TANGGAL 13 Januari 2017 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menandatangani Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Berdasarkan Permen ESDM tersebut, bagi hasil untuk minyak negara mendapat 57%, sedangkan untuk perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) 43%.
Sedangkan untuk gas, negara 52% dan KKKS 48%. Dengan pembagian ini KKKS mendapat porsi lebih besar dibanding sebelumnya yang memakai skema cost recovery yang hanya 15%. Namun, dengan gross split biaya operasional kegiatan migas ditanggung oleh KKKS. Skema bagi hasil gross split akan diterapkan pada kontrak kerja sama migas baru.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menjelaskan, bagi hasil minyak dalam gross split 57% pemerintah dan 43% KKKS, itu basic formula-nya. KKKS masih punya kesempatan untuk mendapatkan variabel split (tambahan), misalnya pengeboran dilakukan di laut dalam atau penggunaan barang penunjang dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tertentu. Misalnya untuk pengeboran minyak di laut dalam, KKKS mendapatkan insentif, berupa variable split sebesar 16%.
“Dari itu saja KKKS mendapatkan 59%. Masih ada beberapa variabel split yang bisa didapatkan oleh KKKS,” kata Arcandra.
Skema gross split disikapi skeptis oleh perusahaan-perusahaan KKKS. Ada yang diam, ada juga yang mengajukan penawaran karena skema itu dinilai tidak ekonomis bagi mereka. Salah satunya adalah Chevron yang menilai gross split tidak ekonomis untuk kontrak baru Blok Rokan, Riau. Kontrak Chevron di blok ini akan habis pada tahun 2021.
Dalam kontrak lama, porsi Chevron hanya 12% dari total produksi. Namun semua biaya operasional ditanggung oleh negara melalui cost recovery. Atas keengganan Chevron memakai skema gross split membuat Menteri Jonan meradang. Ia memanggil manajemen perusahaan minyak asal Amerika Serikat tersebut. Jonan menawarkan porsi untuk Chevron sebesar 60% dari produksi, dengan gross split. Tapi Chevron tetap tidak mau.
Sikap yang ditunjukkan Chevron tersebut membuat Jonan merasa heran. Sikap itu juga memicu pertanyaan publik, ‘sebenarnya, perusahaan KKKS itu mendapat keuntungan dari bagi hasil yang diterimanya atau dari cost recovery?’ Atau jangan-jangan, perusahaan-perusahaan KKKS yang keberatan menerapkan gross split, takut ketahuan bahwa selama ini mereka tidak efisien. Karena, meskipun harus mendapatkan persetujuan dari SKK Migas, apapun yang mereka ‘butuhkan’ pasti akan didapat.
Apakah barang yang dibeli itu semuanya ‘tersaring’ melalui APDN (Apresiasi Produk Dalam Negeri)? Apakah barang yang beli itu memenuhi ketentuan TKDN? “Tidak juga,” kata Jonan. Sampai-sampai, seperti dikutip Katadata, Jonan mengatakan, “Saya tidak menuduh dia (Chevron) mark-up.” Padahal, skema gross split juga diterapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam kontrak kerja sama migas dengan perusahaan swasta melalui tax and royalty.
Menyinggung kata-kata Jonan, “Saya tidak menuduh dia (Chevron) mark-up.”, tidak mengherankan kalau ada persepsi publik bahwa cost recovery adalah salah satu ‘sumber pendapatan’ perusahaan-perusahaan KKKS.
Bahkan, sumber PORTONEWS yang tidak bersedia disebutkan identitasnya, mengatakan bahwa umumnya barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan KKKS dipenuhi oleh perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan KKKS yang bersangkutan. Tentunya dengan mengambil margin yang di atas kewajaran.
Lembaga riset energi internasional, Wood-Mackenzie menyimpulkan skema gross split yang dibuat pemerintah Indonesia untuk kontrak baru bagi hasil migas dinilai tidak menarik. Lembaga itu mengklaim, sejumlah pengamat dan pelaku usaha hulu migas membenarkan kesimpulan riset tersebut bahwa skema gross split tidak ekonomis.
Menanggapi kesimpulan Wood-Mackenzie, Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar meminta para investor hulu migas untuk membuktikan kalau skema gross split sulit diimplementasikan, tidak ekonomis, tidak menumbuh-kembangkan industri penunjang migas, dan seterusnya, dibanding skema cost recovery.
Menurut Arcandra, riset yang dilakukan oleh Wood-Mackenzie tidak komprehensif karena belum menghitung tingkat efisiensi yang dihasilkan skema gross split.
