Hingga beberapa dekade ke depan, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia sebagai negara berkembang, masih seputar kualitas sumber daya manusia dan persoalan-persoalan ikutannya. Namun pesoalan yang paling mendesak saat ini adalah ketimpangan. Ketimpangan kesejahteraan di masyarakat, dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dua persoalan besar tersebut merupakan akumulasi dari persoalan-persoalan sektoral yang tidak terselesaikan dalam waktu yang cukup lama.
KETIMPANGAN adalah tantangan terberat yang dihadapi Indonesia saat ini. Ketimpangan juga merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi. Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadyah, Achmad Syafi’i Maarif mengibaratkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat, seperti rumput kering yang sangat rentan sekali terbakar jika tergosok dengan isu apapun, terutama isu agama.
Banyak hal bisa dilakukan untuk menghapus ketimpangan tersebut. Karenanya, Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa mempersempit kesenjangan kesejahteraan di masyarakat adalah prioritas utama dalam pemerintahannya.
“Pada rapat kabinet pertama tahun ini, saya sampaikan tantangan kepada para menteri dan pejabat yang hadir. Saya tantang mereka untuk menurunkan tingkat ketimpangan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia, khususnya mereka, lapisan masyarakat yang belum menikmati hasil-hasil dari pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai,” kata Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Sebenarnya, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Indonesia sudah berhasil mengurangi ketimpangan kesejahteraan di masyarakat, hal itu tercermin dari penurunan koefisien Gini Ratio yang selama beberapa tahun lalu berada di kisaran 0,420 menjadi 0,387 pada Maret tahun 2017 ini.
Presiden Jokowi mengatakan, penurunan Gini Ratio yang sudah dicapai adalah berita bagus, tapi angka 0,387 masih terlalu tinggi, masih harus diturunkan lagi. Presiden menambahkan, pemerintah juga telah berkomitmen untuk menurunkan angka kemiskinan dari 10,86% (dari jumlah penduduk) pada bulan Juli 2016, menjadi 10,5% pada akhir tahun 2017.
“Saya melihat masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Kita harus bekerja lebih keras lagi untuk mengurangi ketimpangan tersebut, baik itu ketimpangan antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin, juga ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lainnya,” tegas Presiden.
Ketimpangan yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini adalah resultan dari proses yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Ketimpangan timbul karena kebijakan pembangunan yang hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa memperhatikan pemerataan.
Dalam konteks kewilayahan, pembangunan di masa lalu sangat terpusat di kawasan barat Indonesia. Di kawasan barat pun hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Bahkan, di Pulau Jawa pun proyek-proyek pembangunan terpusat di pantai utara, khususnya ujung barat dan ujung timur.
Ketimpangan pembangunan secara otomatis mengakibatkan ketimpangan infrastruktur antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketimpangan infrastruktur, menimbulkan ketimpangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, ketimpangan pendapatan, ketimpangan kualitas pendidikan dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, ketimpangan mendapatkan layanan kesehatan dan layanan administrasi kependudukan. Pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan kualitas sumber daya manusia dan ketimpangan kesejahteraan.
Baca juga: Gini Ratio Masih Tinggi
Tidak sampai di situ. Masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang under developed, bergerak menuju wilayah-wilayah yang pusat ekonomi. Maka terjadilah penyebaran penduduk yang tidak merata. Di wilayah perkotaan, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya terjadi over population dan munculnya berbagai persoalan sosial. Sebaliknya di pedesaan semakin miskin karena warga usia produktif telah hijrah ke perkotaan.
Atas dasar analisis tersebut kebijakan pembangunan Pemerintahan Presiden Jokowi sangat memprioritaskan pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi untuk membuka daerah-daerah yang selama ini terisolasi. Dengan dibangunnya infrastruktur transportasi, potensi-potensi ekonomi yang terdapat di daerah-daerah yang selama ini terisolasi, bisa dikonversi menjadi sumber pendapatan masyarakatnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional – Ketua Bappenas, Bambang Sumantri Brodjonegoro mengatakan, ketimpangan adalah tantangan terberat yang kini dihadapi Indonesia, sekaligus juga ancaman terbesar bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai.
