Ketahanan sektoral yang paling penting dari satu negara adalah ketahanan pangan. Satu negara boleh memiliki persenjataan canggih, tapi jika pasokan pangan untuk rakyatnya terganggu atau berhenti, maka dipastikan negara itu akan ambruk. Kontribusi terbesar bagi negara berupa ketersediaan pangan nasional yang mencukupi kebutuhan, disumbangkan oleh para petani.
Tapi data statistik Indonesia sebagai negara agraris menunjukkan, dari sekitar 30 juta penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, sebagian besar adalah kaum petani. Mereka adalah kelompok masyarakat lapisan terbawah dari potret ketimpangan di Indonesia.
Jauh sebelum memproduksi meriam, senapan otomatis, bom, peluru kendali dan pesawat tempur, Amerika Serikat telah lebih dulu membangun sistem ‘keamanan dan ketahanan pangan’ bagi rakyatnya. Bagi negara semaju Amerika Serikat, sistem ketahanan pangan tetap menjadi prioritas utama dan selalu dijaga dengan segala cara.
Jangan heran kalau Amerika Serikat tanpa malu-malu mengalokasikan dana subsidi untuk sektor pertaniannya dengan nilai yang juga ‘tidak malu-malu’, rata-rata sekitar US$150 miliar per tahun. Padahal, mereka adalah bandar kampanye penghapusan subsidi di negara-negara lain.
Negara maju di belahan dunia lain, juga mensubsidi sektor pertaniannya dengan dana yang cukup besar. Uni Eropa mengalokasikan 80 miliar Euro, Jepang US$30 miliar, dan China US$43 miliar. Dengan subsidi itu, harga kedelai yang ditanam di California bisa lebih murah dibanding kedelai yang dihasilkan dari Pasuruan, Jawa Timur.
Sedangkan Indonesia untuk tahun 2016 hanya Rp38,5 triliun atau kurang dari US$3 miliar. Subsidi itu diberikan untuk pengadaan benih Rp1 triliun dan pupuk Rp37,5 triliun. Celakanya, pupuk bersubsidi yang seharusnya dijual ke petani, lebih sering hilang dari pasar.
Meskipun semua orang tidak mungkin bisa bertahan hidup tanpa makan, namun sektor pertanian yang di negara-negara maju sangat dilindungi, di Indonesia seperti memasuki senjakala. Jumlah petani dan lahan pertaniannya dari tahun ke tahun kian berkurang. Mengapa bisa demikian? Karena di Indonesia sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan sangat tidak menjanjikan.
Baca juga: Ketimpangan Itu Seperti Rumput Kering
Bila digambarkan, sektor pertanian itu seperti empat persegi panjang yang dibelah garis diagonal dari sudut kiri atas hingga sudut kanan bawah. Wilayah bawah, (segitiga siku-siku) adalah area biaya dan risiko, makin ke kiri makin luas. Sedangkan bagian atas adalah wilayah keuntungan (margin), makin ke kanan makin besar. Bagian kiri empat persegi panjang itu adalah hulu, di mana pelakunya adalah petani. Bagian tengah pelakunya pemburu rente dan pedagang, dan para pemain bagian kanan adalah industri dan pedagang.
Secara sederhana, petani yang berada di bagian hulu, harus menghadapi risiko yang besar, mengeluarkan biaya besar, sedangkan keuntungan atau margin yang diperoleh sangat kecil. Itu pun dalam waktu yang cukup lama. Sementara pemain di sektor tengah dan hilir, risikonya nyaris tidak ada, dan margin lebih besar didapatnya hanya dalam hitungan hari atau bahkan jam. Ini tidak fair.
Data yang membuat kehidupan para petani lebih getir lagi adalah, luas rata-rata lahan garapan para petani di Indonesia hanya 0,5 hektare per keluarga. Angka itu sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Malaysia 4 hektare per keluarga, di Thailand 5 hektar, dan di Australia 100 hektar. Artinya, kalaupun harga gabah yang dihasilkan petani dinaikkan hingga 100% dari harga (kering panen) sekarang sebesar Rp 4.750 per kilogram, tidak akan mampu mengangkat taraf hidup para petani
Salah satu cara agar para petani di sektor hulu bisa meraup keuntungan lebih besar, ditetapkan luasan minimal lahan atau volume minimal produksinya per tahun hingga mencapai tingkat keekonomian.
Itu pun dipastikan akan terjadi kelebihan produksi. Dengan sendirinya, kelebihan produksi akan menekan harga hasil panen itu sendiri. Kecuali bisa diekspor, kelebihan produksi tersebut akan menghancurkan harga di pasar dalam negeri.
