Ada beberapa faktor yang memungkinkan frekuensi kasus tumpahan minyak dan Bahan kimia Berbahaya Beracun (B3) di Indonesia cukup tinggi.
Pertama, wilayah geografis yang sangat luas, lebih dari 60% merupakan perairan. Kedua, bentuk geografis wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, sehingga lalu lintas antar pulau dan antar daerah di perairan Indonesia sangat ramai. Ketiga, letak geografis Indonesia yang berada di antara tiga wilayah pertumbuhan ekonomi dunia, Asia Timur, Australia, dan Timur Tengah – Eropa.
Beberapa kasus tumpahan minyak dalam skala besar, baik yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas perairan seperti tabrakan kapal dan kapal menabrak karang, atau karena blow out atau semburan minyak dari sumur atau pipa eksploitasi minyak.
Guna mendapatkan informasi dan gambaran yang lebih komprehensif, Yus Husni M. Thamrin dari PORTONEWS mewawancarai Ketua Harian Komunitas Migas Indonesia (KMI), Swastiarso Herry Putranto. Berikut petikannnya:
Berdasarkan catatan Komunitas Migas Indonesia, seberapa besar risiko tumpahan minyak dan bahan-bahan berbahaya beracun (B3) bisa terjadi di Perairan Indonesia? Adakah parameter atas besaran risiko tersebut? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan risiko pada tingkat yang disebutkan?
Tingkat risiko tumpahan minyak yang sewaktu-waktu bisa terjadi di Indonesia, menurut saya adalah pada tingkat medium atau sedang. Parameter besaran risiko tersebut bisa kita lihat pada angka-angka statistik kejadian tumpahan minyak atau pencemaran dalam kurun waktu tertentu.
Adapun faktor-faktor yang menentukan satu negara atau wilayah memiliki tingkat risiko pada tingkat tertentu adalah kegiatan industri yang mengelola migas, transportasi yang mengangkut minyak dan bahan kimia B3, peraturan perundangan pengelolaan lingkungan hidup, serta pengawasan yang dilakukan oleh otoritas di sektor eksplorasi, eksploitasi, dan transportasi migas.
Apakah risiko atau ancaman tumpahan minyak di Indonesia berpotensi untuk terjadinya tumpahan dalam skala besar atau Tier-3 (IMO)? Apakah sistem kontingensi, peralatan, sumber daya manusia (terlatih dalam penanggulangan tumpahan minyak) tersedia dan mumpuni jika hal itu terjadi di Indonesia?
Iya, Indonesia berpotensi untuk terjadinya tumpahan minyak berskala Tier-3, mengingat banyaknya kegiatan eksploitasi minyak di area perairan, serta intensitas lalu lintas transportasi migas dan bahan kimia B3 di wilayah perairan Indonesia yang cukup tinggi.
Lalu, apakah sistem kontingensi, peralatan, sumber daya manusia terlatih dalam penanggulangan tumpahan minyak tersedia di Indonesia? Ya, tersedia. Apakah semua itu mumpuni untuk melakukan penanggulangan tumpahan minyak Tier-3? Untuk mumpuni, perlu diuji secara berkala baik personel, peralatan maupun prosedurnya.
Dibandingkan dengan tingkat risiko tersebut, apakah kesiagaan dari pihak-pihak yang berkompeten dalam penanggulangan tumpahan minyak di Indonesia saat ini dikatakan memadai? Bisa dielaborasi lebih detail?
Untuk mengatakan memadai atau tidak, perlu ada penilaian dari pihak pemerintah yang berkompeten seperti SKK Migas, Ditjen Migas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pihak independen.
Apakah penyebaran peralatan dan sumber daya manusia terlatih dalam penanggulangan tumpahan minyak di Indonesia sudah sesuai dengan peta penyebaran risiko tumpahan minyak dan B3 yang ada? Jika tidak, apa yang harus dilakukan?
Seperti saya katakan pada poin sebelumnya, apabila dinilai masih belum memadai, maka perlu dilakukan peningkatan kompetensi terhadap personilnya, kelengkapan fasilitasnya, penyempurnaan prosedur dan regulasinya, serta penguatan pengawasannya. Mengenai penyebarannya personil dan peralatan, penempatannya pasti disesuaikan dengan peta penyebaran risiko tadi.