“Mengatasi tantangan berat tersebut, bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Pemerintah juga tidak bisa menyelesaikan semua persoalan ketimpangan di berbagai daerah dengan satu kebijakan saja,” kata Bambang.
Menteri Bappenas menambahkan, dalam menyusun kebijakan, pemerintah harus bekerja-sama dengan semua pemangku kepentingan dan masyarakat luas guna memastikan bahwa program-program yang dijalankan untuk memerangi ketimpangan mambuahkan hasil yang maksimal.
Sementara mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Achmad Syafi’i Maarif yang biasa disapa ‘Buya’ mengatakan, saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara 17 Juli 2017 lalu, membahas bahwa paham radikalisme dan terorisme yang muncul di masyarakat Indonesia saat ini, adalah produk sosial akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi sangat parah dan sudah berlangsung lama di masyarakat.
“Topik utama pembicaraan saya dengan Presiden Jokowi adalah terkait ketimpangan ekonomi yang saat ini terjadi. Banyak hal yang harus dilakukan agar ketimpangan segera dihapus. Jika ketimpangan itu bisa dihapus, maka dengan sendirinya akan memberantas radikalisme dan terorisme. Ketimpangan itu seperti jalan rumput kering yang rentan sekali terbakar, dan bisa memicu macam-macam,” kata Buya.

Syafi’i mencontohkan, ketimpangan yang melanda negara-negara di Timur Tengah, dengan mudahnya disibukkan dengan konflik horizontal, termasuk kemunculan ISIS di berbagai negara. Semua itu bersumber pada ketimpangan ekonomi yang tidak segera diatasi. Lebih jauh, Syafi’I menilai, ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Telah menyebabkan buramnya pemikiran sebagian anggota masyarakat yang mengira radikalisme adalah bagian dari implementasi dari agama Islam.
“Banyak orang muslim di Indonesia mengira apa yang dilakukan ISIS itu bagian dari agama. Bukan, itu rongsokan. Mereka merusak di Filipina, merusak di mana-mana. Rongsokan peradaban Arab yang sedang jatuh, dibeli di Indonesia,” kata Buya.
Bambang Brodjonegoro menambahkan, hal yang juga penting adalah, pemerintah bersama sektor swasta, akademisi, dan semua pemangku kepentingan dalam pembangunan harus mampu merangkul, mewadahi, dan memanfaatkan kemajemukan Indonesia. Indonesia adalah negara dengan beragam suku bangsa, agama, dan tingkatan sosial-ekonomi. Jika kemajemukan itu diposisikan sebagai aset, maka Indonesia sebagai bangsa akan jauh lebih kuat.
Sehingga, dalam menangani masalah ketimpangan ini, pemerintah tidak bisa menyelesaikan persoalan ketimpangan yang sangat beragam hanya dengan satu kebijakan saja. Unit-unit kerja pemerintah di lapangan harus menerapkan pendekatan dan program yang sesuai dengan kondisi di tiap-tiap daerah, serta melibatkan masyarakat setempat.
“Hal penting lainnya adalah, kami telah mengembangkan program dan kebijakan-kebijakan yang kami yakini akan sangat efektif. Program dan kebijakan tersebut didasarkan pada data-data dan fakta-fakta di lapangan yang akurat. Ini akan membantu memastikan bahwa program-program yang dijalankan dalam memerangi ketimpangan, membuahkan hasil yang maksimum,” Bambang menjelaskan.
Bappenas sebagai kementerian yang ditugasi dan bertanggung-jawab dalam pembangunan nasional, berkomitmen menjadi institusi terdepan dalam mempersempit kesenjangan dari ketimpangan yang terjadi di masyarakat saat ini, guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Presiden.
Baca juga: Indonesia Development Forum