Ya. Itulah stigma atas ‘membayar pajak’. Bahkan, gambaran runyam mengenai perpajakan di Indonesia bukan hanya ribet, membingungkan, dan tidak adil, tapi masih ada sederet persoalan lain: masih banyaknya sumber daya perpajakan yang kemampuannya belum memadai, jumlahnya kurang, wajib pajak banyak yang nakal, kadang wajib pajak juga nakal, dan masih banyak lagi.
Karenanya tidak heran kalau banyak orang berprofesi sebagai konsultan pajak, yang sebagian dari mereka adalah mantan petugas pajak, atau bahkan petugas pajak yang masih aktif. Padahal, seyogyanya orang yang akan membayar pajak dilayani dengan baik, dimudahkan.
Toh, yang butuh uang dari pajak itu pemerintah. Tidak heran juga kalau Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati ngomel-ngomel, “Negara ini seperti diurus sekadarnya!”
Seorang wajib pajak beberapa kali membuka website Direktorat Jenderal Pajak, ia hendak mengikuti program tax amnesty yang dilaksanakan pemerintah, tapi tidak bisa. Mungkin sedang overload. Di lain waktu dicoba lagi, tidak bisa juga.
Mendekati akhir waktu tax amnesty 31 Maret 2017, ia datang ke kantor pelayanan pajak Kota Bogor. Sesampainya di kantor pajak semangatnya menurun, melihat banyaknya orang di sana.
Ia bingung, ke meja mana harus menghampiri. Masing-masing meja ada antreannya, termasuk meja help desk. Ketika mendapat giliran, ia menceritakan keadaannya, mengemukakan maksudnya, dan bertanya apa yang harus dilakukan.
Akhirnya dia mendapat penjelasan, jika mau mengikuti tax amnesty, harus mengisi SPT tahun 2015 dan membayar uang tebusan 5% dari aset berikut rincian perhitungannya.
Kepada wajib pajak itu, petugas pajak mengatakan, tax amnesty itu programnya Pak Jokowi, sifatnya tidak wajib. Boleh ikut, tidak juga tidak apa-apa. Lalu petugas pajak mempersilakannya untuk mengambil formulir SPT di ruang bangunan belakang.
Di ruang belakang tidak kalah ramai. Ia semakin bingung ketika melihat 20 jenis formulir berbeda pada kotak-kotak kabinet yang terbuat dari kaca. Masing-masing formulir terdiri atas 15 halaman.
Setelah membacanya satu per satu, ia mengambil formulir untuk mengisi SPT 2015. Lalu masuk ruangan. Kembali ia bingung, harus antre di meja yang mana. Kembali ia memilih meja help desk.
Di meja ini ia mendapatkan rincian perhitungan berbeda dari pertugas pertama untuk dana tebusan yang harus dibayarkan. Petugas ini sama, mengatakan bahwa tax amnesty sifatnya sukarela. Tidak wajib. Ia menangkap pesan samar dari petugas, ‘Gak usah ikut tax amnesty, cuma nambah-nambahin kerja saya saja.’
Lalu ia membuka-buka formulir yang harus diisinya, makin bingung. Karena banyak data yang tidak bisa ia isikan saat itu. Karena memang tidak dimilikinya, berkasnya tidak terbawa, atau kalaupun ada sudah lupa disimpan di mana.
Formulir itu ditutup, dilipatnya, dimasukan ke kantong jaket. “Ribet, membingungkan, tidak adil.” gumamnya. Ia keluar menghirup udara segar, lalu menghampiri penjual es kelapa muda di depan Kantor Pelayanan Pajak.
Apa yang digumamkan wajib pajak tadi juga dikemukakan oleh pengamat ekonomi, Aviliani. Menurut dia, metoda pengisian formulir pajak dengan cara self asessment menjadikan membayar pajak kurang itu tidak sederhana, rumit. Karenanya, Avi mengusulkan, harus ada pendampingan bagi wajib pajak pemula.
Tenaga pendampingan pajak bisa diambil dari perguruan tinggi. Karena kalau mengambil dari kantor pajak, para calon wajib pajak itu sudah ketakutan duluan. Lagi pula, jumlah sumber daya manusia daya di kantor pajak sendiri tidak banyak.
Baca juga: Mengepung Wajib Pajak Nakal
“Seyogyanya mekanisme membayar pajak itu harus dibuat sesederhana mungkin, agar orang yang sudah mau menjadi wajib pajak tidak mengurungkan niatnya karena kebingungan,” kata Aviliani.
Mengenai kesan ‘tidak adil’, Direktur Transformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Direktorat Jenderal Pajak, Iwan Djuniardi mengakui, kalau bicara keadilan, memang masih belum adil. Karena sistem belum bisa men-detect seluruh data wajib pajak.
“Mau gak mau keadilan itu dikesampingkan dulu, yang penting voluntary masuk. Tapi jangan khawatir soon or later, siapapun yang punya aset atau penghasilan dalam jumlah tertentu tapi pura-pura tak tahu pajak, pasti akan kena. Misal, ada yang pura-pura jadi UKM lalu ketahuan bahwa dia masuk kategori bukan UKM, karena ada 63 jenis data yang masuk. Itu sanksinya lebih gede, 90% dari nilai aset.”
Baca selanjutnya: Tax Amnesty 2016-2017