INDONESIA adalah negara yang perairannya paling sering dilalui oleh kapal-kapal besar dari berbagai belahan dunia. Tidak kurang dari 100 ribu kapal lalu-lalang melintasi Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai, Selat Makassar, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Maluku, dan Laut Sulawesi. Kapal-kapal yang melintas di perairan Indonesia tersebut membawa minyak, gas, bahan kimia, hasil tambang atau kontainer barang.
Apapun yang diangkutnya, di lambung kapal-kapal tersebut terdapat ribuan galon minyak bahan bakar dan pelumas. Selain kapal-kapal asing, ada ribuan kapal domestik berbagai ukuran yang berlayar dari satu pulau ke pulau lain. Artinya, sebagai negara dengan lalu lintas perairan tersibuk di dunia Indonesia adalah negara paling terancam oleh tumpahan minyak yang berasal dari kecelakaan kapal.
Indonesia juga sebagai salah satu negara penghasil minyak, saat ini memiliki 532 anjungan pengeboran minyak lepas pantai, 70 di antaranya sudah tidak berpungsi. Salah satu prasarana penunjang ladang minyak lepas pantai adalah jaringan pipa minyak bawah laut.
Dari total pipa migas sepanjang 14.000 kilometer, lebih dari setengahnya berada di bawah laut. Jadi, selain ancaman tumpahan minyak yang berasal dari kecelakaan kapal, juga potensi tumpahan minyak yang berasal dari sumur minyak atau pipa yang pecah (blow out) sangatlah besar.
Kepala Seksi Penanggulangan Musibah, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Anung Trijoko Wahono mengemukakan, hal terpenting jika terjadi tumpahan minyak atau bahan kimia B3, adalah kecepatan pelaporan agar upaya penanggulangan bisa dilakukan sesegera mungkin, sehingga area penyebaran tumpahan minyak bisa dilokalisir seminimal mungkin. Pelaporan tersebut meliputi waktu kejadian, jenis pencemaran, sumber dan penyebab pencemaran atau tumpahan, lokasi dan posisi pencemaran, serta kondisi cuaca di lokasi pencemaran.
Untuk pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan tumpahan minyak, kata Anung, pemerintah melibatkan pihak swasta untuk melakukan penilaian penanggulangan bencana maritim (Gulmar) sudah ada tiga badan hukum. Kerja sama penyediaan peralatan Gulmar sudah ada enam badan hukum, dan kerja sama pelatihan personil Gulmar ada empat badan hukum.
“Tentu saja lembaga-lembaga itu badan hukum yang bekerja-sama dengan Hubla itu sudah memenuhi berbagai persyaratan dan memegang sertifikasi berstandar IMO,” kata Anung.
Meski demikian, terkait dengan keterbatasan dana, untuk penilaian Gulmar misalnya, dari 200an perusahaan pengelola kegiatan kepelabuhanan yang ada di Indonesia, baru 20 perusahaan atau 10% yang sudah mendapat penilaian Gulmar. Mengenai peralatan Gulmar, pemenuhan yang efektif dan efisien sesuai Permenhub No.58/2013 bisa dilakukan dengan cara membeli, menyewa, atau kerja sama (membership), disesuaikan dengan hasil penilaian.
“Sedangkan mengenai pelatihan Gulmar, saat ini di lembaga-lembaga di bawah Ditjen Hubla sudah ada 1.000 personel dengan sertifikasi IMO Level 1, 1.400 orang dengan sertifikat IMO Level 2, dan 200 orang dengan sertifikasi IMO Level 3,” ujar Anung.
Tingginya ancaman tumpahan minyak di perairan Indonesia, selain dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak, juga dari transportasi minyak. Bukan hanya kapal-kapal tanker Indonesia melainkan juga ratusan tanker raksasa dari berbagai negara di dunia yang setiap hari melewati perairan Indonesia.
Di antara perairan Indonesia, yang paling ramai dilalui kapal-kapal raksasa adalah Selat Malaka. Tidak kurang dari 250 kapal per hari lewat perairan yang beberapa bagiannya juga dimiliki oleh Singapura dan Malaysia. Sebagai catatan, 80% dari luas Selat Malaka yang mempunyai garis pantai sepanjang 900 kilometer itu masuk wilayah Republik Indonesia.
Tak pelak lagi, selain sangat sibuk, lebar Selat Malaka juga sangat ‘sempit’ untuk lalu-lalang kapal-kapal raksasa, hanya 3 mil laut. Bahkan bagian tersempit disebut Selat Philips, hanya 1,5 mil laut. Begitu juga kedalamannya yang bervariasi, di mana bagian terdangkal hanya 25 meter.
