Dalam tiga bulan pertama 2017 beberapa variabel risiko eksternal menunjukkan peningkatan yang signifikan. Akan tetapi, pada waktu yang sama, para analis melihat pertumbuhan ekonomi dunia yang makin kuat. Meski pada beberapa indikator ekonomi masih mengalami defisit, tapi secara umum ekonomi Indonesia tumbuh positif, bahkan lebih tinggi dibanding triwulan I 2016.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Mei 2017 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day dan RR Rate) tetap sebesar 4,75%, dengan suku bunga Deposit Facility bertahan di 4,00% dan Lending Facility tetap di posisi 5,50% berlaku efektif sejak 19 Mei 2017.
Keputusan tersebut, menurut Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, konsisten dengan upaya Bank Indonesia menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan dengan tetap mendorong proses pemulihan perekonomian domestik.
Bank Indonesia tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang bersumber dari global maupun domestik. Dari sisi global, perkembangan kebijakan Pemerintah Amerika Serikat, serta perkembangan geopolitik, khususnya di Semenanjung Korea, dianggap sebagai faktor potensi risiko yang tetap perlu diwasapadai. Dari sisi domestik, yang menjadi faktor risiko adalah dampak penyesuian administered prices terhadap inflasi, serta berlanjutnya konsolidasi korporasi dan perbankan.
Dalam beberapa tahun terakhir, faktor eksternal sangat dominan dalam pergerakan ekonomi dan keuangan dunia. Salah satu faktor eksternal yang paling signifikan adalah keinginan para anggota Federal Open Market Committee (FOMC) untuk menaikkan tingkat suku bunga Fed. Selain itu, sikap dan kebijakan Presiden Amerika yang cenderung proteksionistis, sangat mengancam arus ekspor dari negara-negara Asia, termasuk Indonesia, ke Amerika.
Sementara ketegangan di Semenanjung Korea, di mana mesin perang berskala besar dari kedua belah pihak yang sudah disiagakan untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu mengarah ke situasi paling buruk: perang terbuka. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka dipastikan akan menekan ekonomi dunia, mengingat negara-negara besar yang terlibat dalam konflik tersebut, merupakan mitra dagang sekaligus investor utama bagi Indonesia.
Karenanya, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makro prudensial, dan sistem pembayaran guna menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan. Bank Indonesia juga terus mempererat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi agar tetap pada kisaran sasaran, dan mendorong kelanjutan reformasi struktural agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Meskipun beberapa faktor risiko cenderung meningkat, namun Bank Indonesia memperkirakan akan ada perbaikan pertumbuhan ekonomi dunia. Ironisnya peningkatan prospek ekonomi dunia itu akan ditopang oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Amerika, China, Eropa dan Jepang. Perekonomian di Amerika didukung oleh konsumsi yang solid serta peningkatan investasi non-residensial. Di China, perekonomian tumbuh lebih baik dengan meningkatnya kegiatan investasi swasta dan perbaikan ekspor.
Sementara di Eropa, pertumbuhan ekonomi akan didorong oleh peningkatan kinerja sektor manufaktur, yang sejalan dengan perbaikan konsumsi dan ekspor, serta telah menurunnya risiko geopolitik pasca pemilihan presiden di Prancis. Di Jepang, kenaikan permintaan di pasar domestik dan ekspor telah mendorong perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Artinya, di balik ketegangan politik di Semenanjung Korea, tetap ada optimisme ekonomi. Para analis yakin, perang terbuka di Semenanjung Korea tidak akan terjadi.
Sejalan dengan perbaikan pertumbuhan ekonomi dunia tersebut, volume perdagangan dunia dan harga komoditas non migas mengalami peningkatan. Ke depan, sejumlah risiko terhadap perekonomian global tetap perlu diwaspadai, antara lain kenaikan Fed Fund Rate, kebijakan fiskal dan perdagangan serta penurunan besaran neraca Bank sentral AS, dan perkembangan geopolitik di beberapa kawasan, khususnya Semenanjung Korea.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2017 membaik, tercatat sebesar 5,01% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan I tahun 2016 yang sebesar 4,94% (yoy) dan sebesar 4,92% (yoy) pada 2015. Pertumbuhan yang tinggi disumbang dari ekspor dan belanja pemerintah. Perbaikan kinerja ekspor tersebut dipengaruhi oleh membaiknya harga beberapa komoditas di pasar global, seperti batubara dan karet.
Belanja barang dan modal pemerintah juga turut mendorong kinerja investasi, khususnya di sektor properti dan berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap tinggi. Secara spasial, perbaikan PDB triwulan I 2017 ditopang oleh pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa dan Bali terkait investasi, dan di Kalimantan dari ekspor.
Di sisi lain, perlambatan ekonomi terjadi di Sumatera karena penurunan investasi dan perdagangan antar daerah. Bank Indonesia memperkirakan perekonomian 2017 akan tumbuh dalam kisaran 5,0 – 5,4% (yoy).
