Tidak pernah terjadi seorang presiden terpilih di satu negara yang direspon negatif juga penuh keheranan oleh sebagian besar masyarakat dunia, seperti Presiden Amerika Serikat ke 45 Donald Trump.
Bukan karena publik dunia berharap akan muncul presiden perempuan pertama Amerika Serikat yang sekaligus mantan first lady Amerika, tapi perilaku dan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan taipan properti Amerika itu selama masa kampanye, sungguh menakutkan.
Lebih buruk lagi, membanjirnya informasi mengenai sentimen personal Trump, khususnya terhadap perempuan dan kaum pendatang.
Terlepas dari rumor bahwa kemenangan Trump pada Pilpres Amerika 2016 lalu dibantu oleh para hacker Rusia yang mengintervensi sistem komputer penghitungan suara, hingga Presiden Barack Obama mengusir tiga diplomat Rusia, nampaknya warga negara Amerika tidak peduli dengan semua itu.
Mereka berharap presiden baru bisa menyediakan lapangan kerja baru, dan pada 9 November 2016 Trump terpilih menjadi Presiden Amerika, sontak saja hal ini membuat warga dunia kecewa.
Di sisi lain, Trump adalah seorang ultranasionalis tulen. Ia berpersepsi bahwa selama beberapa puluh tahun terakhir Amerika tampak lemah. Ratusan ribu lapangan kerja di Amerika diambil-alih oleh para pendatang, pasar Amerika disesaki oleh produk-produk dari luar negeri, neraca perdagangan yang terus-menerus defisit, sementara tingkat pengangguran tidak pernah kurang dari 4% dari jumlah penduduk.
Bahkan tahun 2010, tingkat pengangguran di Amerika mencapai 10%. Kini waktunya Amerika kembali bangkit. Karenanya tak pernah bosan ia meneriakkan ‘America Great Again!’ atau ‘America First’
Tidak butuh waktu lama bagi Trump untuk mengambil keputusan kontroversial. Tanggal 24 Januari 2017, Trump menandatangani executive order yang berisi lima kebijakan yang ia kemukakan pada masa kampanye, yaitu Amerika Serikat keluar dari Trans Pacific Partnership (TPP), menghapus program jaminan kesehatan ObamaCare, pembangunan tembok sepanjang 3.000 kilometer sepanjang perbatasan dengan Meksiko, pelarangan masuknya imigran dengan dalih terorisme dan pembangunan pipa Keystone XL dari Kanada ke Teluk Meksiko.
Satu dari lima poin executive order tersebut yang menyangkut perdagangan internasional adalah keluarnya Amerika dari TPP. Di Indonesia, kalangan dunia usaha dan akademisi sepakat memandang hal itu sebagai sesuatu yang positif bagi Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman mengatakan, karena Indonesia bukan anggota TPP, maka keluarnya Amerika dari TPP menguntungkan Indonesia. Karenanya, Indonesia menjadi setara dengan negara anggota TPP untuk masuk ke pasar Amerika. “Karena anggota TPP tidak lagi mendapatkan perlakuan khusus untuk mengekspor ke Amerika.”
Pendapat serupa dikemukakan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia, Benny Soetrisno. Menurut dia, keputusan Amerika keluar dari TPP adalah kesempatan bagi Indonesia untuk mengekspor produk-produk manufaktur ke Amerika seperti sepatu, electronic home appliances, garment, sepeda, ban, kaca, keramik , CPO , kertas, karet, produk olahan hasil laut dan pertanian.

“Sedangkan efeknya terhadap impor dari Amerika nyaris tidak ada, karena neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika, setiap tahun Indonesia selalu pada posisi surplus,” kata Benny.
Menyinggung TPP, staf pengajar di sekolah bisnis ITB, Bandung, Martin Panggabean mengatakan, sejak awal ia mengingatkan pemerintah Indonesia untuk tidak masuk ke dalam TPP.
Kalau Indonesia masuk ke TPP akan dipaksa untuk membuka pasar selebar-lebarnya. Selain itu, TPP itu bukan hanya soal perdagangan, tapi juga mengikat secara hukum. Artinya, kalau terjadi sesuatu, maka penyelesaian hukumnya tidak menggunakan sistem hukum Indonesia.
“Kita sudah pernah mengkaji bahwa kalau ada dispute bisnis, maka settlement hukumnya di luar negeri. TPP bukan masalah perdagangan doang, itu jelas rawan. Untung TPP sudah bubar,” jelas Martin.
