Sintesa Group adalah kelompok bisnis berbasis usaha keluarga, bersahaja, mengoptimalkan pasar domestik, likuid, namun ekspansif. Kini di tangan generasi ketiga, dalam tiga tahun mendatang Sintesa akan meluncurkan dua perusahaan sub holding-nya ke pasar modal.
Generasi ketiga itu adalah Shinta Widjaja Kamdani, perempuan kelahiran 9 Februari 1967, lulusan Barnard College, Columbia University tahun 1989, dan Executive Education, Harvard Business School. Berawal dari perusahaan keluarga yang dirintis pada tahun 1919 oleh kakeknya, Oey Kim Tjiang, bernama N.V Handelbouw en Cultuur Maatschappij, dengan bidang usaha perkebunan dan perdagangan karet.
Tahun 1959 bisnis itu diturunkan Oey ke anaknya, Johnny Widjaja. Di tangan Johnny, kelompok perusahaan ini mengakuisisi pabrik susu, Sari Husada. Kemudian pada tahun 1999 Shinta ditunjuk menangani sejumlah perusahaan yang sebelumnya dikelola Johnny. Mungkin satu kebetulan, suksesi dilakukan dengan jeda empat puluh dan jatuh pada tahun berakhiran 9 (sembilan).
Shinta sangat mengagumi Bunda Theresa, tokoh perempuan Katolik dari Kalkuta, India. Ia ingin seperti Bunda Theresa, mencapai puncak kehidupan ketika yang dipikirkan hanya memberi dan memberi. Selfless person. Untuk sampai pada tingkatan itu, Shinta mempunyai empat kata filosofis yang selalu ia usahakan agar terefleksikan dalam hidup dan juga berbisnis, yaitu empowerment, entrepreneurship, excellent dan empathy.
“Tokoh idola saya adalah Bunda Theresa. Ia adalah orang yang tidak lagi memikirkan diri sendiri. Saya belum sampai ke tingkat itu. Hidup itu tidak hanya making money, tapi how to give,” kata Shinta.
Ketika diserahkan kepada Shinta, perusahaan-perusahaan milik keluarga Widjaja itu tersebar dan berjalan sendiri-sendiri, tanpa manajemen yang terpadu.
Mulailah Shinta melakukan restrukturisasi, mengkonsolidasikan dalam satu holding company, dengan brand Sintesa Group. Kemudian ia mulai dengan visi misi, dan corporate value yang hendak dicapai, mengikatkan berbagai jenis usaha ini dalam satu manajemen.
Lalu ia menetapkan empat pilar bisnis Sintesa Group yaitu consumer products, industrial products, property dan energy, yang juga sebagai sub holding. “Dalam bisnis, pada dasarnya harus ada fondasi. Supaya kita punya identitas, kita ini siapa?”
Hari demi hari Shinta menyusun keping-keping keberhasilan kecil, hingga pada akhirnya Sintesa Group menjelma menjadi kelompok bisnis besar dan terkemuka di Indonesia, dengan total karyawan mencapai 6.500 orang.
Berdasarkan perhitungan PORTONEWS, saat ini net worth Sintesa Group tidak kurang dari US$1,18 miliar atau setara Rp 15,34 triliun dengan kurs Rp 13.000/US$.
Berbagai predikat disematkan kepada Shinta oleh berbagai lembaga maupun media berkat prestasi yang ditorehkan oleh Shinta sejak ia menjadi CEO pada tahun 1999.
Dalam tiga tahun ke depan Shinta mempunyai dua pekerjaan besar, yaitu mencatatkan dua sub holding-nya di papan Bursa Efek Indonesia. Dua sub holding Sintesa Group yang diproyeksikan melakukan initial public offering itu di sektor energi, PT Meppogen dan PT Puncak Mustika Bersama di sektor properti.
“Masih ada dua lagi yang mau saya bawa ke pasar modal. Perusahaan di sektor energi kemungkinan tahun depan, dan di sektor properti diupayakan tidak lewat dari tahun 2020,” kata Shinta.
Saat ini PT Meppogen tengah meningkatkan kapasitas produksi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Gunung Megang di Muara Enim, Sumatera Selatan, dari 110 megawatt menjadi 150 megawatt. Proyek up grading itu menelan biaya sebesar US$145 juta yang diperoleh dari satu sindikasi kreditur dengan leader CIMB Niaga.
Selain di Muara Enim, Sintesa juga tengah melakukan pra eksplorasi untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang direncanakan berkapasitas 120 Megawatt di wilayah Banten. Kemungkinan besar, IPO PT Meppogen dalam waktu dekat hasilnya akan digunakan untuk membiayai proyek PLTPB ini.
Diakui Shinta, pembangunan PLTPB yang sifatnya renewable ini, biayanya jauh lebih tinggi dibanding jenis pembangkit listrik lainnya. Tingginya biaya itu terutama pada phase eksplorasi dan konstruksi. Namun setelah beroperasi, PLTPB jauh lebih menguntungkan dan lebih ramah lingkungan.
Jika dikalkulasikan, biaya untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga geothermal, sekitar US$2,2 juta per megawatt kapasitas produksi. Untuk tahap pra eksplorasi, Sintesa melakukannya sendiri. Nanti, ketika proyek sudah mulai berjalan, porsi pembiayaannya sekitar 30% dari ekuitas Meppogen, 70% dari kreditur.