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I 2017 kembali mencatat surplus sebesar US$4,5 miliar. Angka itu relatif sama dengan surplus pada triwulan sebelumnya, tetapi jauh lebih baik dibanding triwulan I 2016 yang mengalami defisit US$0,3 miliar. Hal itu ditopang surplus transaksi modal dan finansial. Aliran masuk modal asing cukup besar sehingga surplus neraca modal dan finansial meningkat menjadi US$7,9 miliar.

Peningkatan tersebut sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi dan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian Indonesia. Sementara itu, defisit transaksi berjalan tercatat US$2,4 miliar (1,0% PDB) karena tekanan defisit neraca perdagangan migas dan pendapatan primer yang lebih besar dari kenaikan surplus neraca perdagangan non migas.
Peningkatan defisit neraca perdagangan migas dipengaruhi oleh naiknya harga minyak dunia di tengah penurunan lifting minyak nasional, sementara kenaikan defisit neraca pandapatan primer sejalan dengan jadwal pembayaran bunga surat utang pemerintah yang lebih tinggi.
Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir triwulan I 2017 tercatat US$121, 8 miliar, yang kemudian naik pada akhir April 2017 menjadi US$123, 2miliar, cukup untuk membiayai 8,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka itu juga berada di atas standar kecukupan internasional, yaitu sekitar 3 bulan impor.
Nilai tukar Rupiah bergerak menguat sepanjang triwulan I 2017 dan relatif stabil pada April 2017. Pada triwulan I 2017 nilai tukar Rupiah, secara point to point (ptp), menguat sebesar 1,1% ke level Rp 13.326 per US$. Sepanjang April 2017, Rupiah relatif stabil dan ditutup pada level Rp 13.329 per US$.
Penguatan Rupiah juga didukung oleh masih berlanjutnya aliran masuk modal asing yang sejalan dengan perbaikan outlook sovereign rating, data makro ekonomi yang positif, dan sentimen positif terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Ke depan, Bank Indonesia akan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi untuk mendorong nilai tukar yang sesuai nilai fundamentalnya, dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Inflasi tetap terkendali dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2017 yaitu 4±1%. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada April 2017 mencatat inflasi sebesar 0,09% (mtm) atau 4,17% (yoy). Inflasi IHK terutama bersumber dari komponen administered prices yang mengalami inflasi sebesar 1,27% (mtm) atau 8,68% (yoy), didorong oleh penyesuaian tarif listrk tahap dua untuk pelangggan pasca bayar daya 900 VA nonsubsidi, penyesuaian tarif angkutan udara, harga bensin, dan rokok.
Sementara itu, inflasi inti tercatat rendah sebesar 0,13% (mtm) atau 3,28% (yoy), sejalan dengan masih terbatasnya permintaan di pasar domestik, terkendalinya ekspektasi infalsi, dan menguatnya nilai tukar Rupiah. Di sisi lain, kelompok volatile food tercatat mengalami deflasi sebesar 1,26% (mtm) atau 2,66% (yoy) seiring dengan melimpahnya pasokan karena panen raya.
“Ke depan, koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam pengendalian inflasi akan terus diperkuat terutama dalam menghadapi sejumlah risiko terkait penyesuaian administerd prices sejalan dengan kebijakan lanjutan reformasi subsidi energi oleh pemerintah, dan risiko kenaikan harga volatile food menjelang bulan puasa,” kata Agus.
Menurut Agus, stabilitas sistem keuangan tetap kuat karena didukung oleh ketahanan industri perbankan dan pasar keuangan yang terjaga. Pada Maret 2017, rata-rata rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan tercatat 22,7% dan rasio likuditas (AL/DPK) berada pada level 22,0%. Sementara, rasio kredit bermasalah (Non performing Loan/NPL) tercatat 3,0% (gross) atau 1,3% (net).
Transmisi pelongggaran kebijakan moneter dan makro prudensial membaik meski belum optimal sejalan dengan kehati-hatian bank dalam mengelola risiko kredit. Pertumbuhan kredit maret 2017 tercatat 92% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 8,6% (yoy) didorong oleh peningkatan kredit berdenominasi valas dan untuk segmen korporasi.
Pertumbuhan kredit yang mulai membaik diharapkan terus berlanjut seiring aktivitas ekonomi yang meningkat. Selanjutnya, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Maret 2017 tercatat 10,0% (yoy), meningkat dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya 9,2% (yoy).
Sejalan dengan perkiraan meningkatnya kegiatan ekonomi dan masih berlanjutnya dampak pelongggaran kebijakan moneter dan makro prudensial yang telah dilakukan sebelumnya. Pertumbuhan kredit dan DPK pada tahun 2017 diperkirakan lebih tinggi, masing-masing berada dalam kisaran 10-1% dan 9-11%.