Pertamina sebagai National Oil Company (NOC), hanya menguasai sekitar 30% pengelolaan hulu migas di Indonesia. Angka tersebut jauh dibawah prosentase penguasaan hulu migas oleh NOC negara-negara penghasil minyak lain, seperti Brasil Petrobras – Brasil menguasai 81%, Aljazair 78%, Norwegia 58%, dan Malaysia 47%.
Untuk meningkatkan penguasaan kegiatan hulu migas oleh Pertamina sebagai NOC Indonesia, muncul ide: bagaimana kalau ladang-ladang migas on shore yang pengelolaannya relatif mudah, jika habis masa kontraknya dengan perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), diserahkan ke Pertamina. Untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif, Yus Husni M. Thamrin dan Renol Rinaldi dari PORTONEWS mewawancarai pakar migas yang juga anggota Komisi VII DPR-RI, M. Kurtubi. Berikut petikannya:
Untuk ladang minyak onshore yang kontraknya akan habis dalam waktu dekat, misalnya Blok Rokan di Riau, apakah Chevron sebagai existing KKKS, punya opsi untuk melanjutkan kontraknya?
Bukan opsi, kalau kontrak sudah selesai ya sudah selesai. Kecuali dari pihak kontraktor (KKKS) berniat untuk melanjutkan.
Misalnya, untuk Blok Rokan, Riau yang masa kontraknya akan habis tahun 2021, untuk kontrak baru, apakah posisi tawar Chevron sebagai perusahaan existing contraktor dengan perusahaan migas lain, sama?
Sekarang di SKK Migas, pemegang kendalinya. Apakah akan diperpanjang atau tidak. Pemerintah bersama SKK Migas punya wewenang. Menurut pendapat saya, kalau sudah habis masa kontrak sebaiknya diambil oleh perusahaan negara, oleh Pertamina.
Terutama untuk sumur-sumur yang tidak memerlukan teknologi tinggi?
Di sana sumur-sumur relatif tua semua, tidak memakai teknologi tinggi, kecuali ada sumur-sumur yang menggunakan teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk menaikan produksi, itu memang treatment-nya sedikit berbeda.
Ada daftarnya, saya kurang hafal untuk tahun-tahun yang akan datang itu banyak sekali. Tapi menurut saya sebaiknya kembali ke Pertamina. Saya termasuk yang berpendapat bahwa pengelolaan migas ke depan tidak lagi oleh pemerintah dalam hal ini SKK Migas, tetapi tapi oleh National Oil Company (NOC), perusahaan negara. Mungkin disebut dalam undang-undang nanti Badan Usaha Khusus Migas, yang tidak lain adalah Pertamina.
Mengenai cost recovery, sampai tahun 2025 masih ada kontrak 85 ladang minyak. Artinya sampai tahun 2025 mungkin 2035, kewajiban pemerintah dalam APBN untuk membayar cost recovery masih ada?
Kalau kontraktor perusahaan-perusahaan minyak yang masih dalam periode kontrak kerja sama atau kontrak produk turunannnya, tetap cost recovery, harus dibayarkan pada mereka.
Sejauh ini, audit atas cost recovery dilakukan terhadap KKKS atau SKK Migas?
KKKS-nya. Ini salah satu kelemahan kita dengan sistem SKK Migas yang mengontrol adalah pertama terlalu lemah, quote unquote lemah kontrolnya. Karena SKK Migas ini bukan perusahaan minyak. Tidak bisa, tidak mempunyai tolok ukur cost untuk mengontrol perusahaan minyak itu.
Sebab SKK Migas tidak melakukan pengeboran, berapa biaya ngebor di cekungan ini, di tempat sana, dia gak tahu, sebab bukan pelaku usaha, sehingga dalam melakukan kontrol terhadap cost recovery ini tidak efektif.
Kedua, seperti yang tercermin, misalnya proyek EOR di Caltex, Sumatera Tengah yang menggunakan surfaktan itu belum menghasilkan tambahan produksi. Tetapi untuk biayanya, teman-teman SKK Migas juga setuju untuk dibebankan ke negara.
Padahal, mestinya baru boleh dibebankan ke negara apabila proyek EOR ini sudah memberikan tambahan produksi, meskipun bertahap. Ini belum ada tambahan sudah setuju dibebankan menjadi cost recovery. Ini kelemahan-kelemahan yang harus kita atasi lewat revisi undang-undang migas ke depan.
Sekarang, rata-rata biaya produksi minyak Indonesia berapa US$ per barel?
Sekarang ini saya pikir sekitar US$15 – US$20 per barel.
Bisakah cost recovery diasumsikan sebagai biaya produksi?
Ya, itu mencerminkan biaya produksi.
Tahun 2016 penerimaan migas hanya Rp 84,7 triliun, cost recovery-nya Rp 154,2 triliun. Artinya, cost recovery setara 2 kali nilai minyak yang didapat. Komentar anda?
Cost recovery adalah biaya yang mereka keluarkan dibayarkan pada tahun itu. Total cost recovery masih lebih rendah dibanding total revenue. Revenue itu volume produksi kali price, ditambah residu barang atau peralatan yang dibeli melalui cost recovery. Pekerjaannya mungkin sudah 5-6 tahun yang lalu, tetapi terakumulasi untuk tahun ini bayarnya sekian, total cost recovery selalu lebih rendah dibandingkan total revenue meskipun sekarang selisihnya makin tipis. Sehingga seolah-olah cost recovery ini menyedot hampir semua revenue. Tapi tetap revenue masih lebih besar.
Bagaimana penghitungan valuasi terhadap residu dari barang-barang atau alat-alat yang sudah dipakai perusahan-perusahaan KKKS?
Nah, ini salah satu kelemahan lain yang dibicarakan di rapat tadi. Saya termasuk yang sangat kecewa, dengan sistem yang sekarang ini, di mana alat-alat, barang-barang modal yang dibeli oleh semua kontraktor minyak di Indonesia, yang bekerja atas dasar kontrak production sharing 100% milik negara. Cuma karena yang mengelola lembaga pemerintah, SKK Migas, menjadi tidak efisien. Kalau yang mengelola perusahaan negara, alat-alat itu bisa digunakan oleh Pertamina atau kontraktor lain lewat manajemen logistik yang bagus.