Sebagian masyarakat Indonesia cenderung menilai utang luar negeri dari satu sisi, sebagai beban anggaran. Bahkan lebih jauh lagi, utang luar negeri menjadi bagian yang buruk dari wajah politik satu pemerintahan.
Padahal, dalam kosmologi ekonomi makro, utang luar negeri adalah salah satu sumber penerimaan alternatif bagi negara. Jika pemerintah mampu mengelolanya, maka utang luar negeri menjadi simbol kepercayaan dunia terhadap satu negara. Utang luar negeri adalah lambang kredibilitas satu pemerintahan.
Utang luar negeri selalu menjadi topik menarik untuk diperbincangkan, terutama dalam menilai kinerja satu pemerintahan. Topik ini juga sering menjadi komoditas politik dalam berbagai peristiwa besar politik seperti pemilihan umum, pemilihan presiden, bahkan saat pemilihan kepala daerah.
Di media sosial yang bersifat interaktif, utang luar negeri menjadi bahan perdebatan di antara para pendukung kelompok atau tokoh politik yang berbeda.
Namun, sering kali perdebatan itu tidak didasari oleh pemahaman mendalam atas utang luar negeri itu sendiri sebagai topik utama. Sebagian dari masyarakat kita memahami utang luar negeri seperti halnya utang pribadi seseorang atau badan hukum – perusahaan, di mana semakin besar nilai utangnya semakin tidak kredibel orang atau perusahaan tersebut dalam pandangannya. Bagian yang menjadi fokus dari utang luar negeri dalam perdebatan-perdebatan semacam itu adalah jumlah utangnya.
Diskursus menjadi tidak edukatif ketika disparitas akurasi pengetahuan dan pemahaman tentang utang luar negeri yang sangat lebar. Indikasinya, tidak jarang satu penjelasan mengenai utang luar negeri diasumsikan sebagai utang pribadi setiap warga negara, total utang luar negeri dibagi jumlah penduduk Indonesia.
Padahal, tidak pernah terjadi dalam sejarah dunia, satu negara membebankan utang luar negeri negara kepada tiap orang warga negaranya. Tapi, stigma dari persepsi sebagian anggota masyarakat ialah semakin besar utang luar negeri yang ditarik oleh satu pemerintahan, semakin buruk citra pemerintahan itu.
Utang luar negeri terbagi menjadi dua sektor, yaitu utang luar negeri sektor publik (pemerintah) dan utang luar negeri sektor swasta. Utang luar negeri sektor publik yaitu total pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Utang luar negeri sumbernya adalah pinjaman bilateral, pinjaman multilateral, dan pinjaman ke lembaga keuangan dunia yang anggotanya adalah negara seperti Bank Dunia, Bang Pembangunan Asia, Bank Pembangunan Islam, Dana Moneter Internasional (IMF) dan lain-lain. Utang luar negeri juga bisa bersumber dari penerbitan obligasi pemerintah yang dilepas ke pasar internasional.
Sementara utang luar negeri swasta dilakukan oleh perusahaan swasta, termasuk perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), atas sepengetahuan dan izin dari otoritas kebijakan fiskal (Kementerian Keuangan) dan kebijakan moneter (Bank Indonesia). Per Januari 2017, Bank Indonesia mempublikasikan bahwa total utang luar negeri Indonesia mencapai US$320,3 miliar, di mana US$161,2 miliar adalah utang luar negeri sektor publik.
Utang Luar Negeri Sektor Publik
Selama dua setengah tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo utang luar negeri sektor publik meningkat dari US$132 miliar menjadi US$161 miliar. Ada penambahan utang baru sebesar US$29 miliar.
Belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, meskipun nominal utang luar negeri pemerintah meningkat, pemerintah Indonesia saat ini memiliki kemampuan yang lebih baik dalam membayar utang-utang luar negeri dibanding pemerintahan sebelumnya. Meningkatnya kemampuan itu tercermin dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif lebih rendah.