“Dengan gross split proyek bisa lebih cepat dua hingga tiga tahun, karena mereka tidak lagi berurusan dengan birokrasi. Saya sudah panggil Wood-Mackenzie untuk menghitung ulang efisiensi yang dihasilkan dengan skema gross split,” ujarnya.
Cost Recovery Beban APBN
Dalam beberapa tahun terakhir, cost recovery menjadi beban APBN yang sangat signifikan. Sementara penerimaan migas terus menurun. Bahkan, sejak tahun 2015 sektor migas membukukan defisit, cost recovery yang dibayar oleh pemerintah sudah melebihi penerimaan migas. Artinya, bagian negara dari minyak yang dihasilkan tidak lebih banyak dibanding cost recovery yang dibayarkan kepada KKKS.
Penerimaan Migas dan Cost Recovery Periode 2012-2016
Tahun | Lifting Minyak (Barrel) | Penerimaan Migas (Rp Triliun) | Cost Recovery | |
(Rp Triliun) | (US$ Miliar) | |||
2012 | 860.000 | 301,6 | 207,4 | 15,6 |
2013 | 826.000 | 305,3 | 211,4 | 15,9 |
2014 | 794.000 | 319,7 | 216,7 | 16,3 |
2015 | 777.000 | 135,1 ↓ | 182,2 | 13,7 |
2016 | 829.000 | 84,7 ↓ | 154,2 | 11,6 |
Diolah dari berbagai sumber
Pada tahun 2012 dan 2016, bukan saja nilainya yang sangat besar, tapi realisasi cost recovery yang harus dibayar pemerintah, nilainya lebih besar dari yang dianggarkan. Pada tahun 2012, cost recovery dianggarkan US$12,3 miliar, pada kenyataannya membengkak menjadi US$15,6 miliar. Kemudian tahun 2016, yang semula diperkirakan US$8,9 miliar, realisasinya menjadi US$11,6 miliar.
Jika dihitung dalam denominasi Rupiah, pos pengeluaran cost recovery tahun 2016 yang sebesar Rp154,2 triliun, sangat tidak sebanding dengan penerimaan dari sektor migas yang hanya Rp84,7 triliun. Dengan kata lain, besaran pembayaran cost recovery mencapai hampir dua kali lipat penerimaan dari migas. Bahkan, Menteri Jonan menilai bahwa implementasi cost recovery selama ini sudah abusif atau disalah-gunakan.
Hingga awal tahun 2018 baru delapan kontrak kerja sama migas yang berakhir. Sementara yang masih menggunakan skema cost recovery hingga tahun 2025 masih ada 35 kontrak di 85 wilayah kerja migas. Sehingga, pos pengeluaran APBN untuk membayar cost recovery masih cukup besar.
Selesaikan Revisi UU Migas
Kekhawatiran atas dampak dari diterapkannya gross split juga dikemukakan Direktur Eksekutif Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas, Kamaluddin Hasyim yang mengatakan, pada prinsipnya GUPEM sangat setuju dan mengapresiasi upaya pemerintah meningkatkan efisiensi sektor migas dengan diterapkan sistem gross split. Namun penerapan gross split harus disertai dengan persyaratan yang punya nilai tambah dan bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Namun demikian, Kamaluddin mengemukakan tiga kekhawatiran dengan penerapan gross split d industri migas Indonesia. Pertama, sistem gross split tidak akan menumbuh-kembangan industri migas dalam negeri. Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhannya perusahaan KKKS bisa saja memilih impor, mereka bisa memilih barang yang dibutuhkan dan cocok.
“Menurut dia ok, padahal kita memiliki buku wajib. Bagaimana dengan buku APDN barang dan jasa? Kalau mereka kembali ke sana, apa dasar hukumnya? Oh, kami bebas saja. Itu kekhwatiran pertama kami,” kata Kamaluddin.
Kedua, dikhawatirkan sistem gross split tidak akan meningkatkan pemakaian, atau konsumsi produk dalam negeri. Bisa saja perusahaan KKKS menilai tambahan split 4% -5% dari produksi itu terlalu kecil.
“Ngapain pakai barang dalam negeri, lebih baik aku pakai barang luar negeri. Jadi, mereka pikir, 4% itu apalah, sudah susah-susah. Padahal negara itu wajib membimbing, membina industri penunjang migas dalam negeri,” ujarnya.
Ketiga, dikhawatirkan sistemg gross split akan menyebabkan ketidak-adilan dalam proses pengadaan barang dan jasa di KKKS dan Pertamina. Dalam praktiknya, bisa saja perusahaan KKKS atau Pertamina menunjuk langsung perusahaan supplier yang terafiliasi.