Karenanya, kapal-kapal dengan draught lebih dari 20,5 meter dan berbobot di atas 300.000 DWT, tidak dapat melintasi Selat Malaka. Salah satu negara yang paling mengandalkan wilayah perairan Indonesia, khususnya Selat Malaka sebagai rute bagi ribuan tankernya adalah Jepang.
Director of Japan Marine Disaster Prevention Center (MDPC), Takahiro Hagihara mengatakan, sejak 20 tahun lalu pemerintah Jepang bersama Indonesia, Singapura, dan Malaysia telah membantu pengaturan lalu lintas di Selat Malaka. Bantuan itu berupa dana pengadaan peralatan keselamatan navigasi pelayaran.
“Saya berharap kita bisa terus meningkatkan kerja sama dalam mempersiapkan peralatan tumpahan minyak dan pelatihan sumber daya manusia, serta mengingatkan para pemilik kapal untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,” kata Hagihara.
Ia menjelaskan, peristiwa tumpahan minyak bisa terjadi kapan saja. Hal paling penting adalah kecepatan dalam mengidentifikasi dan melakukan penanggulangan. Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah kesiapan peralatan. Tapi yang lebih penting adalah kemampuan personil. Misalnya, harus bisa menentukan posisi dan membangun safety zone sebagai basis operasi penangulangan.
“Karena tumpahan minyak di laut terus bergerak, kecepatan penanganan itu sangat penting untuk meminimalisir kerusakan lingkungan hidup. Jika terjadi tumpahan minyak di perairan Jepang, maksimal satu jam setelah laporan, personel MDPC sudah berada di lokasi untuk melakukan penanggulangan,” Hagihara menjelaskan.
Kerja sama yang dilakukan MDPC dengan OSCT Indonesia dimaksudkan untuk mendorong perbaikan sistem dan regulasi penangulangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Karena, pihak yang berkompeten dalam penanggulangan tumpahan minyak adalah pemerintah dan swasta.
“Saya juga setiap tahun bertemu dengan Mr. Bayu dari OSCT Indonesia pada pertemuan tahunan RITAG. Oktober 2016 lalu kami bertemu di Bali,” ujar Hagihara.
Lalu lintas di Selat Sunda dan Selat Lombok juga tidak kurang ramai. Tidak kurang dari 2.500 kapal per tahun melintasi Selat Sunda dan 500 kapal melewati Selat Lombok, di mana sebagian besar adalah kapal tanker minyak. Karena ukuran kapal tanker yang berlayar melalui Selat Sunda dan Selat Lombok berukuran sangat besar, meskipun tidak sebanyak yang melintas di Selat Malaka, jumlah minyak yang diangkutnya pun cukup banyak, sekitar 17 juta barel per hari.
Kecelakaan kapal yang mengakibatkan tumpahnya minyak ke laut dalam jumlah besar, adalah ancaman yang setiap menit bisa saja terjadi di Selat Malaka. Seperti yang terjadi pada 25 Mei tahun 2010 ketika KM Bunga Kelana 3 yang mengangkut 2.500 ton minyak, bertabrakan dengan KM Wally di dekat Selat Philips. Akibatnya, minyak mentah sebanyak 2.000 ton (14.600 barel) menutupi Selat Malaka.
Selain terbawa arus laut, minyak itu dengan cepat menyebar karena ramainya lalu lintas kapal di sana. Tak pelak lagi, tumpahan minyak itu sampai di wilayah perairan Indonesia. Saat itu, operasi penanggulangan dilakukan oleh Singapore Maritime & Ports Authority (MPA) dan Malaysia Marine Department. Setelah kejadian, tidak pernah diberitakan upaya pembersihan perairan dan pantai di wilayah Indonesia.
Kemudian, 2 Januari 2015 terjadi tabrakan antara kapal MT Alyarmouk yang berbendera Libya dengan Kapal MV Sinar Kapuas. Alyarmouk sedang dalam pelayaran menuju Tiongkok membawa minyak Madura Crude Oil. Kejadian itu juga terjadi di Selat Malaka. Tidak kurang dari 4.500 ton atau 32.850 barel minyak tumpah ke laut.
Kali ini pihak Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melakukan koordinasi penanganan dengan pihak yang berwenang setempat. Dengan menggunakan Model SPICA Meteo France dan berdasarkan informasi dari Indonesia Ocean Forecasting System (INAOFS), tumpahan minyak diprediksi mencapai kawasan pesisir timur dan timur laut Pulau Bintan pada tanggal 9 Januari 2015, juga dilakukan langkah persiapan penanggulangan.
Pada setiap kecelakaan kapal, meskipun kapal yang mengalami musibah bukan kapal tanker, dipastikan selalu menimbulkan tumpahan minyak yang volumenya tergantung ukuran kapal. Hingga tahun 2015, setiap tahun diperkirakan terjadi 500 kejadian kecelakaan kapal di wilayah perairan Indonesia.