Menteri Sri Mulyani menerangkan, 10 tahun lalu utang luar negeri Indonesia US$132 miliar, akan tetapi PDB yang dibukukan hanya US$364 miliar, sehingga rasio utang terhadap PDB adalah 36%. Tahun ini, utang luar negeri naik menjadi US$320,3 miliar, tetapi PDB naik dua kali lipat, menjadi sebesar US$ 861 miliar, sehingga rasionya turun menjadi 34%.
“Dengan pemahaman ini, utang luar negeri Indonesia sebetulnya menjadi lebih kecil dari sebelumnya, meskipun nominalnya lebih besar,” kata Sri Mulyani.
Perkembangan Utang Luar Negeri dan PDB Berdasarkan Pemerintahan
Mengenai hal itu, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Mas Achmad Daniri berpendapat, untuk menarik korelasi antara utang luar negeri dengan tingkat kinerja satu pemerintahan, ada tiga parameter yang harus dilihat, pertama, ke sektor mana saja utang luar negeri itu dialokasikan.
Tentu hanya akan menjadi beban anggaran (APBN) jika dana pinjaman luar negeri itu disalurkan untuk pos-pos konsumtif, seperti subsidi, bantuan langsung tunai, dan lain-lain. Tapi jika dana pinjaman luar negeri itu dialokasikan untuk sektor-sektor produktif, seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan instalasi pengolahan mineral, pembangunan kilang minyak, akan menghasilkan nilai tambah dan share value bagi negara. Nilai tambah dan share value itu akan diperoleh dari peningkatan pajak dan ekspor.
“Karena pada gilirannya akan meningkatkan aktifitas ekonomi publik. Misalnya pembangunan infrastruktur akan membuka atau memperbesar akses bagi masyarakat untuk mengkapitalisasi potensi-potensi ekonomi yang ada. Kan nantinya, uang yang dihasilkan akan lebih besar dari nilai pinjaman luar negeri itu sendiri,” kata Daniri.
Kedua, harus dilihat bagaimana pengelolaan proyek-proyek yang didanai oleh pinjaman luar negeri. Makin baik pengelolaannya makin efisien dan efektif dana pinjaman itu digunakan. Di sini, pengawasan terhadap pelaksanaan proyek-proyek itu harus benar-benar ketat, serta penegakkan hukum bila terjadi penyimpangan.
“Karenanya kami di Komite Nasional Kebijakan Governance terus mendorong pemerintah agar lebih baik dalam pengelolaan keuangan negara, lebih transparan, agar nilai tambah yang dihasilkan dari proyek-proyek itu menjadi optimal. Dan secara hukum bisa dipertanggung-jawabkan,” ujarnya.
Ketiga, bagaimana upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan membayar utang-utang luar negeri. Kemampuan membayar ini berkaitan dengan dua poin pertama. Makin tinggi kemampuan satu pemerintahan dalam membayar utang luar negeri, makin kredibel pemerintahan itu di mata internasional, termasuk di mata lembaga-lembaga keuangan internasional dan para investor.
“Untuk bisa menghasilkan nilai tambah dan share value yang lebih tinggi dari proyek-proyek yang didanai utang luar negeri, ketiga parameter itu harus berada di atas framework good governance,” kata Daniri.
Lalu, apakah pengelolaan utang luar negeri oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah baik? Dani mengatakan, untuk menilai itu harus duduk serius. Tapi, lanjut Daniri, dilihat dari pengalokasian pinjaman-pinjaman luar negeri yang banyak dialokasikan untuk mendanai berbagai proyek infrastruktur, itu sudah tepat.
Artinya, makin tinggi kemampuan membayar utang luar negeri, bukan makin cepat utang-utang itu terlunasi. Tapi lebih meningkatkan kepercayaan para kreditor untuk memberikan pinjaman baru. Jadi, yang terjadi pada umumnya, makin tinggi kemampuan satu pemerintahan dalam membayar utang luar negeri, makin banyak kreditur yang menawaran pinjaman, dan meningkat pula nominal utang luar negeri negara itu.
