Perubahan skema pembayaran pengadaan barang dan jasa oleh perusahaan-perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dari cost recovery menjadi gross split, menimbulkan konsekuensi dan implikasi dalam mekanisme dan peraturannya. Pada dasarnya, tujuan dari diterapkannya skema gross split agar perusahaan-perusahaan KKKS lebih efisien dalam pengadaan barang penunjang kegiatan eksplorasi, termasuk barang dan jasa penanggulangan tumpahan minyak. Selain itu juga sebagai stimulus agar perusahaan-perusahaan KKKS lebih giat mencari cadangan baru migas. Untuk mendapat penjelasan yang lebih komprehensif, Yus Husni M. Thamrin dan Renol Rinaldi dari PORTONEWS mewawancarai anggota Komisi Pengawas Internal SKK Migas, I Gde Pradnyana. Berikut petikannya:
Dalam skema cost recovery, belanja barang penunjang eksplorasi dan eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan KKKS, sebelumnya harus mendapat approval dari SKK Migas. Dengan skema gross split yang diberlakukan dalam kontrak baru, akan seperti apa fungsi SKK Migas dalam pengadaan peralatan eksplorasi dan eksploitasi?
Kalau dengan balancing and settlement code (BSC) Cost Recovery pembelanjaan apapun oleh KKKS itu harus atas persetujuan SKK Migas. Tentu ada limit nominalnya. Misalkan, kalau dulu pembelanjaan di atas US$5 juta harus persetujuan SKK Migas, sekarang dinaikkan menjadi US$20 juta. Yang di bawah limit tersebut tetap membutuhkan persetujuan, tapi tidak project by project, melainkan persetujuan secara blanket dalam pengajuan WP&B (Work Program and Budget). Itu dalam skema cost recovery, termasuk belanja peralatan untuk mengatasi oil spill dan chemical spill atau site remediation.
Dalam gross split, tentu pembelanjaannya oleh mereka sendiri. Mereka yang menganggarkan, mereka yang membelanjakan sendiri. Namun demikian, mereka tentu harus mengetahui ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan, kalau beroperasi di laut, atau Kementerian Perhubungan kalau menyangkut lintas pelabuhan. Jadi ketentuan ini harus tetap dipenuhi, case apapun yang dipakai, gross split atau cost recovery, cuma cara pembelanjaannya saja yang berbeda. Kalau gross split oleh mereka sendiri, termasuk memilih peralatan apa yang akan mereka gunakan dan teknologi apa yang akan mereka pakai, SKK Migas tidak banyak terlibat.
Untuk cost recovery, pada dasarnya itu yang belanja negara, karena kemudian dibayarkan oleh negara. Bisa diartikan begitu?
Cost recovery maupun gross split tetap dibayar dari revenue yang dihasilkan, apapun caranya, mau cost recovery maupun gross split, tetap pengembalian investasi tersebut diambil dari revenue yang dihasilkan. Bedanya adalah kalau cost recovery itu persetujuannnya melalui SKK Migas, tetapi gross split tidak membutuhkan persetujuan SKK Migas. Jadi mereka sendiri yang mengambil dari hasil revenue mereka. Pemerintah cuma tahu split-nya, misalkan 40-60 atau 42-58. Itu sudah termasuk hal-hal seperti tadi. Tapi tetap diambil dari revenue tersebut.
Jadi, kalau cost recovery, gross revenue dipotong dulu dengan cost recovery, sisanya di-split, itu net split. Tetapi kalau gross split itu dari gross-nya dibagi. Tentu dalam pembagian ini kontraktor atau KKKS memasukkan porsi cost recovery-nya dia di dalam gross split yang merupakan bagiannya. Pemerintah mendapatkan gross split dari gross revenue yang termasuk net split di situ.
Pak Amien Sunaryadi pernah mengatakan cost recovery adalah investasi untuk mencari minyak. Apa benar gross split menurunkan eagerness KKKS untuk bereksplorasi?
Cost recovery bisa dipandang dari dua sudut. Kami atau SKK Migas itu memandang dari sudut investasi, tapi pemerintah sebagai yang punya resources memandang dari sisi akuntansi, sebagai pengurang penerimaan negara. Jadi tergantung sudut pandang mana.
Tapi paling tidak dalam 10-15 tahun terakhir ini lifting gak naik?
Lifting tidak naik karena discovery-nya tidak meningkat. Jadi sebagian besar lifting yang kita lakukan berasal dari cadangan-cadangan yang sudah lama ditemukan, bukan cadangan-cadangan baru.
Discovery tidak ada, padahal cost recovery jalan, apa ‘investasi’ jalan?
Ada ataupun tidak ada cadangan baru, tetap lapangan itu harus dioperasikan. Artinya tetap akan ada belanja di situ untuk operating cost. Kadang ada penambahan peralatan baru atau pergantian peralatan lama, belanja itu tidak bisa dihindari. Cuma kita ubah cara belanjanya, kalau dulu belanjanya melalui persetujuan SKK Migas, sekarang sepenuhnya mereka (KKKS). Pemerintah dapat ujungnya saja, dapat split-nya saja, terserah mereka mau belanja seperti apa.
Terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), apakah SKK Migas juga masih in charge di situ? Terkait kriteria peralatan yang dibutuhkan atau dibeli oleh KKKS melalui skema gross split?
Keterlibatannya berbeda, kalau cost recovery memang SKK Migas bisa meng-endorse atau memaksa ketentuan-ketentuan TKDN di luar yang ditentukan oleh pemerintah. Dengan gross split, mereka tetap harus memenuhi ketentuan-ketentuan TKDN tersebut, karena ada masalah perpajakan, ada masalah insentif yang diberikan dalam skema gross split tersebut. Kalau TKDN-nya meningkat mereka dapat tambahan split. Jadi ketentuan TKDN tetap ada cuma cara mencapainya berbeda.
Tapi sekarang SKK Migas tidak memiliki otoritas untuk memilih, menentukan kriteria?
Ya, tapi bukan berarti TKDN diabaikan. Cuma caranya saja berbeda, kalau dulu SKK Migas memang punya kewenangan atau punya tangan untuk mengarahkan KKKS, misalkan harus menggunakan kapal buatan dalam negeri. Itu SKK Migas bisa. Kemudian harus memakai sistem perbankan nasional, itu bisa, dan lain-lain. Dengan skema gross split tentu KKKS akan bisa melihat yang paling efisien. Kalau misalkan kapal produk luar negeri lebih murah, mestinya dia bisa menggunakan kapal dari luar negeri. Tetapi kan ada ketentuan-ketentuan TKDN yang memberikan insentif kepada mereka. Jadi kalau dia pakai kapal dalam negeri, Anda bisa dapat split tambahan sekian persen. Nah, itu hal-hal yang seperti saya sampaikan, TKDN tetap ada tapi cara mencapainya berbeda.
Tujuan penetapan TKDN adalah untuk efisiensi dan untuk menstimulus tumbuhnya industri penunjang migas dalam negeri. Dalam implementasinya seperti apa?
Dalam implementasinya memang sulit, industri pipa misalkan, sudah sekian puluh tahun industri pipa tersebut dilindungi oleh industri hulu migas, tetapi dalam praktiknya kalah terus dalam persaingan bisinis. Jadi saya kira, barangkali kita harus menempuh cara yang berbeda untuk memajukan industri penunjang tersebut. Kalau selama ini kita berikan preferensi dalam selisih harga, atau kemahalan harga yang boleh ditawarkan oleh perusahaan nasional atas produk dan jasa yang mereka tawarkan, ke depan mungkin tidak begitu.
Misalkan industri pipa kan asalnya dari industri baja, kenapa gak industri bajanya yang kita lindungi? Jadi hulunya dari industri hilir itu yang kita lindungi. Misalkan pemerintah menetapkan harga gas untuk industri, itu adalah bentuk lain dari subsidi kepada industri penunjang, yang disubsidi adalah hulunya. Industri gas dan baja tersebut diharapkan menghasilkan slope yang lebih murah, sehingga industri pipanya bisa hidup bersaing dengan industri pipa luar negeri.
Untuk produk-produk yang terkait dengan oil spill dan chemical spill, apakah sama?
Saya kira sama. Satu ketentuan mengatasi oil spill dan chemical spill itu domain-nya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang harus dipenuhi, cara apapun yang kita pilih, baik cost recovery maupun gross split. Ketentuan itu tetap harus dipenuhi, hanya berbeda cara pengadaan peralatannya saja. Yang dengan cost recovery, SKK Migas ikut menyetujui, tetapi dengan gross split mereka sendiri yang belanja peralatan untuk penanganan oil spill tersebut. Dan yang lain, masalah harga, kandungan lokal, buatan dalam negeri atau luar negeri, mereka harus berhitung terhadap persentasi insentif dari penggunaan produk dalam negeri dalam mengatasi oil spill.
Dalam oil spill itu ada produk dan ada jasa. Kalau untuk jasa?
Sama. Dalam hitungan TKDN tersebut ada barang ada jasa, kalau mencapai sekian persen dapat tambahan split. Di situ perusahaan KKKS harus berhitung, dan saya kira kita harus lihat, berapa persentase split atau persentase tambahan split yang diberikan dalam Permen ESDM No. 8/2017, sudah cukup menarik gak bagi KKKS untuk menggunakan produk dalam negeri? Jadi ini akan secara alami terseleksi produk-produk mana atau jasa mana yang akan mereka perjuangkan untuk tambahan split.
Dengan mencanangkan local content, produk atau jasa mana yang mungkin mereka akan lepas. Mungkin mereka tidak butuh tambahan split dari local content di sini karena sudah dapat margin harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan tambahan split yang saya peroleh dari pemerintah. Belum lagi masalah waktu, kalau tunggu sampai tambahan split kan dapatnya nanti, setelah produksi. Tapi kalau belanja lebih murah dengan selisih yang jauh, dapatnya sekarang. Jadi ada time your money yang ikut menjadi perhitungan di internal KKKS.