Terinspirasi dari kreativitas warga Bandung yang menjadikan Kota Bandung menjadi kota yang paling banyak dikunjungi wisatawan domestik, seorang aktivis perempuan di Tasikmalaya berambisi menjadikan kotanya sebagai mesin uang bagi warganya.
Dua subyek yang pasti ada pada ingatan setiap orang jika mendengar kata Tasikmalaya: Gunung Galunggung dan Tukang Kredit (baca: kiridit). Terminologi ‘Tukang Kiridit’ dalam frasa Bahasa Sunda adalah orang yang keliling kampung, menjual perabotan rumah tangga dengan cara dicicil, kredit.
Gunung Galunggung yang berada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya tersohor karena letusannya yang dahsyat dan berkepanjangan pada tahun 1982. Sedangkan, di manapun di Indonesia, jika menemui Tukang Kredit, dapat dipastikan, dia berasal dari Tasikmalaya.
Kota Tasikmalaya, sebuah kota di Jawa Barat yang berada di kawasan Priangan Timur memiliki luas 184,4 kilometer persegi, bersuhu sejuk, antara 22 sampai 25 derajat celcius, dihuni oleh 660 ribu penduduk yang mayoritas beretnis Sunda.
Sebenarnya bukan hanya Gunung Galunggung dan ‘Tukang Kiridit’ saja yang menjadi ikon Tasikmalaya. Kota ini dikenal sebagai kota santri yang telah melahirkan sejumlah tokoh nasional terkemuka seperti Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri RI 1957-1959 yang namanya diabadikan menjadi nama Bandara di Surabaya dan nama jalan di banyak kota besar.
Ada juga Koko Koswara, seniman Sunda termashur, Solihin Gautama Purwanagara mantan Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) di jaman Soeharto, Profesor Koesnadi Hardjasoemantri (mantan Rektor Universitas Gajah Mada), Jenderal Agum Gumelar, Raja Dangdut Rhoma Irama, Syarif Bastaman (pengusaha), Haji Engkud (pemilik perusahaan bus Mayasari Bakti), penyanyi Hetty Koes Endang, pebulutangkis Susi Susanti, dan banyak lagi.
Dalam konteks bisnis, warga Tasikmalaya adalah kelompok masyarakat yang memiliki jiwa entrepreneurship paling tinggi dibanding kelompok etnis Sunda lainnya. Kelompok pedagang asal Tasikmalaya adalah komunitas terbesar di pasar Tanah Abang Jakarta.
Di Tasikmalaya sendiri terdapat banyak sentra industri kecil, mulai dari payung Tasik (payung tradisional terbuat dari kertas yang dilukis), kelom atau selop kayu, bordir, sulam, pakaian, sampai produk-produk anyaman dari bambu.
Persoalannya, potensi yang sedemikian besar belum bisa dikapitalisasi agar Tasikmalaya menjadi primadona industri kerajinan tangan dan pariwisata. Hal itu dikemukakan oleh aktivis perempuan, Anne Wachyu Dinatapura. Sejauh ini, orang-orang Tasik justru sukses di luar Tasik.
Anne sangat tertantang untuk memobilisasi warga Tasik untuk mengembangkan potensi ekonomi yang ada di Tasik, untuk menjadikan Kota Tasikmalaya sebagai kota tujuan wisata kota, wisata kuliner, dan wisata budaya. Toh, semua persyaratannya sudah ada.
Bahkan, jika dilihat dari aspek geografis, Kota Tasikmalaya sangat strategis karena dilalui lalu lintas jalur selatan antara Bandung dan Yogyakarta. Letak geografis Tasikmalaya pada lalu lintas jalur selatan, seperti Singapura di Selat Malaka. Tapi sekali lagi itu belum dimanfaatkan secara ekonomi. Bahkan, jika dibandingan dengan Garut, Tasikmalaya masih tertinggal jauh dalam mengekonomisasi potensi lokal.
Padahal posisi geografis Garut, berada di dalam enclave yang tidak dilalui oleh lalu lintas utama jalur selatan. Tapi Garut sukses menarik banyak pengunjung dari luar kota yang berwisata maupun berbelanja. Di kiri kanan jalan menuju Garut, para wisatawan atau pendatang sudah disambut dengan deretan toko makanan khas Garut.
“Seharusnya di Tasik juga bisa. Tinggal bagaimana menatanya agar tidak menjadi kumuh,” kata Anne.
Untuk tahap pertama, Anne yang juga aktif di salah satu partai politik, adalah menginventarisir kegiatan produktif yang bisa dilakukan oleh warga, khususnya kaum perempuan. Tahap berikutnya, ia mengumpulkan sumber daya manusia dan memberinya pelatihan.
Itu dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kerja yang diproyeksikan membantu industri konveksi yang akan dipasarkan di Tanah Abang, Jakarta.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (Ipemi) Pusat, Ingrid Kansil dan Ketua Ipemi Jawa Barat, Diah Ivoniarty meminta Anne untuk mengurus Ipemi Cabang Kota Tasikmalaya.
Meskipun baru terbentuk, justru kegiatannya sudah dimulai dengan memberikan pelatihan-pelatihan. Rencananya dalam waktu dekat, akan dimulai pendirian ‘Warung Ipemi’ yang modalnya dari Ipemi.
Pertimbangannya, jika minimarket yang merupakan kepanjangan tangan konglomerasi bisa berjalan, berarti potensinya ada. Itu bisa dimanfaatkan dengan membuka warung alternatif.
Anne mengemukakan, Ipemi adalah wadah pengusaha busana muslim, sementara ia sendiri bergerak di bisnis kuliner. Tapi, lanjutnya, Ipemi memang unik dan berwarna. Sebagian besar pengurusnya adalah perempuan yang berasal dari berbagai partai politik. “Jadi, walaupun di arena politik bersaing satu sama lain, tapi dalam Ipemi bersatu, bergerak bersama,” kata Anne.
Agenda berikutnya, pada tahun 2017 dan 2018, Anne akan menggelar ‘Festival Situ Gede’ untuk memulai kegiatan yang bisa mempromosikan kepariwisataan Tasikmalaya.
Situ Gede merupakan sebuah danau seluas 47 hektar berada di tengah Kota Tasikmalaya. Menurut dia, Situ Gede sangat cocok untuk event festival yang kegiatannya berupa olah raga seperti Lari 10 K, cross country, off road, fun bike, pertunjukan musik, budaya, dan pameran.
“Hanya saja, event ‘Festival Situ Gede’ itu harus menjadi agenda tahunan dan sebagai festival tanpa sampah pertama di Indonesia. No Waste Festival. Ini penting untuk mengedukasi warga, jika ingin Tasikmalaya menjadi daerah tujuan wisata.”
Anne juga bercita-cita, semua produk yang dihasilkan dari Tasikmalaya, diberi label ‘Titasik’, seperti ‘Made in Japan’ atau ‘Incredible India’. Titasik, artinya ‘dari Tasik’.
Label itu akan mudah diingat orang karena mirip dengan judul film terkenal, ‘Titanic’. Itulah Anne dengan segala ide kreatifnya.