya telah bekerja sama dengan Pelabuhan Shanghai, Hamburg, Bremen, dan Rotterdam.
Terakhir, PKSPL bekerja sama dengan IMO di London. Kerja sama itu dilakukan karena PKSPL fokus pada riset-riset pengelolaan sumber daya laut yang link-nya langsung ke masyarakat kecil, seperti nelayan dan pembudidaya laut. Salah satu programnya adalah Sea Farming yang di Pulau Seribu.
Sumber daya ekonomi yang dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan, diyakini berada di laut dan sekitar laut. Bahkan, beberapa studi menyebutkan, jika potensi ekonomi kelautan bisa termanfaatkan dengan baik, maka hasilnya bisa menutup APBN 2017 yang sekitar Rp2.000 triliun.
Salah satu institusi yang paling depan dalam pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan masyarakat pesisir, adalah Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Jadi, IPB tidak hanya menjadi lembaga pengembangan sumber daya manusia unggulan di bidang jurnalistik dan perbankan seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo, tapi juga bidang agrikultur, akuakultur, dan bioteknologi.