Persoalan lain yang berkaitan dengan persoalan ketimpangan, adalah menyangkut kependudukan. Bagaimanapun, tingkat kesejahteraan satu daerah sangat ditentukan oleh jumlah penduduk usia produktif di daerah tersebut.
Dalam satu diskusi memperingati Hari Kependudukan Dunia 2017 pada 11 Juli lalu di Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional-Kepala Bappenas Bambang Sumantri Brodjonegoro menyatakan, Indonesia perlu menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk di masa mendatang.
Guna mendukung upaya tersebut perlu dicari terobosan dan inovasi kebijakan dari para pemangku kepentingan agar sumber daya manusia Indonesia dapat berkontribusi secara optimal dalam perekonomian.
“Pemerintah perlu strategi khusus dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk, mengingat trend penurunan jumlah penduduk dan aging population di masa mendatang dapat mempengaruhi keseimbangan fiskal negara,” ujar Bambang.
Ia menjelaskan, saat ini kondisi kependudukan antar provinsi di Indonesia sangat bervariasi. Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR) per wanita usia subur (15-49 tahun) di sebagian provinsi, termasuk Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Sumatera Utara, masih menyentuh angka cukup tinggi, yakni di atas 2,5 (anak).
Sementara, di beberapa provinsi lainnya seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, TFR telah mencapai angka yang cukup rendah, yaitu di bawah 2. Pada 2015, Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) yang dilaksanakan Badan Pusat Statisik mencatat angka 2,28.
Pada 2017, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan skenario medium penurunan TFR, yakni hingga 2 anak atau sebelum tahun 2035. Pada saat yang sama, jumlah penduduk Indonesia akan menembus 300 juta orang dan Indonesia masih berpredikat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar urutan keempat di dunia. TFR, jika terus menurun, akan mencapai angka yang cukup rendah sehingga jumlah penduduk menurun di masa aging population, yakni periode 2055-2065.
“Terkait menurunnya TFR tersebut, perlu ada pendekatan yang baru dalam menyadarkan masyarakat tentang pentingnya jumlah dan kualitas anak yang tepat,” ungkap Menteri Bambang.
Selain TFR, tingkat kesehatan masyarakat juga menjadi hal penting dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk karena sangat berpengaruh terhadap angka kematian, terutama kematian Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rates-IMR) dan secara jangka panjang akan meningkatkan Angka Harapan Hidup.
PBB mengambil asumsi penurunan IMR terjadi dengan kisaran penurunan sebesar 2% per tahun, atau lebih cepat dari trend yang selama ini terjadi. Hal ini menjadikan posisi Indonesia relatif lebih dekat dengan Filipina dalam insiden kematian bayi untuk setiap 1000 kelahiran, yaitu sekitar 14 per mill pada 2030.
Penurunan TFR yang terjadi setelah pengenalan program Keluarga Berencana pada 1970-an membuat Indonesia saat ini berada pada tahap terbukanya jendela kesempatan (windows of opportunity) yakni kondisi di mana rasio ketergantungan penduduk Indonesia terus berkurang dan menuju titik terendah yang menurut perhitungan akan terjadi pada 2020-2030 (UNFPA, 2015).
Sebagai ilustrasi, dari SUPAS 2015, BPS merilis angka ketergantungan penduduk Indonesia sebesar 49,2 yang artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung beban sebanyak sekitar 49 penduduk usia nonproduktif.
Pada 2020-2030 mendatang, kondisi tersebut akan memunculkan bonus demografi, yaitu peluang yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dibandingkan dengan penduduk usia nonprodukftif (usia kurang dari 15 tahun dan di atas 65 tahun).
“Dengan persiapan yang baik, bonus demografi bisa dimanfaatkan agar berdampak luas secara jangka panjang untuk pertumbuhan ekonomi. Namun sebaliknya, jika tanpa strategi yang matang, bonus demografi dapat berdampak negatif bagi Indonesia,” Bambang mengingatkan.
Agar dapat memetik manfaat bonus demografi pada 2020-2030, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah, di antaranya meningkatkan kualitas sumber daya manusia usia produktif sehingga memiliki keterampilan kerja yang sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja.
Selain itu, perluasan lapangan kerja, salah satunya dengan meningkatkan investasi, untuk menyerap tenaga kerja terampil tersebut. Idealnya, bonus demografi dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang mendorong peningkatan konsumsi maupun pertumbuhan investasi atau tabungan.
Lebih jauh, lanjut Bambang, jika dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi dapat mengurangi tingkat ketergantungan, mendorong produktivitas, dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Saat TFR menurun, penduduk usia produktif harus mampu menjadi mesin pertumbuhan, dan bukan justru menjadi beban ekonomi. Dengan demikian, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan agar penduduk produktif mempunyai kompetensi dan keahlian.
Kemudian, soft skills juga harus ditingkatkan agar tenaga kerja memiliki sikap yang positif, optimis, kreatif, dan bersedia maju. Kebijakan sumber daya manusia, kependudukan, kesehatan, pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, infrastruktur dan sumber daya alam serta politik hukum dan keamanan juga harus diarahkan dengan tepat.
“Pemerintah ingin menekankan improvisasi kebijakan yang terpadu antar kementerian dan lembaga, serta pihak terkait lainnya dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk, mengantisipasi perubahan struktur penduduk, dan optimalisasi bonus demografi.”
Bambang menjelaskan, Indonesia hendaknya tidak hanya mengikuti proses alamiah, tapi harus ada intervensi atas perkembangan kependudukan supaya demografi bonus diperpanjang.
“Sehingga tujuan akhir kita adalah kaya dulu sebelum pensiun. Tolong dipikirkan sejauh mana kita bisa memperpanjang demografi deviden itu,” kata Bambang.
Di masa depan, penduduk masih akan menjadi kekuatan dalam men-drive pertumbuhan konsumsi, tapi yang diinginkan dengan peningkatan produktivitas nanti, adalah pertumbuhan penduduk yang masuk ke sektor-sektor produksi. Sehingga pertumbuhan ekonomi tidak terlalu tergantung pada konsumsi.
“Pengangguran usia muda sekarang efeknya tidak terlalu terasa. Tapi kalau kita tidak atasi akan menjadi masalah di kemudian hari. Misalnya pendirian lembaga vokasi secepat mungkin. Vokasi sudah dianggarkan, namun skalanya belum terlalu besar di 2017. Tapi akan naik secara signifikan di 2018, baik di infrastrukturnya maupun di kualitasnya, pendidikan guru dan kurikulumnya. Harus ada pemagangan lebih sering, kemudian fasilitas fisik sekolahnya juga harus diperbaiki,” kata Menteri Bambang