Beberapa kalangan menyebutkan tidak adanya investor yang berminat memasukan penawaran setelah tender wilayah kerja migas 2017 dibuka awal Maret 2017 lalu, adalah bukti bahwa kontrak bagi hasil migas dengan skema gross split sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 8 Tahun 2017, tidak menarik karena tidak menguntungkan. Tesis tersebut kemudian dikaitkan dengan skema sebelumnya, yaitu cost recovery yang menjamin para investor migas tidak akan merugi.
Apabila ditarik ke belakang, tercatat pada Oktober tahun 2006 pemerintah melelang 21 wilayah kerja migas, namun tidak diminati para investor. Padahal pada tahun 2006 kontrak bagi hasil masih memakai skema cost recovery. Lalu, apakah tiadanya minat investor saat itu karena cadangan minyak di ke-21 wilayah kerja migas itu tidak besar, sehingga tidak mencapai tingkat keekonomisan? Tidak juga. Bahkan kini beberapa di antaranya sudah berproduksi.
Sesuai peraturan, wilayah kerja yang dilelang dan tidak diminati investor, akan diikutkan dalam lelang pada tahun berikutnya. Maka, tidak heran jika pada tahun 2016 lelang 17 wilayah kerja migas di Blok Natuna juga sepi peminat.
Begitu juga pada tahun-tahun berikutnya, beberapa kali pemerintah membuka lelang wilayah kerja migas, namun tidak direspon dengan antusias oleh para investor. Jadi, sepinya minat investor pada lelang wilayah kerja migas pada awal Maret 2017 lalu, tidak bisa dikaitkan dengan shifting skema bagi hasil migas dari cost recovery ke gross split.
Apapun penyebabnya, rendahnya minat investor untuk menggarap wilayah kerja migas yang ditawarkan harus diatasi. Karena, jika pemerintah hanya mengandalkan sumur-sumur minyak yang sekarang berproduksi, maka cadangan produksi minyak Indonesia akan menjadi nol dalam waktu 12 sampai 17 tahun mendatang. Mau tidak mau ladang-ladang minyak baru harus dieksploitasi untuk mempertahankan atau kalau bisa meningkatkan volume produksi.
Pemerintah melakukan evaluasi atas Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, kemudian menampung berbagai masukan dari kalangan investor migas, parlemen, pengamat, lembaga riset migas, Indonesia Petroleum Association (IPA), dan Bank Dunia.
Selain menerima masukan dari para pemangku epentingan, seperti dikatakan Dirjen Migas, Ego Syahrial, pemerintah melakukan evaluasi 12 lapangan migas yang sudah berproduksi. Setelah melalui berbagai kajian, Pemerintah memutuskan untuk merevisi Permen ESDM No. 08 Tahun 2017.
Bagian-bagian dari Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 yang direvisi meliputi poin-poin yang menyangkut bagi hasil, variabel-variabel bonus, komponen progresif, pasal dan ayat yang menyangkut wilayah kerja migas yang tidak mencapai atau melebihi tingkat keekonomisan, dan lain-lain. Pada intinya, kebijakan kontrak bagi hasil dengan skema gross split harus benar-benar menguntungkan kedua pihak, negara dan KKKS.
Untuk mengejar deadline tanggal 18 September 2017, pemerintah bergerak cepat melakukan revisi. Hasilnya, tanggal 29 Agustus 2017 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menerbitkan Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Seperti dipublikasikan pada website Kementerian ESDM, ditegaskan bahwa untuk meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha hulu migas perlu mengatur kembali ketentuan-ketentuan pokok yang diberlakukan dalam kontrak bagi hasil gross split sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split.
Pasal 1 Peraturan Menteri ini menyebutkan beberapa ketentuan yang terdapat di Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang diubah menjadi: 1. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) pasal 6 diubah dan di antara ayat 4 dan ayat 5 disisipkan 1 ayat, yakni ayat (4a) sehingga pasal 6 mengalami perubahan.
Pasal 6 menjadi berbunyi: 1. Pada saat persetujuan pengembangan lapangan, besaran bagi hasil awal (base split) yang disesuaikan dengan komponen variabel dan komponen progresif.
- Komponen variabel yang dimaksud meliputi: a. Status wilayah kerja; b. Lokasi lapangan; c. Kedalaman reservoir; d. Ketersediaan infrastruktur; e. Jenis reservoir; f. Kandungan karbon-dioksida (CO2); g. Kandungan hydrogen-sulfida (H2S); h. Berat jenis (Spesific Grafvity) minyak bumi; i. Tingkat komponen dalam negeri pada masa pengembangan lapangan; j. Tahapan produksi
- Komponen tersebut mengacu pada lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Permen ini. 4. Komponen progresif terdiri atas: a. Harga minyak bumi; b. Harga gas bumi; c. Jumlah kumlatif produksi migas.
Pasal 6 ayat 4a berbunyi, terhadap jumlah kumulatif produksi migas, Menteri ESDM dapat menetapkan bonus produksi sebesar 0 (nol). 5. Interval komponen progresif mengacu pada lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Selanjutnya ketentuan di dalam Pasal 7 diubah menjadi:
1. Untuk hal perhitungan komersialisasi lapangan atau beberapa lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu, Menteri ESDM dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil kepada kontraktor.
2. Dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan atau beberapa lapangan melebihi keekonomian tertentu, Menteri ESDM dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil untuk negara.
3. Penetapan tambahan persentase bagi hasil dapat diberikan untuk persetujuan penngembangan lapangan yang pertama (Plan of Development 1) dan/atau pengembangan lapangan (Plan of Development) selanjutnya.
4. Persetujuan pengembangan lapangan yang pertama (Plan of Development 1), penetapan tambahan persentase bagi hasil diberikan dalam persetujuan atas rencana pengembangan lapangan yang pertama (Plan of Development 1) dengan mempertimbangkan hasil evaluasi SKK Migas.
5. Untuk persetujuan pengembangan lapangan (Plan of Development) selanjutnya, penetapan tambahan persentase bagi hasil diberikan sebelum disetujuinya rencana pengembangan lapangan (Plan of Development) selanjutnya.
Di dalam ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi:
1. Penyesuaian bagi hasil yang diakibatkan komponen progresif harga minyak bumi dan harga gas bumi dilaksanakan setiap bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh SKK Migas.
2. Evaluasinya untuk minyak bumi dilakukan berdasarkan perhitungan harga minyak mentah Indonesia bulanan.
3. Perhitungan harga minyak mentah Indonesia dihitung berdasarkan harga rata-rata minyak mentah Indoensia dihitung berdasarkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dari seluruh lapangan dalam rencana pengembangan lapangan (Plan of Development) yang telah diuji.
4. Evaluasinya untuk migas dilakukan berdasarkan realisasi perhitungan harga rata-rata tertimbangan gas bumi.
Pasal 14 juga mengalami perubahan menjadi berbunyi,”Biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor menjadi unsur pengurangan penghasilan bagian kontraktor dalam perhitungan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan pada kegiatan usaha hulu migas”.
Di antara pasal 25 dan pasal 26 disisipkan pasal 25A, yang sehingga berbunyi: a. Terhadap penunjukan PT Pertamina (Persero) atau afiliasinya sebagai pengelola wilayah kerja yang belum ditetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok kontrak kerjasamanya, bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok kontrak kerja sama yang akan diberlakukan wajib mengikuti ketentuan dalam Permen ini. b. Bentuk dan ketentuan ketentuan-ketentuan pokok kontrak kerja sama yang telah ditetapkan dan digunakan dalam proses penawaran wilayah kerja yang masih berlangsung dan belum ditandatangani, KKKS wajib menyesuakian dengan ketentuan dari Permen ini.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, 29 Agustus 2017. Menteri ESDM mengatakan, pengundangan Peraturan Menteri ini dimasukkan ke dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 116.
Sebulan setelah Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 diluncurkan, tercatat 10 perusahaan KKKS mengambil 17 dokumen penawaran untuk menggarap wilayah kerja migas baru. Hal ini membuktikan bahwa skema bagi hasil gross split bisa diimplementasikan dan mampu menarik investor.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Ego Syahrial, mengatakan, jumlah calon investor yang mengambil tawaran pemerintah masih terbuka kemungkinan untuk bertambah, mengingat terhitung awal September 2017 masih ada waktu dua minggu lagi sebelum penutupan tanggal 18 September 2017.
“Sepuluh perusahaan KKKS yang mengambil penawaran beberapa di antaranya adalah perusahaan migas besar, tentunnya kita berharap lebih banyak lagi dokumen yang diakses,” kata Ego.
Jika minat investor untuk mengambil penawaran lapangan kerja migas tetap tinggi dalam beberapa tahun ke depan, maka tujuan pemerintah bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan lifting minyak bisa terealisasi. Di sisi lain, sektor migas tidak lagi membebani APBN dengan kewajiban pembayaran biaya investasi atau cost recovery.
*Ke-21 wilayah kerja migas yang ditawarkan saat itu meliputi, WK Duyung di lepas pantai Natuna, WK Pari di lepas pantai Natuna, WK Tonga di daratan Sumatera Utara, WK Lemang di daratan Sumatera Selatan, WK Batu Gajah di daratan Sumatera Selatan, WK Batanghari di daratan Jambi, WK Karangagung di daratan Sumatera Selatan, WK Sekayu di daratan Sumatera Selatan.
WK Alas Jati di daratan Jawa Timur, WK Gunting di daratan dan lepas pantai Jawa Timur, WK Situbondo di daratan dan lepas pantai Jawa Timur, WK North Kangean di lepas pantai Jawa Timur, WK Sibaru di di lepas pantai Jawa Timur.
WK West Sangatta di daratan Kalimantan Timur, WK Kutai di daratan dan lepas pantai Kalimantan Timur, WK Mahakam Hilir di daratan Kalimantan Timur, WK Wain di daratan Kalimantan Timur, WK Kuma di lepas pantai Sulawesi Barat, WK Kudong di daratan Sulawesi Barat, WK Karana di Selat Makasar, serta WK Buton di daratan dan lepas pantai Sulawesi Tenggara.