Lalu, sejauh manakah Kesiapan Indonesia dalam menghadapi ancaman tumpahan minyak? Untuk memastikan setiap terjadi tumpahan minyak direspon oleh pihak yang berkompeten, menurut Kepala Seksi Penanggulangan Musibah, Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Kementerian Perhubungan, Anung Trijoko Wasono, mekanisme pelaporan terkait tumpahan minyak telah ditetapkan dalam pasal 25 dan 26 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim dan pasal 8 Perpres No. 109 Tahun 2006.
Kasus tumpahan minyak terbaru terjadi pada 3 Januari 2017 di mana tanker Singapura, Wan Hai 301 bertabrakan dengan kapal kontainer Gibraltar, APL Denver di perairan Pelabuhan Pasir Gudang Malaysia dan minyak sebanyak 300 ton atau 2.160 barel tumpah ke Selat Malaka. Karena Selat Malaka cukup sempit, tidak sampai satu hari tumpahan minyak tersebut sudah menyebar ke wilayah pantai Pulau Ubin, Pulau Nenas, dan Pulau Batam.
Sangat disayangkan, tumpahan minyak itu baru ditangani setelah sampai di pantai. Sehingga penanggulangannya relatif sulit dan kurang efektif. Pihak Indonesia baru berbicara dengan pemilik kapal, dan melakukan operasi pembersihan setelah lapisan minyak berhari-hari menutupi Pantai Nongsa Batam dan sekitarnya. Dana pembersihan itu berasal dari IMO Straits of Malacca and Singapore Truft Fund.
Akibat tumpahan minyak itu dipastikan menimbulkan kerusakan lingkungan pantai di wilayah yang terpapar. Selain itu para nelayan juga dirugikan. Pemerintah Indonesia dinilai lambat menangani kasus ini. Warga di sekitar pantai yang tercemar secara gotong royong membersihan pantai secara mekanik dengan peralatan konvensional. Oleh masyarakat limbah minyak itu dibuang entah kemana. Hal itu justru membuat barang bukti untuk mendapatkan ganti rugi menjadi hilang. Dan upaya untuk mendapatkan ganti rugi dari pemilik kapal terancam gagal.
Sebelumnya, tanggal 13 Desember 2016 di Jatianom Kecamatan Susukan, Cirebon, pipa saluran minyak milik PT Pertamina Aset 3 Cirebon dari Majalengka ke Mundu, bocor. Akibatnya minyak menggenangi area persawahan di sekitar lokasi kebocoran.
Meningkatkan Kesiagaan
Guna menjaga kepatuhan para pemangku kepentingan sesuai PP 21/2010, ditetapkan bahwa jika terdapat badan usaha yang tidak menjalankan prosedur, diberikan sanksi administrasi dari mulai teguran sampai pencabutan izin operasi (psl 38).
Saat ini Direktorat KPLP juga melakukan diseminasi kepada para pengusaha, yang intinya menyampaikan bahwa prosedur dibuat untuk mendukung kecepatan dalam penanggulangan juga merupakan kebutuhan perusahaan, mengingat jika hal itu tidak dilakukan maka saat terjadi tumpahan minyak kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan akan semakin besar.
Untuk penanggulangan tumpahan minyak berskala besar, Tier-3, penanggulangan dipimpin oleh Menhub selaku Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang bertanggung-jawab kepada Presiden. Selaku Ketua Tim, Menhub membentuk Pusat Komando Pengendali Nasional Tumpahan Minyak dengan Kepala Puskosalnas Dirjen Hubla dan beranggotakan jajaran eselon 1 seluruh instansi sebagai anggota tim.
Baca juga: Sulitnya Menjaga Kesiagaan Dalam Penanganan Risiko Migas
Karena penanggulangan tumpahan minyak Tier-3 selalu melibatkan bantuan dari negara lain, pemerintah Indonesia telah menjalin kerja sama, antara lain Indonesia-Malaysia-Filipina melalui Sulawesi Sea MoU 1980 on Oil Spill Network Response Plan. Kemudian, Indonesia-Malaysia-Singapura (Revolving Fund Committee-RFC), Indonesia-Australia (MoU on Oil Pollution Preparedness and Response 1996), ASEAN (MoU on ASEAN Cooperation Mechanism for Join Oil Spill Preparedness and Response 2014).
Hanya saja, meskipun Indonesia sudah menandatangani kontrak kerja sama dengan sejumlah negara dalam penanggulangan tumpahan minyak berskala besar, namun sejauh ini belum pernah dipublikasikan seperti apa contingency plan jika benar-benar terjadi, atau dilakukan simulasi penanggulangan tumpahan minyak Tier-3. Sehingga, masih sulit diperkirakan, berapa waktu yang diperlukan untuk memobilisasi personel dan peralatan, baik yang ada di dalam negeri maupun yang didatangkan dari negara lain. Padahal, hal itu diperlukan untuk meminimalisir luasan area tumpahan dan tingkat kerusakan lingkungan.