Lalu siapa yang mau menanggung kerugian itu kalau bukan pemerintah? Jadi, untuk bisa menciptakan ketahanan pangan yang kuat, ya harus swasembada pangan. Bukan sekadar memainkan kran impor, giliran siapa yang dikorbankan, petani atau konsumen. Artinya, keuangan negara harus benar-benar kuat. Pilihannya hanya satu, harus menjadi negara kuat.
Dalam jangka pendek persoalan itu bisa diatasi dengan instan melalui impor. Sebagai catatan, komoditas pertanian yang oleh negara-negara produsen diekspor dengan harga murah, adalah ‘limbah’ kelebihan produksi yang disengaja agar petani untung. Maka dengan impor, dalam waktu singkat selesailah persoalan. Kebutuhan pangan rakyat tertutupi, terjangkau, importir dapat untung, pemerintah dapat citra bagus. Semua happy. Tapi dalam jangka panjang, komoditas impor tersebut akan mematikan pertanian dan industri pertanian Indonesia.
Meningkatkan dan menjaga ketahanan pangan itu memang pekerjaan berat, tapi harus dikerjakan bagaimanapun beratnya. Persoalan beras bukan hanya tentang tanam hingga panen. Persoalannya banyak, sebanyak persoalan hidup keluarga para petani. Sementara selama berpuluh-puluh tahun kebijakan pemerintah di sektor pertanian hanya sebatas subsidi pupuk, benih, cairan anti hama, atau menaik-turunkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Upaya yang mungkin efektif dalam meningkatkan taraf hidup petani, bukan pada proses produksinya, tapi pada pasca panen. Caranya, bagaimana agar petani yang selama ini menjual gabah, menjadi menjual beras. Karena, dengan menjual beras, margin yang dinikmati jauh lebih besar.
Selama ini pemerintah memberi bantuan kepada petani berupa traktor, benih, atau pupuk. Itu bagus. Tapi nilai tambah yang didapat petani tidak signifikan. Ketimbang memberi bantuan satu traktor kepada sepuluh orang petani untuk dicicil selama tiga tahun, lebih baik membangun satu instalasi penggilingan padi kepada 50 orang petani dicicil selama lima tahun. Artinya, bagaimana memotong rantai distribusi, di mana para pedagang beras bisa membeli beras langsung dari petani.
Sikap Konsumen
Awal dekade 1990an Amerika Serikat gencar merayu hingga ‘memaksa’ pemerintah Jepang agar membuka pasar domestiknya bagi produk-produk pertanian Amerika, khususnya bahan pangan pokok. Agar Amerika tidak ‘ngambek’, Perdana Menteri Jepang waktu itu, Kiichi Miyazawa bersedia membuka pasar domestiknya. Tapi, pada saat yang sama Miyazawa juga berkampanye keliling Jepang agar warga Jepang tetap memilih produk-produk pertanian Jepang, meskipun harganya lebih mahal ketimbang produk impor.
Nah, tahun 1992, saat berkunjung ke Jepang, Presiden George H.W. Bush tiba-tiba jatuh pingsan ketika jumpa pers. Sebelumnya ia mendapat kabar bahwa meskipun produk pertanian Amerika sudah masuk ke pasar Jepang, tapi warga Jepang tidak mau membelinya. Ini hebat. Bush hebat, dia begitu bertanggung-jawab pada petani di negerinya. PM Miyazawa dan rakyat Jepang juga hebat, begitu mencintai negaranya dengan tetap membeli produk pertanian Jepang.
Kenapa Bush, Miyazawa dan rakyat Jepang harus sampai melakukan itu? Karena pertaruhannya negara! Ingat, karena tidak bisa memenuhi kebutuhan gandum untuk rakyatnya, terjadi revolusi Bolshevik 1917 yang menjatuhkan pemerintahan Tsar Russia, Nicholas Romanov. Jadi, mengurus ketahanan pangan harus serius. Negeri ini terlalu kaya untuk runtuh hanya karena ketahanan pangan nasional tidak terjaga dengan baik.
Belum lama ini ada kabar gembira dari World Trade Organization (WTO), di mana mulai tahun 2018 seluruh anggota WTO, termasuk Amerika Serikat, China, dan Australia yang selama ini membanjiri pasar domestik Indonesia dengan berbagai buah-buahan, harus menghapus semua subsidi yang disalurkan ke industri pertaniannya masing-masing. Ini akan membuka kesempatan bagi para petani untuk mengisi pasar produk agribisnis domestik yang selama ini diisi oleh produk impor.