“Contoh Pertamina. Kenapa saya katakan Pertamina? Karena Pertamina punya anak perusahaan untuk pengadaan rig, punya perusahaan konstruksi sendiri, nah bisa saja dia tunjuk langsung. Makanya, kita khawatir BUMN akan menunjuk BUMN lain.”
Kamaluddin menambahkan, begitu juga dengan perusahaan KKKS asing asing, misalnya KKKS asal China hanya akan memakai produk China.
“Toh Alibaba kan udah masuk Indonesia, lebih baik dia ambil dari mereka. Petrochina, CNOOC, CITIC Seram, dia akan ambil dari situ,” Kamaluddin mengingatkan.
Jadi, menurut dia, selain soal transparansi dalam tender, critical point-nya pada peraturan, kepastian hukum. Ia menunjukkan contoh, pada lelang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) dan lelang 14 wilayah kerja migas bulan Maret 2017 lalu yang tidak diminati investor.
“Mana ada yang ikut tender dari luar. Itu setelah diterapkannya gross split. Ada yang ikut, dari dalam negeri, ok. Yang luar negeri? Kita kan ingin membawa investasi asing masuk ke Indonesia.”
Menurut Kamaluddin, solusi dari persoalan-persoalan tersebut adalah Pemerintah dan DPR harus segera menyelesaikan revisi atas Undang Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Bagaimanapun para investor memerlukan kepastian hukum. Sudah sejak tahun 2012 Undang Undang Migas akan direvisi, tapi hingga saat ini belum juga dilakukan. Padahal para investor dan calon investor menunggu revisi undang undang itu diselesaikan. “Itu yang ditunggu investor.”
Artinya, rendahnya minat investor untuk menggarap wilayah kerja migas baru, bukan hanya soal shifting dari cost recovery ke gross split, tapi mereka juga menantikan, akan seperti apa Undang Undang Migas setelah direvisi, sebagai dasar kepastian hukum mereka berinvestasi di sektor migas.
Evaluasi
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar mengingatkan, penerapan sistem gross split dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi perusahaan-perusahaan KKKS dalam pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan operasional pengelolaan migas. Perusahaan-perusahaan KKKS dituntut untuk menerapkan the best cost and the best technology.
Bila ada kekhawatiran bahwa gross split bisa menurunkan harga saham perusahaan-perusahaan KKKS yang sudah tercatat di pasar modal karena harus selalu memiliki likuiditas untuk belanja barang dan jasa, hal itu dibantah Jonan. Karena, gross split mengacu pada platform bisnis yang saling menguntungkan.
Poin yang harus dicatat adalah, cadangan migas yang terkandung di wilayah kerja KKKS tidak boleh dikonsolidasikan ke dalam aset, karena cadangan migas tersebut adalah milik negara Republik Indonesia seperti yang disebutkan dalam konstitusi UU Dasar ’45.
Namun, apapun respon yang ditunjukkan oleh para investor migas terhadap Permen ESDM No. 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Migas Gross Split, harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Respon dari investor tersebut ditangkap oleh Presiden Joko Widodo, bahwa beberapa kebijakan yang ambil pemerintah selama tahun 2017 dianggap tidak pro investasi. Ketika membuka Sidang Kabinet Paripurna tanggal 24 Juli 2017 lalu, Presiden menyinggung kebijakan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Presiden menilai, dalam dua bulan (Mei dan Juni 2017) kebijakan-kebijakan yang diambil oleh kedua kementerian itu tidak mendapat respon positif dari para investor. Itu artinya kebijakan tersebut dianggap menghambat investasi. Tapi, presiden tidak menunjuk secara khusus sistem gross split yang diterbitkan pada bulan Januari 2017 melalui Permen ESDM No. 8 Tahun 2017.
Atas dasar masukan dari para investor dan saran Presiden, Arcandra mengatakan, setiap produk hukum yang dikeluarkan memiliki celah. Untuk menutup kekurangan-kekurangan itu perlu masukan dari seluruh pemangku kepentingan. Setiap kebijakan baru harus memberikan nilai tambah yang lebih tinggi daripada kebijakan sebelumnya. Jika tidak, maka kebijakan itu harus direvisi.
Aturan kontrak gross split memang tengah menjadi sorotan pelaku industri minyak dan gas bumi (migas). Dalam, skema kontrak baru ini tidak lagi menggunakan penggantian biaya investasi (cost recovery).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan sedang mengevaluasi seluruh aturan yang diterbitkan di lingkungan kementeriannya, termasuk Permen ESDM No. 8 tahun 2017. “Semua sedang kami evaluasi. Masih dalam pembicaraan,” kata Arcandra.
Baca juga: Mereka Menerima Gross Split