“Tidak pernah terjadi kekhawatiran, apakah kita bisa bayar atau tidak? Karena kalau masyarakatnya makin makmur, ekonominya makin besar, kemampuan membayar utangnya menjadi lebih bagus,” kata Sri Mulyani.
Tapi yang harus dilakukan adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi, kalau bisa mencapai 6%, dan mengendalikan tingkat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap di bawah 3% seperti diamanatkan Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Data yang dirilis oleh situs howmuch.net, sepuluh negara dengan ratio utang luar negeri terhadap PDB lebih dari 100%, bahkan beberapa di antaranya sampai ratusan persen adalah negara-negara maju, seperti Jepang, Irlandia, Singapura, Belgia, Amerika Serikat, Kanada, Italia, Eslandia, Austria, dan Inggris. Jika dirata-ratakan utang luar negeri per penduduk negara-negara tersebut berkisar antara US$36 ribu sampai US$85 ribu. Sedangkan tiap penduduk Indonesia hanya menanggung utang luar negeri sebesar US$1 ribu.
Bisa ditarik kesimpulan, makin maju ekonomi satu negara, makin besar utang luar negerinya, makin besar beban utang luar negeri per penduduknya, tapi makin besar pula pendapatan per kapita per tahun penduduknya. Artinya, jika utang luar negeri dikelola dengan benar, akan memakmurkan rakyat.
Umumnya, negara-negara itu tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah seperti Indonesia, dengan modal utang luar negeri itulah mereka bisa memakmurkan rakyatnya.
Sejatinya, kemampuan Indonesia membayar utang luar negeri akan lebih baik seandainya pengelolaan utang luar negeri, utang domestik, serta anggaran dilakukan dengan baik. Setidaknya, ada dua pos pengeluaran dalam APBN yang nilainya signifikan, tapi nyaris tidak menghasilkan nilai tambah yang berarti.
Pertama, cost recovery yang setiap tahun harus dibayarkan ke perusahaan-perusahaan kontraktor kontrak kerja sama sektor migas. Pos ini nilainya tidak pernah kurang dari US$10 miliar per tahun.
Kalaupun cost recovery diasumsikan sebagai investasi, pada kenyataannya produksi minyak Indonesia terus menurun dalam 20 tahun terakhir. Mulai tahun 2017 pos ini dihapuskan setelah keluar Permen ESDM Nomor 08 Tahun 2017 yang menghapuskan cost recovery, diganti dengan gross split.
Baca: Investor Menolak Gross Split
Kedua, krisis ekonomi 1997-1998, menyisakan beban pada APBN hingga tahun 2033, yaitu pembayaran bunga obligasi rekap. Pos pengeluaran itu tidak perlu ada jika pemerintah tahun 2000-2004 tidak menjual aset-aset BPPN yang berupa bank rekap ke swasta.
Utang Luar Negeri Sektor Swasta
Utang luar negeri sektor swasta dieksekusi oleh perusahaan-perusahaan berbadan hukum Indonesia dan beroperasi di Indonesia. Utang itu, baik pengelolaan, pengalokasian, serta pertanggung-jawabannya sepenuhnya berada pada para penanggung-jawab di tiap perusahaan yang menarik pinjaman luar negeri, baik dari perbankan internasional maupun surat utang yang dipasarkan di luar negeri.
Penarikan pinjaman internasional oleh sektor swasta tentu dilakukan dengan pertimbangan tertentu yang secara bisnis menguntungkan. Pinjaman luar negeri merupakan instrumen alternatif selain perbankan nasional dan pasar modal.
