DARI aspek keselamatan migas, perubahan sistem bagi hasil (production sharing contract) dari cost recovery menjadi gross split sebagai mana tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.8 Tahun 2017 yang kemudian direvisi menjadi Permen ESDM No.52 Tahun 2017, bertujuan meningkatkan efisiensi di industri migas tanpa menurunkan safety standard melalui pengadaan barang dan jasa penunjang operasional migas.
Hal itu dikemukakan oleh Direktur Jenderal Migas, Kementerian ESDM, Ego Syahrial pada acara Forum Komunikasi Keselamatan Migas di Palembang, Sumatera Selatan akhir Agustus 2017 lalu.
Ego mengatakan, berdasarkan Undang Undang No.22 Tahun 2001 tentang Migas, perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan badan usaha wajib mempunyai sistem jaminan keselamatan dan kesehatan kerja migas. Komitmen itu dibutuhkan mengingat tingginya tingkat risiko dalam kegiatan pengelolaan migas, baik di sektor hulu maupun hilir.
“Artinya, di industri migas harus punya komitmen tinggi, harus punya sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang bisa dijalankan oleh seluruh karyawan di lapangan,” kata Ego.
Menurut Ego, pemerintah menilai selama ini untuk mengimplementasikannya di lapangan terlalu banyak izin yang harus diurus oleh perusahaan KKKS dan badan usaha, sehingga memakan waktu yang cukup lama, berbelit-belit, dan tidak efisien.
“Dengan cost recovery terlalu banyak perdebatan dalam pengadaan barang dan jasa penunjang operasional migas, jadinya terlalu lama prosesnya,” ka Ego.
Ia menerangkan, sebelum tahun 2015, untuk sektor teknis keselamatan migas yang terkait perizinan ada 104 izin yang harus diurus oleh perusahaan migas hulu maupun hilir. Untuk menekan jumlah perizinan yang harus diurus, Menteri ESDM menerbitkan Permen ESDM Mo. 23 Tahun 2015, di mana sebagian izin untuk usaha migas dilimpahkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dengan Permen ESDM tersebut, Kementerian ESDM hanya menangani dan mengeluarkan 42 perizinan.
“Tapi 42 perizinan itu masih terlalu banyak. Masih harus disederhanakan lagi,” kata Ego.
Maka pada Mei 2017 keluar Permen ESDM No. 38 Tahun 2017 Pemeriksaan Keselamatan Pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas, di mana hanya terdapat enam izin, yang terdiri atas dua izin untuk sektor hulu dan empat izin untuk usaha migas hilir. Namun di luar itu, ada ratusan rekomendasi dan sertifikasi yang harus dimiliki oleh perusahaan KKKS atau badan usaha migas.
“PM 38/2017 adalah penyederhanaan dan revisi atas PM 23/2015. Dalam revisi tersebut, ada 26 rekomendasi dan sertifikasi yang merupakan amanat Undang Undang No. 22 Tahun 2001. Tujuannya, menggairahkan lagi industri migas, baik di hulu maupun hilir,” tegas Ego.
Sementara itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Migas, Patuan Alfon Simanjuntak mengatakan, Permen ESDM No. 38 Tahun 2017 merupakan simplifikasi atas peraturan teknis terhadap pemeriksaan peralatan dan instalasi pada kegiatan usaha migas yang merupakan tanggung jawab KKKS dan badan usaha. Permen ESDM ini juga bertujuan meningkatkan cost efficiency tanpa mengabaikan aspek keselamatan kerja migas.
“Permen ESDM No.38 Tahun 2017 ini bisa dipersepsikan sebagai perubahan paradigma dalam peningkatan aspek keselamatan kerja migas. Sekarang kami di ESDM bergerak lebih cepat lagi dalam pelayanan, sosialisasi, dan implementasi peraturan-peraturan baru,” kata Alfon.
Terbitnya Permen ESDM No. 38 Tahun 2017 adalah penyederhanaan dari tujuh peraturan lama, yang terdiri atas tiga Permen ESDM dan empat Keputusan Dirjen, di mana dalam ketentuan itu disebutkan bahwa yang bertanggung-jawab atas aspek pemeriksaan dan keselamatan kerja migas adalah pemerintah dan badan usaha. Jadi, Permen ESDM No. 38 Tahun 2017 lebih sesuai dengan amanat UU Migas No. 22 Tahun 2001.
Alfon menambahkan, implementasi dari Permen ESDM 38/2017 juga mendorong dibentuknya departemen inspeksi sendiri di bawah pimpinan tertinggi dari badan usaha. Misalnya, untuk peralatan pasca design perlu dilakukan residual life assessment, dan penyesuaian asuransi.
Salah satu domain dari Permen ESDM No. 38 Tahun 2017 adalah pemeriksaan dan pemeliharaan peralatan dan instalasi milik unit-unit pengolahan migas. Misalnya, peralatan dan instalasi milik Pertamina, umumnya sudah berusia sangat tua. Di beberapa Unit Pengolahan Pertamina, terdapat banyak peralatan dan instalasi peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1920-an. Permen ESDM No. 38 Tahun 2017 memberikan peluang untuk memperpanjang waktu penggunaan peralatan dan instalasi yang sudah habis life time-nya, sesuai dengan desain awal.
Ego menegaskan, pada intinya, penerbitan Permen ESDM No. 38 Tahun 2017 tentang Pemeriksaan Keselamatan Pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas dan Permen ESDM No.8 Tahun 2017 (yang kemudian direvisi menjadi Permen ESDM No.52 Tahun 2017) tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, bertujuan menggairahkan kembali industri migas, baik di hulu maupun di hilir, dengan lebih efisien tanpa menurunkan standar keselamatan migas.
Implementasi
Terkait dengan upaya pencegahan dan kesiagaan penanggulangan tumpahan minyak di kawasan pelabuhan, di mana sebagian badan usaha migas beroperasi, Direktorat Jenderal Migas melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan untuk mengantisipasi tumpahan atau pencemaran minyak di laut.
“Untuk itu, pertama, kita sudah sering melakukan simulasi tanggap darurat tumpahan minyak. Kedua, untuk melihat kesiapan badan usaha atau KKKS dalam mengantisipasi, apabila terjadi tumpahan minyak. Kalau mengacu pada ketentuan di Kementerian Perhubungan mereka bisa dengan membership (dari pusat penanggulangan tumpahan minyak). Artinya, badan usaha atau KKKS tidak harus punya peralatan atau tim penanggulangan tumpahan minyak, tapi dengan menjadi member, mereka bisa memiliki kesiagaan untuk mengantisipasi tumpahan minyak,” kata Alfon.
Sejauh ini, seperti dikemukakan oleh Kepala Seksi Penanggulanan Musibah, Subdirektorat Penanggulanan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air, Ditjen Hubla, Kementerian Perhubungan, Anung Trijoko Wasono, dari ratusan perusahaan KKKS dan badan usaha, baru 20 perusahaan yang mengajukan permohonan untuk dilakukan asesmen dan verifikasi kesiagaan penanggulangan pencemaran laut, sebagaimana ketentuan dalam Permenhub No. 58 Tahun 2013. Dari 20 perusahaan yang mengajukan ke Ditjen Hubla, baru dua yang dinyatakan lulus atau certified, dan lima perusahaan dalam proses.