![](https://i0.wp.com/www.portonews.com/wp-content/uploads/2017/12/Herry-web-1.jpg?resize=402%2C785)
Mana yang lebih tinggi probabilitasnya terjadi di Indonesia, tumpahan minyak karena tumpah dari kecelakaan kapal atau blow out dari pengeboran di dasar laut? Adakah perbedaan sistem kontingensi dan peralatan dari dua kasus itu? Bisakah disebutkan contoh, dimana saja yang mungkin terjadinya tumpahan dan blow out? Apakah SOP dalam transportasi dan eksploitasi migas sudah memadai saat ini?
Kalau mengacu pada data statistik, probabilitasnya yang lebih tinggi adalah karena kecelakaan dari kapal. Tapi kalau melihat dampaknya, jelas tumpahan minyak akibat dari blow out atau kecelakaan kegiatan eksploitasi jauh lebih luas dan intensitas pencemarannya lebih tinggi, seperti yang terjadi di sumur minyak Macondo di Teluk Mexico tahun 2010.
Kemungkinan terjadinya blow out tentu di wilayah eksploitasi migas off shore. Perbedaan sistem kontingensi penanggulangan tumpahan minyak dengan dua penyebab yang berbeda, harus didasarkan atas kajian yang lebih mendalam.
Apakah SOP dalam transportasi dan eksploitasi migas sudah memadai saat ini? Kita bisa lihat dari frekuensi kasus tumpahan minyak dan bahan kimia B3 di Indonesia, serta apakah setiap kasus tumpahan minyak dan bahan kimia B3 di Indonesia direspon dengan aksi penanggulangan. Lalu, secepat apa aksi penanggulangan itu dilakukan.
Dalam perspektif pencegahan, apakah peraturan perundang-undangan terkait risiko tumpahan minyak dan B3 yang ada di Indonesia saat ini sudah memenuhi standar yang ditetapkan IMO? Bagaimana dengan kepatuhan pihak-pihak yang menjadi domain dari peraturan-peraturan tersebut?
Untuk bisa mengatakan peraturan perundang-undangan terkait risiko tumpahan minyak dan B3 yang ada di Indonesia saat ini sudah memenuhi standar yang ditetapkan IMO, perlu penilaian oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti SKK Migas, Ditjen Migas, KLHK, dan pihak independen.
Karena ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh IMO itu sifatnya voluntary, jika pemerintah kita meratifikasi ketentuan-ketentuan itu, baru kita terikat untuk mengimplementasikannya.
Pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak dan B3 pada dasarnya, perlu melibatkan masyarakat, khususnya yang berada di wilayah yang dalam jangkauan risiko. Berdasarkan catatan KMI, apakah masyarakat yang dimaksud sudah aware atas risiko itu? Edukasi apa saja yang perlu dan telah diberikan kepada mereka?
Berdasarkan pengamatan kami selama ini atas kasus-kasus tumpahan minyak di wilayah perairan Indonesia yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, mereka belum paham secara mendalam tentang penanggulangan tumpahan minyak.
Sehingga perlu edukasi dari pihak korporasi yang mengelola kegiatan migas serta transportasi pengangkutan migas, atau dari institusi pemerintah yang berkompeten dengan pelestarian lingkungan hidup perairan.
Edukasi itu paling tidak, bagaimana cara mengidentifikasi, apakah minyak atau bahan kimia yang tumpah itu berbahaya atau tidak bagi keselamatan dan kesehatan mereka, serta tindakan apa yang harus dilakukan.
Apakah masyarakat dimaksud juga telah aware bahwa jika terjadi tumpahan minyak di wilayah pemukimannya atau wilayah kegiatannya, secara hukum mereka berhak untuk menyampaikan klaim atau tuntutan kepada pihak spiller? Adakah lembaga bantuan hukum yang khusus memberikan bantuan hukum dan pendampingan bagi masyarakat korban tumpahan minyak dan B3?
Harus saya katakan bahwa sejauh ini masyarakat belum paham tindakan apa yang harus dilakukan bila terjadi tumpahan minyak di wilayahnya, baik dalam penanggulangan maupun secara klaim hukum.
Bantuan hukum yang bisa diberikan saat ini biasanya oleh WALHI, lembaga bantuan hukum, dan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup.