Menurut ekonom INDEF Aviliani, sekitar 70% dari 50 juta orang yang bekerja di sektor informal, memiliki pendapatan bulanan di atas batas minimal pendapatan kena pajak, Rp4,5 juta. Selama ini mereka nyaris tidak tersentuh oleh petugas pajak. Padahal potensinya sangat besar.
Lebih jauh Aviliani mengusulkan dilaksanakannya tax amnesty jilid 2 yang dikhususkan untuk wajib pajak perorangan kelas menengah dan UMKM. Ia sangat yakin, saat ini masih banyak UMKM yang belum menjadi wajib pajak dan tidak membayar pajak.
Potensi yang demikian besar, jika dilakukan ektensifikasi bisa menghasilkan penerimaan pajak yang besar pula, juga dikemukakan Aviliani. Intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak, menurut Aviliani, bisa dilakukan melalui perbaikan sistem IT perpajakan. Saat ini, hal terpenting untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah mengintegrasikan nomor NPWP dan e-KTP.

“Itu akan berdampak signifikan dalam meningkatkan jumlah wajib pajak, dan penerimaan pajak. Jadi, target pertama yang harus dicapai adalah menyatukan NPWP dengan KTP dalam satu kartu. Tentu saja DJP harus kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri. Sebenarnya, pemikiran ini sudah disampaikan ke Pemerintah sejak 10 tahun lalu,” kata Aviliani.
Sambil menunggu pengintegrasian NPWP dengan e-KTP, kata Aviliani, pemerintah bisa menjaring orang-orang yang memiliki penghasilan lebih dari Rp 4,5 juta per bulan tapi tidak membayar pajak melalui sensus properti. Karena pembelian produk properti tercatat di notaris. Dari situ petugas pajak bisa mendatangi orang-orang yang seharusnya sudah menjadi wajib pajak dan membayar pajak.
Berbeda dengan tax amnesty jilid 1, lanjut Aviliani, pada tax amnesty jilid 2 siapapun yang berpendapatan pada range lebih dari Rp 4,5 juta per bulan hingga omset Rp 4,8 miliar per tahun diwajibkan ikut tax amnesty.
Selain itu, mereka tidak dikenakan tarif tebusan: free. Sebab tujuan dari tax amnesty jilid 2 yang ia usulkan, bukan meng-collect uang tebusan. Tapi mendorong mereka yang sudah memenuhi ketentuan untuk menjadi wajib pajak, memiliki NPWP dan membayar pajak.
“Jadi bukan voluntary seperti jilid 1. Kemudian, menurut Undang-undang Tax Amnesty (jilid 1) antara lain disebutkan, jika tidak melaporkan hartanya melalui SPT dan tidak membayar tebusan, maka akan kena denda hingga 200% atau 400%. Kalau itu dilakukan beneran ekonomi bisa mati atau mungkin rusuh. Kalau mereka harus bayar denda 200%, semua asetnya habis dijual pun gak bakal cukup untuk bayar denda,” Aviliani menjelaskan.
Menurut Aviliani, mereka yang bekerja di tambang-tanbang kecil, pemilik warung-warung tenda, dan para pedagang di pasar tradisional memiliki penghasilan yang lebih dari pendapatan minimum kena pajak.
Baca lainnya: Mengepung Wajib Pajak Nakal