Sejak awal dekade 1970an, sudah puluhan kali kecelakaan terjadi di Selat Malaka hingga menumpahkan ribuan ton minyak ke laut, namun penanganannya terkesan alakadarnya. Itu pun dilakukan atas inisiatif pemerintah masing-masing bersama masyarakat di sekitar wilayah paparan tumpahan minyak.
Kontribusi nyata justru datang dari salah satu negara yang paling mengandalkan Selat Malaka sebagai rute bagi ribuan tankernya, yaitu Jepang. Seperti dikemukakan oleh Director of Japan Marine Disaster Prevention Center (MDPC) Takahiro Hagihara, sejak 20 tahun lalu, pemerintah Jepang bersama Indonesia, Singapura, dan Malaysia telah membantu pengaturan lalu lintas di Selat Malaka. Bantuan itu berupa dana pengadaan peralatan keselamatan navigasi pelayaran.
Bantuan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama dalam mempersiapkan peralatan tumpahan minyak dan pelatihan sumber daya manusia, serta mengingatkan para pemilik kapal untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan, demi keselamatan pelayaran di Selat Malaka.
Tahun | Peristiwa | Tumpahan Minyak (Ton) |
1972 | Super Tanker Myrtea kandas | 1.000 |
1975 | Tabrakan Isugawa Maru vs Silver Palace | 1.000 |
1975 | Super Tanker Showa Maru kandas | 3.300 |
1987 | Tanker Stolt Advance kandas | 2.300 |
1992 | Tabrakan Nagasaki Spirit vs Ocean Blessing | 100.000 |
1993 | Tanker Maersk Navigator | 290.000 |
1996 | MT Song San bocor | NA |
1997 | Tabrakan Tanker Orapin Global vs Tanker Evoikos | 28.500 |
2000 | Tanker Natuna Sea kandas | 7.000 |
2008 | MV Damai Lestari vs Tanker Pancoral | 700 |
2010 | MT Bunga Kelana 3, St. Vincents vs MV Wally | 2.500 |
2014 | Tabrakan Lime Galaxy vs Feihe | 760 |
2015 | MV Thorco Cloud dan MT Stolt Commitment | 560 |
2017 | Tanker Wan Hai 301 vs MT APL Denver | 300 |
Dari Berbagai Sumber
Jepang juga mengkoordinir pengumpulan dana dari negara-negara yang kapal-kapalnya menggunakan Selat Karimata dan Selat Malaka sebagai rute pelayarannya, termasuk Indonesia, Malaysia dan Singapura. Persoalannya, dana itu tersimpan di rekening International Maritime Organization (IMO) Straits Malacca and Singapore Trust Fund. Untuk mengeluarkan dana tersebut syarat-syarat dan birokrasinya cukup panjang.
Selain MDPC, Petroleum Association of Japan, juga menempatkan stockpile base di Jakarta, Lombok, Makassar, Malaysia dan Singapura. Penempatan stockpile base tersebut agar bisa melakukan penanggulangan tumpahan minyak dengan cepat, jika kapal-kapal tanker Jepang mengalami kecelakaan.
Hagihara mengatakan, peristiwa tumpahan minyak bisa terjadi kapan saja. Hal yang paling penting adalah kecepatan dalam mengidentifikasi dan melakukan penanggulangan.
Terlebih lagi di perairan yang cukup sempit seperti Selat Malaka, jika terjadi tumpahan minyak, maka dalam hitungan jam tumpahan itu akan mencapai sensitive area.
Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah kesiapan peralatan. Tapi yang lebih penting adalah kemampuan personil. Misalnya, harus bisa menentukan posisi dan membangun safety zone sebagai basis operasi penangulangan.
Karena tumpahan minyak di laut selalu bergerak, sehingga kecepatan penanganan itu sangat penting untuk meminimalisir kerusakan lingkungan hidup. Ia membandingkan, jika terjadi tumpahan minyak di perairan Jepang, dalam waktu maksimal satu jam setelah laporan, personel MDPC sudah berada di lokasi untuk melakukan penanggulangan.
Ketika terjadi tumpahan minyak sebanyak 300 ton akibat bertabrakannya kapal tanker Wan Hai 301 dengan APL Denver Januari 2017 lalu di Pelabuhan Pasir Gudang Malaysia, penanganannya sangat lambat. Buktinya, tumpahan minyak dari kapal APL Denver sampai menyeberang ke pantai di Pulau Ubin, Pulau Batam, dan Pulau Nenas, Kepulauan Riau. Penanggulangan Itu pun lebih banyak dilakukan oleh masyarakat.
Celakanya, tumpahan minyak yang diangkat dan dikumpulkan dari area pantai, hilang entah kemana. Sehingga pemerintah RI kesulitan untuk menyampaikan klaim kepada Singapore Trust Fund.
Dalam makalahnya, Prof. Djalal menuliskan, ada perbedaan kepentingan antara Indonesia dan Malaysia di satu pihak, dan Singapura di pihak lain. Singapura dengan luas pantai yang tidak begitu panjang, menjadi salah satu pelabuhan terbesar di dunia.
Hidup mati Pelabuhan Singapura sangat bergantung pada jumlah kapal yang melalui Selat Malaka. Jadi, Singapura melihat fungsi Selat Malaka-Singapura sebagai wadah komunikasi atau pelayaran.
Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia dengan luas pantai yang sangat panjang dan kehidupan rakyat pantai yang sebagian besar masih sebagai nelayan, lebih mementingkan fungsi pemeliharaan lingkungan laut untuk menjaga sumber-sumber perikanan selain sebagai wadah komunikasi.
Jadi, pemeliharaan fungsi Selat Malaka-Singapura diharapkan dapat meningkatkan kelestarian lingkungan di selat tersebut. Secara teknis, persoalan Selat Malaka-Singapura bagi ketiga negara adalah untuk meningkatkan keselamatan pelayaran.
Bagi Indonesia, persoalan hukum dan politik Selat Malaka-Singapura adalah, pertama, mempertahankan kedaulatan pada zona teritorial hingga 12 mil laut sesuai undang-undang.
Kedua, meneguhkan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Malaysia dan Singapura. Ketiga, mempertahankan ketentuan-ketantuan hukum internasional yang menjamin keseimbangan antara kepentingan negara-negara selat dan negara-negara maritim.
Keempat, memelihara kesatuan pandangan dan sikap antara ketiga negara pantai sebagai negara sahabat dan yang bertetangga baik di lingkungan ASEAN dalam menghadapi sikap negara-negara maritim.
Kelima, membela keselamatan pelayaran, keamanan, dan kelestarian pantainya dari berbagai pencemaran laut yang semakin lama semakin besar, terutama dari kapal-kapal tanker raksasa yang lewat di Selat Malaka.
Baca juga: Selat Malaka, Arena Tumpahan Minyak