Pemerintah dipastikan akan mengubah skema Production Sharing Contract dari cost recovery menjadi gross split. Selain akan meningkatkan efisiensi di sektor hulu migas, kebijakan ini juga akan mengurangi beban APBN di tahun-tahun mendatang.
Menyadari beban APBN yang makin berat, pemerintah memutuskan untuk menghapus salah satu pos pengeluaran yang nilainya sangat signifikan, yaitu cost recovery. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengemukakan, dalam waktu sesegera mungkin pemerintah akan mengubah skema bagi hasil migas dari Production Sharing Contract (PSC) cost recovery, menjadi PSC gross split.
“Ini arahan Presiden, agar industri hulu migas lebih efisien, tak ada lagi cost recovery. Perubahan skema PSC ini akan diatur melalui Peraturan Menteri ESDM yang segera diterbitkan,” kata Jonan.
Dalam implementasinya, gross split dibedakan dalam tiga kategori. Pertama, gross split dasar, yaitu bagi hasil yang ditetapkan saat penanda-tanganan PSC. Gross split variabel, pemberian insentif bagi perusahaan kontraktor dengan pertimbangan teknis di lapangan, misalnya terkait (tingkat kandungan dalam negeri) TKDN dalam pengadaan barang. Gross split progresif, pemberian insentif dengan pertimbangan tingkat produksi, atau harga minyak.
Sebenarnya, kritik atas penerapan PSC cost recovery tersebut sudah lama bermunculan. Artikulasinya akuntabilitas, apakah pembelian barang dan jasa yang dimasukkan ke dalam cost recovery itu benar-benar diperlukan? Kemudian, meskipun dalam PSC cost recovery itu dilakukan beberapa kali audit, rumor yang menyebutkan banyak oknum pejabat negara yang menjadi broker pengadaan barang pendukung eksplorasi migas tidak kurang banyak.
Sementara di sisi lain, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi pernah mengatakan, pemangkasan cost recovery bukanlah solusi utama untuk meningkatkan lifting minyak dan gas bumi.
“Terminologi cost recovery itu lebih pantas disebut investment recovery, maka memangkas cost recovery artinya sama saja dengan memangkas dana investasi,” ujar Amien.
Memang benar, memangkas cost recovery bukan solusi meningkatkan lifting migas, tapi dalam lima tahun terakhir, produksi migas yang dihasilkan oleh 100 perusahaan KKKS di sektor hulu relatif stagnan, bahkan cenderung terus menurun. Artinya, jika cost recovery itu diasumsikan sebagai investasi seperti yang dikatakan Amien Sunaryadi, maka itu investasi yang gagal.
Perubahan dari PSC cost recovery ke gross split, pada dasarnya bukan soal lifting minyak. Sejak tahun 2002, lifting minyak Indonesia terus menurun, sementara cost recovery cenderung meningkat. Bukan berarti pemerintah sudah patah arang dengan industri minyak, tapi dalam tahun-tahun mendatang, di mana polalititas ekonomi akan lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal, Amerika Serikat yang kemungkinan besar akan protektif dalam kebijakan perdagangan maupun finansial, dan Tiongkok sebagai pasar ekspor terbesar bagi produk-produk Indonesia yang belum pulih, maka mengurangi pos pengeluaran yang diasumsikan investasi namun return-nya makin kecil, adalah kebijakan yang masuk akal.
Baca juga: Investor Menolak Gross Split
Pemberlakuan gross split setelah Permen ESDM yang mengatur hal itu dikeluarkan tidak serta merta menghapus cost recovery. Karena skema gross split hanya berlaku untuk kontrak-kontrak PSC yang baru. Artinya, hingga 2025 cost recovery masih akan ada, dengan angka klaim yang makin kecil.
Dalam APBN, selain pos pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan, pembayaran cost recovery adalah pos pengeluaran yang nilainya cukup signifikan. Jika dirata-ratakan cost recovery yang harus dibayar oleh negara dalam enam tahun terakhir mencapai US$15.05 atau Rp 195,7 triliun per tahun, jika dihitung dengan kurs Rp 13.000 per US$.
Di sisi lain dalam rentang waktu yang sama produksi minyak yang tak kunjung meningkat, pos pengeluaran untuk cost recovery ini terasa makin besar. Karena barang yang dibeli pemerintah melalui cost recovery perusahaan-perusahaan KKKS, baru akan diterima oleh pemerintah dalam kondisi sudah menjadi barang bekas atau residu.
