Ditanda-tanganinya Convention of London tahun 1814 mengharuskan Inggris meninggalkan wilayah Nusantara. Sejak tahun 1818 Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles memusatkan perhatiannya ke Selat Malaka. Ia tahu Selat Malaka akan penjadi pusat perdagangan di wilayah timur. Perkiraan Raffles tidak meleset. Kini Selat Malaka adalah salah satu perairan dengan lalu lintas pelayaran paling sibuk di dunia.
Tidak kurang dari 200 sampai 250 berbagai jenis kapal, yang sebagian di antaranya adalah tanker-tanker raksasa, melintasi selat yang rata-rata lebarnya hanya tiga mil laut. Bahkan, Selat Philips hanya memiliki lebar 800 meter. Selain sempit, kedalaman laut di Selat Malaka juga bervariasi, di mana bagian terdangkal hanya 25 meter. Karenanya, kapal-kapal dengan draught lebih dari 20,5 meter dan berbobot di atas 300.000 DWT tidak bisa melintasi Selat Malaka.
Kapal-kapal besar yang melalui Selat Malaka itu mengarungi rute pelayaran dari Asia Timur menuju Timur Tengah dan Eropa, dan sebaliknya. Atau dari arah timur menuju barat, dan sebaliknya.
Namun, lalu lintas pelayaran yang sudah demikian padat tersebut, juga dilalui oleh berbagai jenis kapal dari Indonesia di bagian selatan menuju Singapura dan Malaysia di utara, termasuk kapal penyeberangan penumpang. Selain itu, Selat Malaka juga masih menjadi area penangkapan ikan oleh kapal-kapal kecil para nelayan dari Kepulauan Riau dan Malaysia.
Akibatnya, Selat Malaka adalah perairan dengan angka kecelakaan laut tertinggi di dunia. Dalam periode 1970-2015 tidak kurang dari 200 kasus tabrakan kapal di Selat Malaka, yang beberapa di antaranya melibatkan kapal besar.
Setiap kecelakaan pasti diikuti dengan tumpahan minyak ke laut. Meskipun kapal yang mengalami kecelakaan bukan kapal tanker, tapi setiap kapal berukuran besar memuat bahan bakar minyak dalam jumlah besar. Jadi, tidak salah kalau Selat Malaka adalah perairan yang paling sering tercemar oleh tumpahan minyak.
Sebagai catatan, arus laut di Selat Malaka cukup deras, rata-rata sekitar 5 mil laut per jam (knot), yang arah arusnya tergantung waktu atau musim. Artinya, jika terjadi tumpahan minyak atau bahan kimia B3 di Selat Malaka, sangat mungkin wilayah perairan bagian tengah selat itu bisa dengan cepat kembali ‘bersih’ karena dengan cepat pula tumpahan minyak terbawa arus laut dan gelombang yang ditimbulkan oleh kapal-kapal yang lewat.
Akan tetapi, tumpahan minyak itu akan terperangkap di kedua sisi Selat Malaka, baik di pantai wilayah Indonesia, maupun wilayah Singapura dan Malaysia. Kedua sisi dari selat Malaka adalah area sensitif berupa hutan bakau dan pemukiman penduduk. Tidak heran kalau pemerintah Singapura memasang oil boom permanen yang cukup panjang untuk melindungi area wisata Pulau Sentosa.
Dalam makalah ilmiah mengenai Selat Malaka yang dipaparkan oleh pakar hukum laut internasional, Prof. Hasjim Djalal pada satu seminar di Sekretariat Negara RI tahun 2006, diterangkan bahwa persoalan Selat Malaka–Selat Singapura, pada mulanya timbul karena adanya perkembangan yang penting di bidang perkapalan dan perubahan-perubahan dalam strategi militer secara global dari negara-negara besar.
Sejak pecahnya Perang Arab-Israel tahun 1967, kapal-kapal tanker raksasa mulai dibangun. Banyak di antara kapal tanker itu yang membawa minyak dari Timur Tengah ke Jepang dan Timur Jauh. Dalam kaitan dengan itu, Selat Malaka- Selat Singapura adalah urat nadi perekonomian dunia, terutama bagi Jepang.
Daya tampung Selat Malaka-Singapura yang sempit, dangkal, berbelok-belok, dan ramai itu semakin lama semakin terbatas untuk dapat dilalui kapal-kapal tanker raksasa yang semakin lama semakin besar dan banyak.
Dalam kondisi demikian, kecelakan besar pun sering kali terjadi. Kecelakaan ini tidak saja membawa kerugian bagi pemiliknya, tetapi juga menimbulkan bencana pengotoran laut yang pada akhirnya mempengaruhi kelestarian lingkungan laut dan kehidupan rakyat negara-negara pantai.
Sejak 1971, kecelakan kapal tanker raksasa di Selat Malaka-Singapura sudah puluhan kali terjadi. Jadi, jumlah kecelakaan sebanyak itu sudah cukup untuk membuat setiap orang harus merasa prihatin dengan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang selalu harus dihadapi oleh negara-negara pantai.
Prof. Djalal memberikan catatan, tingginya frekuensi kecelakan karena kepadatan lalu lintas dan keadaan fisik Selat Malaka. Sebagian dari kapal-kapal yang melalui selat ini, di antaranya adalah kapal-kapal tanker raksasa yang berukuran 180.000 DWT ke atas.
Menyadari akan kondisi Selat Malaka yang memiliki potensi kecelakaan laut yang sangat tinggi, sejak tahun 1971 ketiga negara yang memiliki wilayah di Selat Malaka, yaitu Indonesia, Singapura, dan Malaysia sudah puluhan kali melakukan pertemuan. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan delegasi dari ketiga negara ini lebih banyak membahas aspek hukum, politik, dan otoritas di wilayah Selat Malaka.
Padahal, hal yang memicu dilaksanakannya pertemuan tiga negara itu adalah tingkat keselamatan pelayaran di Selat Malaka yang kian menurun, menyusul meningkatnya intensitas lalu lintas di sana yang semakin ramai.
Setelah persoalan hukum dan politik di Selat Malaka sudah bisa diselesaikan pada awal dekade 1980an, seyogyanya pertemuan-pertemuan berikutnya membahas persoalan-persoalan teknis bagaimana jika terjadi kecelakaan laut di sana.
Kerangka kerja sama seperti apa yang harus dibangun, kesiagaan seperti apa yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak, kualifikasi sumber daya manusia dan peralatan yang harus selalu siap digunakan jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan di Selat Malaka hingga mengakibatkan tumpahan minyak atau baham kimia B3, bagaimana prosedur sampai soal-soal keuangan untuk pembiayaannya. Faktanya, sampai saat ini semua itu tidak dilakukan.