Ekspektasi dari penarikan utang luar negeri oleh sektor swasta, akan meningkatkan volume ekonomi domestik, meningkatkan penerimaan pajak, masuknya devisa dari ekspor, pembukaan lapangan kerja baru, dan multiplier effect lainnya.
Akan tetapi, negara, dalam hal ini pemerintah dan Bank Indonesia perlu memonitor dan menerapkan regulasi agar penarikan pinjaman luar negeri oleh sektor swasta tidak menimbulkan guncangan ekonomi di kemudian hari, khusunya guncangan terhadap nilai tukar Rupiah ketika jatuh tempo pembayaran. Karena pinjaman dan pembayaran utang luar negeri, termasuk sektor swasta, menggunakan denominasi valuta asing, umumnya US$.
Advisor Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Triyono mengatakan, dalam hal penerbitan surat utang internasional oleh swasta, harus ada koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia. Otoritas untuk melakukan asesmen terhadap makro ekonomi termasuk utang luar negeri itu Bank Indonesia. Sementara OJK memastikan bahwa perusahaan swasta yang akan menerbitkan surat utang tersebut tidak bermasalah.
“Dengan sendirinya apabila perbankan swasta menerbitkan surat utang luar negeri tetap akan minta izin ke Bank Indonesia, terutama terkait dengan jumlah dan waktu penerbitannya,” kata Triyono.
Tapi, total nilai surat utang dan sebagainya, untuk swasta, tercantum di business plan-nya. Institusi yang melakukan asesmen atas poin itu adalah OJK. Jadi setelah bank (swasta) mengajukan ke Bank Indonesia, maka BI akan minta rekomendasi dari OJK, apakah bank ini baik untuk membawa bendera Merah Putih di international market? Kalau OJK mengatakan oke, kemudian Bank Indonesia akan melihat, seberapa besar porsinya. Yang kedua, waktu penerbitannya, itu keputusan Bank Indonesia.
Persoalan akan muncul jika perusahaan yang menerbitkan surat utang internasional atau menarik pinjaman dari luar negeri mengalami gagal bayar. Ini akan menurunkan kredibilitas entitas bisnis di Indonesia.
Hal lain yang mungkin menyebabkan gejolak moneter ketika perusahaan-perusahaan swasta melakukan pembayaran utang luar negeri secara bersamaan. Masalah yang muncul adalah demand akan valas atau US$ akan melonjak hingga menyebabkan depresiasi. Belum lagi jika hal itu berbarengan dengan jatuh tempo pembayaran belanja BUMN-BUMN besar seperti Pertamina.
Langkah pemerintah melaksanakan kebijakan tax amnesty, juga berimbas pada peningkatan kemampuan membayar utang luar negeri. Dalam jangka pendek pemerintah bisa menggunakan dana tebusan tax amnesty yang totalnya mencapai Rp 112 triliun per akhir Februari 2017 bisa langsung memperkuat sisi penerimaan APBN. Sedangkan dalam jangka panjang, dana repatriasi sebesar Rp 141 triliun akan masuk ke berbagai lembaga keuangan, perbankan, pasar modal, dan sektor riil.
Begitu juga dana-dana di luar negeri yang dideklarasikan pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan pajak, meningkatkan kemampuan membayar utang-utang luar negeri.
Pada dasarnya, kemajuan ekonomi satu negara ditentukan oleh kualitas pengalokasian, pengelolaan, dan pengawasan anggaran baik di sektor publik maupun sektor swasta. Negara-negara maju bisa membiayai berbagai proyek infrastruktur dan riset, karena mendapat kepercayaan untuk menarik utang luar negeri dan menerbitkan surat utang.
Di sisi lain, industri keuangan di negara-negara maju bisa tumbuh menjadi besar karena dipercaya oleh para pemilik modal di seluruh dunia. Dana-dana itulah yang kemudian disalurkan berupa kredit ke sektor-sektor swasta di negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Baca juga: Mensiasati Kebijakan Si Rambut Musang