Dalam tekanan defisit anggaran, sepertinya Menteri Keuangan Sri Mulyani enggan meminta langsung kepada koleganya, Menteri ESDM untuk menekan angka cost recovery itu.
Persoalan beratnya beban pemerintah menanggung cost recovery, kembali aktual ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan bahwa pada defisit APBN 2016 terjadi peningkatan, yang sebelumnya ditetapkan 2,35% menjadi 2,5%, bahkan berpotensi melompat jadi 2,7% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), mendekati batas maksimal 3% seperti yang diamanatkan Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Berdasarkan hitung-hitungan Menkeu Sri Mulyani, pembengkakan defisit fiskal 2016 itu belum teratasi meski dilakukan pemangkasan anggaran belanja negara sebesar Rp 133,8 triliun, dari pos belanja kementerian dan lembaga Rp 65 triliun dan transfer ke daerah Rp 68,8 triliun. Sekadar catatan, salah satu beban berat dalam APBN-P 2016 adalah post cost recovery sebesar US$14,1 miliar, yang dengan kurs Rp 13.300/US$, sebesar Rp 187,53 triliun.
Tabel:
Tahun | Ekspor Migas (US$ Miliar) | Cost Recovery (US$ Miliar) | Defisit APBN | |
(% to PDB) | Rp (Triliun) | |||
2011 | 41.47 | 15.50 | 1,27 | 90,1 |
2012 | 36.97 | 15.16 | 1,80 | 153,3 |
2013 | 32.63 | 15.92 | 2,24 | 209,6 |
2014 | 30.33 | 16.30 | 2,26 | 227,4 |
2015 | 18.60 | 13.35 | 2,80 | 318,5 |
2016 | 13.10 | 14.10 | 2,35* | 296,7 |
2017 | 11.77 |
*Target
Diolah dari berbagai sumber
Selain itu, harga minyak dunia yang masih berpolatilitas di kisaran US$40 – US$50 per barel, menjadikan kontribusi sektor migas terhadap penerimaan APBN sulit diandalkan. Harga minyak yang rendah itu masih harus dikurangi biaya produksi US$20 per barel dan untuk gas sebesar US$9 per metrik ton.
Diterapkannya gross split juga akan mengubah peran dan fungsi SKK Migas, yang sebelumnya mengawasi komponen biaya produksi yang akan diklaim oleh perusahaan KKKS dalam cost recovery menjadi lebih fokus pada pengawasan produksi migas. Skema gross split juga akan ‘memaksa’ perusahaan-perusahaan KKKS untuk lebih meningkatkan tingkat produksi serta lebih efisien. Penerapan gross split juga tidak menghapus kewenangan SKK Migas dalam mengawasi TKDN pada barang dan jasa yang dimasukkan ke dalam cost recovery.
Mengenai TKDN, Wakil Menteri ESDM, Archandra Thahar berpendapat, kewajiban untuk memenuhi TKDN minimal akan dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan KKKS, karena mereka dituntut untuk meningkatkan efisiensi.
Agar pengadaan barang dan jasa bisa efisien, fair, dan menstimulus industri dalam negeri, sudah dibuat Peraturan Menteri ESDM Nomor 037 tahun 2006. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa untuk mengapresiasi industri penunjang migas dalam negeri Ditjen Migas Kementerian ESDM memiliki unit kerja, yaitu Buku APDN yang mengacu kepada UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, PP No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, Perpres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang-Jasa Pemerintah, dan PTK 007 yang disusun oleh BPMIGAS.
Buku APDN ini menggantikan Apresiasi Domestik Produk (ADP) ini dimaksudkan untuk mendata item-item barang yang benar-benar diperlukan oleh perusahaan KKKS. Apabila dari list barang yang dibutuhkan sudah ada yang diproduksi di dalam negeri, maka perusahaan KKKS itu harus membeli barang produk dalam negeri.
Akan tetapi masih banyak perusahaan KKKS melakukan pengadaan peralatan keselamatan migas yang tidak melalui APDN Ditjen Migas. Hanya beberapa perusahaan saja yang mematuhi ketentuan tersebut.
Sebelumnya, untuk menekan beban APBN dari pos cost recovery, Komisi VII DPR-RI mengusulkan penurunan gross rate yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery, dari US$20 juta menjadi US$5 juta.
Baca lainnya: Mereka Menerima Gross Split