Transparansi
Di Indonesia, kasus tumpahan minyak relatif sering terjadi, baik yang disebabkan tumpahnya muatan minyak dari kapal yang mengalami kecelakaan, maupun blow out yang keluar dari pipa atau selang yang pecah. Selama tahun 2016, tercatat tiga kasus tumpahan minyak dalam jumlah signifikan, yaitu di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Dermaga Pelindo II, Tanjung Priok Jakarta dan di Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.
Setiap kali terjadi tumpahan minyak, pihak-pihak yang menurut ketentuan hukum yang berlaku, bertanggung-jawab atas kejadian itu, cenderung menutup-nutupi dari liputan media. Padahal, dalam peristiwa tumpahan minyak pihak spiller atau pemilik minyak, seharusnya membuka diri terhadap media dan masyarakat. Karena wilayah yang tercemari oleh minyak, yaitu perairan adalah bagian dari public area, di mana terdapat aset bersama berupa keaneka-ragaman hayati yang terancam rusak.
Bisa dipahami. Jika perusahaan-perusahaan yang seharusnya bertanggung-jawab ingin menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Karena, di era perdagangan bebas dan kesadaran global akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup, pasar dunia menjadi sangat sensitif terhadap para pelaku perdagangan antar negara. Jika satu perusahaan dalam proses produksi atau operasionalnya merusak lingkungan hidup, maka pasar akan langsung ‘menghukumnya’.
Entah dengan alasan apa, sikap tertutup ketika terjadi tumpahan minyak, juga ditunjukkan oleh regulator. Misalnya, pada 10 Desember 2016 lalu, di kalangan media melalui WhatsApp beredar pesan Ketua SKK Migas kepada staf-nya untuk memobilisasi peralatan tumpahan minyak (PPTM) ke floating storage and offloading (FSO) Gagak Rimang di Tuban, Jawa Timur. Serta merta pesan itu diinterpretasikan telah terjadi tumpahan minyak.
Maka pada hari libur akhir pekan itu para awak media, termasuk PORTONEWS menanyakan langsung kepada Ketua SKK Migas Amien Sunaryadi, apakah telah terjadi tumpahan minyak di sekitar FSO Gagak Rimang? Namun tak berjawab. Tidak berhenti di situ, hal yang sama juga ditanyakan ke Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan, Syahbandar Pelabuhan Palang, Tuban, hingga ke masyarakat di sekitar pantai Palang, Tuban. Karena pada kasus-kasus sebelumnya, yang pertama kali mengetahui terjadinya kebocoran minyak adalah nelayan. Jawabannya seragam, di sekitar FSO Gagak Rimang tidak terjadi tumpahan minyak.
Pada 14 Desember 2016, Wakil Kepala SKK Migas, M.I. Zikrullah mengklarifikasi bahwa tidak ada tumpahan minyak di sekitar FSO Gagak Rimang. Ia menjelaskan, mobilisasi peralatan penanggulangan tumpahan minyak dilakukan tidak berarti ada kebocoran atau tumpahan. Lalu untuk apa mobilisasi PPTM itu? Sedangkan mobilisasi PPTM memerlukan dana yang tidak kecil.
“Bisa saja mobilisasi itu untuk kepentingan lain. Saya sudah perintahkan check ke lapangan. Tidak ada kebocoran dan tumpahan minyak,” kata Zikrullah.
VP External Relations SKK Migas, Taslim Z. Yunus mengatakan, kalau ada kebocoran operator wajib lapor ke SKK Migas, tidak boleh lebih dari 24 jam setelah kejadian.
“Seperti yang pernah terjadi dengan Petrochina, setelah di-chek memang fasilitasnya sudah tua, sehinga terjadi (kebocoran). Begitu juga jika ada complain dari masyarakat, flare terlalu tinggi, kita bantu selesaikan,” kaya Taslim.
Menurut dia, mobilisasi PPTM bisa juga karena adanya informasi dari BIN atau Polri, misalnya terkait ancaman teroris. Karena instalasi seperti Gagak Rimang termasuk industri strategis, objek vital nasional. Jika ada ancaman pengamanannya diserahkan kepada aparat. Untuk pengawasan teknis sehari-hari dilakukan oleh Direktur Teknik Ditjen Migas. SKK Migas tidak dilibatkan, dan langkah preventif itu sifatnya rahasia. Jadi kalau ada persoalan-persoalan teknis seperti ancaman teroris, itu ditangani oleh Ditjen Migas bersama TNI dan Polri.
Baca lainnya: Tumpahan Minyak, Dampak dan Upaya Penanggulangannya