Sementara Menteri Perdagangan RI, Enggartiasto Lukita berpendapat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kebijakan Trump. Perdagangan Indonesia tetap lancar. Meski begitu, pemerintah Indonesia tetap mewaspadai kebijakan-kebijakan yang akan di keluarkan oleh Trump.
Enggar mengatakan, dua langkah untuk mengamankan kinerja perdagangan Indonesia, pertama, melakukan diversifikasi produk ekspor, di antaranya furniture, kakao, dan kopi di luar produk unggulan.
Kedua, pemerintah akan mencari pasar alternatif selain tetap mempertahankan pasar tradisional, Amerika, China, dan Jepang. “Afrika, India, Pakistan, dan Iran adalah pasar potensial untuk produk-produk Indonesia,” kata Enggar.
Benny Soetrisno menambahkan, langkah yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah meningkatkan hubungan dagang bilateral, sedangkan yang sudah dan sedang dilakukan oleh kalangan industri adalah meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan kualitas dan harga.
Dampak kebijakan Presiden Trump paling cepat akan terasa mulai semester dua tahun 2017 atau akhir tahun 2017.
Ancaman dan Peluang
Apabila ancaman Trump menerapkan bea masuk untuk produk-produk China sebesar 35% jadi dilaksanakan, dipastikan akan memperburuk situasi ekonomi dunia. Karena hal itu akan memicu China untuk melakukan tindakan yang sama. Dampaknya akan sangat luas, terhadap negara-negara ketiga, termasuk Indonesia.
“Karena kalau secara langsung produk-produk China susah untuk masuk ke Amerika, maka produk Indonesia juga akan sulit bisa masuk ke China. Itu contoh yang paling gampang,” papar Martin.

Kedua, yang harus diperhatikan adalah jika Amerika juga menerapkan kebijakan serupa terhadap negara-negara lain. Menurut Martin, perlu tidaknya pemerintah Amerika menerapkan kebijakan itu, tergantung seberapa besar defisit perdagangan Amerika dengan negara tersebut.
Namun demikian, Benny mengingatkan, secara khusus keputusan Trump terkait TPP tidak menyinggung secara spesifik negara-negara mitra dagang Amerika.
Artinya, keuntungan yang bisa diraih Indonesia dari bubarnya TPP, hanyalah a blessing in disguise, kebetulan semata. Akan menguntungkan Indonesia apabila Indoensia bisa memperbaiki perjanjian dagang secara bilateral.
“Menurut saya, Presiden Trump akan mengambil langkah dengan Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, dengan permintaan kepada Indonesia untuk mengimpor produk dan jasa dari Amerika. Hal ini akan dilakukan dan dituangkan dalam perjanjian dagang secara bilateral,” kata Benny.
Kebijakan Presiden Trump yang dikhawatirkan banyak pihak bukan hanya dalam perdagangan, tapi juga di sektor keuangan. Serta risiko politik dan keamanan yang timbul dari kebijakan Trump yang akhirnya bisa mengganggu ke ekonomi juga.
Di sektor moneter, di dalam negeri Amerika saat ini, sebenarnya Trump dalam posisi terjepit. Jauh-jauh hari, dalam beberapa pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Ketua The Fed, Janet Yellen berkeinginan untuk menaikan tingkat bunga, setidaknya tidak kali selama 2017.
Itu jelas akan mematikan berbagai proyek yang dicanangkan untuk menstimulus pertumbuhan sekaligus menyerap tenaga kerja. Selain itu, kalau tingkat bunga The Fed tetap dinaikkan, hal itu akan membuat marah orang-orang Wall Street.
“Dalam situasi seperti sekarang, Trump gak bisa minta The Fed nurunin tingkat suku bunga. Paling mungkin memaksa The Fed untuk tidak menaikkan suku bunga,” kata Martin.
Di sisi fiskal tak kalah peliknya. Trump sangat bernafsu memotong pajak, tapi jika itu dilakukan maka dipastikan defisit anggaran akan semakin besar. Tapi, memotong pajak dengan konsekuensi defisit anggaran makin besar, atau minta The Fed menurunkan tingkat bunga, atau tidak menurunkan bunga tetap berdampak terhadap kurs US$, karena US$ sebagai global currency. “Apalagi Eropa juga sedang bermasalah.”
Baca juga: Donald Trump, Anak Kecil di Toko Mainan