Masa tax amnesty sudah selesai 31 Maret 2017 lalu yang diikuti oleh 801 ribu wajib pajak perorangan dan badan. Hasilnya, dana milik warga negara Indonesia sebesar Rp 4.491 triliun dideklarasikan, terdiri atas Rp 3.327 triliun di dalam negeri dan Rp 1.164 triliun (dengan kurs Rp 13.300/US$) berada di luar negeri. Dana sebesar Rp 146 triliun dana yang dideklarasikan di luar negeri, sudah direpatriasi.
Adapun uang tebusan yang terhimpun mencapai Rp 114 triliun. Dana yang dideklarasikan melalui tax amnesty yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia, mencapai 34,4% dari gross domestic product (GDP) Indonesia. Sebelumnya tax amnesty yang digelar Pemerintah Chili hanya mendeklarasikan dana 10% dari GDP-nya.
Uang tebusan sebesar Rp 114 triliun, menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati relatif kecil, karena rate tebusannya sebesar 2% tahap I, 3% tahap II, dan 5% pada tahap III, sangat rendah.
Karenanya, Sri Mulyani mengaku tidak puas dengan hasil tax amnesty tersebut. Pasalnya, di Indonesia ada 32,8 juta orang wajib pajak. Namun hanya 29,3 juta orang yang wajib SPT (surat pemberitahuan tahunan). Dari jumlah wajib SPT itu yang rutin melaporkan SPT-nya hanya 12,6 juta orang.
“Saya heran, ditantang dengan rate tebusan yang demikian rendah kok tidak tergerak untuk ikut tax amnesty?” kata Sri Mulyani.
Dari program tax amnesty itu, Menkeu mendapat gambaran bahwa masyarakat Indonesia yang memiliki harta sangat susah untuk bisa tertib administrasi. Hal itu menunjukkan bahwa negara ini tidak diurus secara serius, orang (kaya) bisa seenaknya sendiri menghindari pajak.
“Kalau memang negara diurus sekadarnya, jangan protes kalau republik ini menjadi republik sekadarnya. Dicibir bukan hanya oleh orang luar, tapi oleh rakyatnya sendiri. ‘Alah, dia dulu temen saya, jadinya sekadarnya.’ Semua main-main, yang untung hanya segelintir orang, yang rugi semua,” kata Menkeu geram.
Indikasi bahwa Indonesia belum diurus secara benar, saat ini ada empat orang kaya, yang nilai asetnya sama dengan nilai aset 100 juta rakyat. Selain itu, tahun 2016 ada 1.194 perusahaan yang tidak melaporkan SPT, tahun 2015 ada 1.454 perusahaan. Menurut Sri Mulyani, jika republik ini diurus dengan lebih baik, akan ditakuti oleh negara-negara lain, karena potensinya sangat besar.
Direktur Transformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Direktorat Jenderal Pajak, Iwan Djuniardi mengatakan, rendahnya tarif tebusan yang diterapkan pada tax amnesty, sebetulnya hanya sebagai stimulus dari sisi kebijakan. Diharapkan, kata Iwan, UKM yang biasanya dianggap underground economy, masuk ke dalam sistem perpajakan.
“Kalau karyawan sebetulnya sudah terang benderang. Itu stimulus saja, selama ini UKM atau sektor informal gak bayar pajak atau gak patuh. Nah, supaya mereka tertarik untuk masuk, dikasih insentif berupa tebusan yang rendah. Yang penting masuk dulu ke sistem. Setelah nanti terdaftar, hartanya terbaca di kita, nanti kita evaluasi,” kata Iwan.
Menyinggung perbandingan tarif tebusan antara WP perorangan yang lebih besar dibanding tarif tebusan untuk UMKM, Iwan mengatakan, kalau bicara keadilan, memang masih belum adil. Karena sistem belum bisa men-detect.
Pajak itu memang self assessment, lanjut dia, tetapi ada di Undang-undang, kalau ternyata WP tidak jujur, penghasilan sebenarnya lebih banyak, tidak perlu NPWP, karena wajib pajak atau bukan itu tidak ditandai dengan NPWP.
“Pada saat kita tahu dia tidak punya NPWP kita langsung kenakan pajak, bahkan lebih berat. Melaporkan dengan tidak benar atau tidak melaporkan dengan sengaja bukan hanya sanksi administrasi tapi juga sanksi pidana.”
Jadi, message-nya adalah, kalau dengan sukarela mendaftar untuk punya NPWP, kalau punya kesalahan sanksinya hanya satu. Tapi kalau yang bersangkutan punya penghasilan, kemudian dengan sengaja untuk tidak punya NPWP, itu sanksi pidana dan penaltinya besar.
Kalau melaporkan sendiri maksimal 48% dari nilai aset. Tapi kalau yang sengaja menghindari pajak lalu ketahuan, sanksinya bisa 400% dari nilai aset, ditambah kurungan badan tujuh tahun.
“Cuma kan kita gak bisa konsisten nih, kita kasih dulu ada tax amnesty. Sebab kalau kita hajar semua, berapa banyak UKM yang kena, sektor informal yang tutup, gaduh nanti ini negara. Makanya tax amnesty kita keluarkan.”
Metoda self assesment sudah lama diterapkan tapi masih banyak wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, tidak melaporkan SPT, dan tidak bayar pajak. Iwan menerangkan, misalnya UMKM punya uang, mereka punya rumah, nanti dari BPN datang ke kantor pajak, mereka belum punya NPWP, belum pernah lapor SPT.
Mereka akan ditanya, penghasilannya dari mana? Kalau mereka tidak bisa membuktikan mereka punya penghasilan, berarti dengan sengaja berbohong. Maka dendanya bisa sampai 400% dari aset.
Pemerintah sudah mengeluarkan Inpres, bagi masyarakat yang laporan pajaknya tidak benar. Misalkan dia punya penghasilan namun tidak punya NPWP, kelak tidak diberikan layanan publik. Untuk membuat paspor di imigrasi juga akan ditolak, karena status pajaknya merah.
Hal ini sudah dimulai. Di Pemkot Bogor, sebelum mengeluarkan izin usaha petugas Pemkot mengecek dulu ke sistem pajak. Jika diketahui tidak memiliki NPWP, izin usahanya tidak akan keluar.
Mengenai tax amnesty yang baru berakhir Maret lalu, pengamat ekonomi, Aviliani menilai, 801 ribu orang yang mengikuti program tax amnesty, sangat kecil dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang mencapai 32 juta orang.
Dalam catatan Aviliani, saat ini di Indonesia ada 50 juta orang kaya dan orang yang relatif kaya, sekitar 32 juta orang di antaranya tercatat sebagai wajib pajak, ada 13 juta orang yang membayar pajak (menurut Sri Mulyani 12,6 juta orang), dan 100 juta orang masuk dalam golongan kelas menengah. Sekitar 50 juta dari 100 juta orang yang masuk kelas menengah, bekerja di sektor informal.
Baca selanjutnya: Tax Amnesty Jilid 2