“Kalo sudah jelas resources-nya kami baru ngajak mitra. Agar lebih mudah, dan risiko eksplorasi jangan ada di investor,” ia mengemukakan alasannya.
Selain di Banten, Sintesa juga tengah melakukan pra eksplorasi di Sulawesi Utara untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi. Hingga tahun 2020, total daya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit-pembangkit milik Sintesa mencapai 1.000 megawatt. Artinya, dalam lima tahun ke depan, sangat mungkin Sintesa akan membangun beberapa pembangkit listrik secara bersamaan.
“Di sektor energi ini, kita fokus di renewable energy. Saya ingin kontribusi sedikit dalam proyek 35.000 megawatt yang dicanangkan Presiden Jokowi.”
Shinta mengaku, dari sisi kebijakan sekarang pemerintah sangat mendukung pembangunan pembangkit listrik swasta, semua urusan dilakukan secara transparan. Begitu juga harga jual listrik ke PLN, sangat jelas. Kalaupun ada kendala, itu sifatnya teknis terkait birokrasi atau adanya perubahan peraturan.
Ia menegaskan di sektor energi, ia ingin mewujudkan visi Towards Sustainable Excellent Company dengan berorientasi pada Profit, People and Planet.
Sektor properti adalah yang berikutnya ditargetkan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Awalnya pada tahun 1993, bisnis properti Sintesa dari pengelolaan kantor-kantor untuk ditempati perusahaan-perusahaan Sintesa Group. Kantor dibangun, jadi milik sendiri.
Begitu juga bangunan-bangunan pabrik. Kemudian, membangun perkantoran untuk disewakan. Sekarang sudah intensif, dan fokus masuk ke hotel chain and management. Hotel-hotel Sintesa tersebar di Bali, Palembang, Manado, Jakarta, dan Muara Enim.
“Untuk hotel chain, kecuali di Jakarta, Sintesa memegang 100% saham. Dalam tiga tahun mendatang kita akan masuk bursa. Kami sedang konsolidasi aset. Dalam waktu dekat kami juga mau buka resort dan kawasan ekonomi khusus pariwisata di Sulawesi Utara,” kata Shinta.
Menurut Shinta, satu kelompok bisnis masuk ke sektor properti karena ada excess fund. Semacam bisnis untuk memarkir dana, dengan tujuan mendapat gain dari peningkatan harga jual.
Beberapa waktu lalu, Sintesa memiliki aset properti yang cukup besar, yaitu Kota Tiga Raksa. Namun karena satu dan lain hal, aset itu dijual. Pada masa krisis 1997-2000, pemilik baru Kota Tiga Raksa tidak bisa memenuhi kewajibannya, hingga diambil-alih oleh pemerintah, BPPN waktu itu.
“Nah, sekarang kami sedang melihat kemungkinan untuk mengambil-alih kembali. Untuk mengeksekusinya, tentu kami perlu kreditur,” jelasnya.
Mengenai dua sub-holding yang sudah lebih dulu go public, yaitu PT Tiga Raksa Tbk. dan PT Tira Austenite Tbk., Shinta mengemukakan, akan terus melakukan ekspansi. Di consumer products, ia mengaku sedang fokus mengembangkan Sintesa Health, berupa sumplementary product (nutricitical) yaitu produk-produk suplemen yang di-back up dengan riset.
“Saya sedang mulai dengan riset. Ini bisnis kecil-kecilan yang masih perlu waktu. Produknya adalah bagian dari lifestyle. Misalnya untuk penderita kanker, kami tidak memproduksi obatnya tapi makanan suplemennya. Kami tidak akan jadi perusahaan farmasi. Kebetulan saya punya jaringan distribusi yang luas, ya ini dimanfaatkan.”
Di sektor industri, Sintesa lebih memilih manufacturing untuk komponen. Menurutnya, supporting industry di Indonesia masih kurang. Banyak sub sektor industri otomotif, elektronika, dll., yang membutuhkan supply chain. Bahkan, beberapa bagian komponen untuk power plant, sudah bisa diproduksi di Indonesia dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) relatif tinggi.
“Itu kesempatan. Kita harus masuk ke situ. Nantinya semua bisa dipenuhi dengan produk dalam negeri. Kita masuk ke beberapa industri dengan komponen lokal. Kenapa harus dari luar? Itu bisa dipasok dari lokal kita.”
Shinta yakin, potensi domestic market Indonesia masih sangat besar, dan itu belum dimanfaatkan secara optimal. Sejujurnya, kata Shinta, penerapan standar TKDN di sektor industri nasional belum jalan. Buktinya impor masih tinggi. Jadi, Sintesa akan berorientasi pada sektor-sektor di mana bisa dilakukan substitusi impor.
Mungkin sampai tahun 2039 ketika harus menyerahkan tongkat Sintesa Group ke generasi keempat, Shinta akan terus melakukan empowerment dan menumbuhkan entrepreneurship hingga empat pilar bisnisnya menjadi center of excellence.
Lalu, dari bata kemakmuran yang disusunnya bertahun-tahun, Shinta akan memunguti keping-keping kemakmuran, dan dengan empati ia berikan kepada siapapun yang membutuhkan, untuk mencapai tingkat kehidupan tertinggi. Seperti dilakukan Bunda Theresa yang ia kagumi.