Sejak masa kampanye, Trump sudah mengingatkan, jika terpilih ia akan membatasi produk-produk yang berasal dari China dengan tarif bea masuk hingga 35%. Jika benar ancaman itu diterapkan, maka Indonesia akan mendapatkan cipratan berkah karena kebijakan Trump tersebut.
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 yang memberi kesempatan investor asing memiliki pabrik karet setelah memenuhi beberapa syarat tertentu, sampai saat ini belum ada yang memanfaatkannya. Menurut Suharto Honggokusumo, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), hingga kini tidak ada pabrik yang berubah kepemilikan, juga tidak ada anggota baru.
“Sampai sekarang belum laporan pabrik karet dibeli oleh perusahaan asing atau ada investor asing yang mendirikan pabrik baru,” kata Suharto.
Perpres 44/2016 ini mengatur setiap investor baru, baik asing maupun dalam negeri, yang mendirikan pabrik baru atau membeli saham perusahaan yang sudah ada untuk memenuhi ketentuan bahan baku wajib 20% dari kebun sendiri. Sementara investasi baru untuk membangun kebun memang perlu biaya yang sangat besar sehingga hal ini tentu menghambat upaya investor.
Termasuk di dalamnya ada kewajiban membangun kebun plasma sebesar 20% dari luas kebun sendiri. Sedangnya 80% bahan baku bisa diambil dari mitra. Persyaratan seperti itu akan sulit dipenuhi oleh investor yang ingin masuk ke industri karet.
“Sampai sekarang belum ada realisasi konkret pihak asing. Tetapi ada informasi yang mengatakan mereka berencana untuk membeli pabrik yang sudah ada. Sebagai tindak lanjut dari Pepres ini adalah Peraturan Menteri Perindustrian yang mengatur soal izin khusus. Permenperin saat ini sedang dalam proses drafting,” ujar Suharto.
Pasca terpilihnya Presiden Amerika Serikat Donal Trump dengan semboyan ‘America First’-nya, bagi industri karet Indonesia, kemungkinan akan menimbulkan dampak positif. Diperkirakan ekspor karet ke Amerika akan meningkat.
Trump diperkirakan akan melakukan perlindungan dan peningkatan industri di dalam negeri dengan menekan impor produk jadi. Berbagai produk industri akan dikenakan bea masuk tinggi, termasuk ban. Selama ini industri ban dari China banyak mengekspor ke pasar Amerika.
Sementara, China paling banyak mengimpor bahan baku karet dari Thailand. Data tahun 2015 negara ini mengimpor karet dari Thailand sebanyak 2.2 juta ton, dari Vietnam 748 ribu ton, dari Malaysia 743 ribu ton, dan dari Indonesia 342 ribu ton.
Sedangkan industri ban Amerika paling banyak mengimpor karet dari Indonesia. Tahun 2015 Amerika mengimpor karet dari Indonesia sebanyak 625 ribu ton, dari Thailand 156 ribu ton, dari Vietnam 40 ribu ton juga dari Malaysia 35 ribu ton.
Dengan demikian, jika kebijakan “America First” dilaksanakan dengan penerapan bea masuk impor ban dari China sekitar 35%, maka produksi ban China akan menurun. Akibatnya, impor karet alam negara ini juga menurun.
baca: Donald Trump, Anak Kecil di Toko Mainan
Sebaliknya ekspor karet alam dari Indonesia ke Amerika akan meningkat. Data Gapkindo menunjukkan, impor karet alam Amerika yang paling tinggi dari Indonesia.
Selain disebabkan oleh biaya angkut yang lebih murah, spec karet Indonesia terutama vikositas (ketebalan) relatif rendah sehingga biaya penggilingan karet dalam proses pembuatan kompon karet akan lebih rendah. Hal itu cocok dengan teknologi produksi ban di Amerika.
Tantangan datang dari Vietnam yang produksinya tumbuh dengan cepat. Sangat mungkin mereka akan menawarkan komoditasnya dengan harga yang lebih rendah.
Dengan bea masuk produk karet, khususnya ban ke AS yang cukup tinggi, pabrik-pabrik ban di Tiongkok kemungkinan akan merelokasikan pabriknya ke negara yang memiliki sumber bahan baku yaitu Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Sehingga produk yang dihasilkannya bukan lagi made in China. Dengan demikian tidak dikenakan bea masuk yang tinggi jika diekspor ke Amerika. Menurut Sekertaris Jenderal China Rubber Industries, Mary Xu sudah ada tiga pabrik ban yang relokasi ke Thailand, satu ke Malaysia dan satu ke Indonesia.
Masalahnya, apakah investasi ini tidak akan mengganggu produsi ban domestik? BKPM seharusnya siap-siap menawarkan investasi dengan syarat-syarat tertetu di kawasan berikat dengan kemudahan impor bahan baku bebas bea masuk, disertai persyaratan 80% produksinya harus diekspor. Sehingga industri ban di dalam negeri tidak terganggu. Selain itu tenaga kerja harus diambil dari penduduk sekitar.
Mengenai pergerakan harga karet saat ini yang saat ini mulai naik, menurut Suharto tidak dipengaruhi faktor fundamental. Faktor fundamental pergerakan harga adalah pertumbuhan ekonomi dunia dengan parameter Gross Domestic Product.
Tetapi sampai sekarang perbaikan fundamental belum terlihat signifikan. Kalaupun ada, hanya sedikit, tetapi belum 100% pulih seperti beberapa tahun lalu.
Pergerakan harga karet sekarang lebih dipengaruhi oleh faktor teknis, yaitu perubahan cuaca. Seperti beberapa waktu lalu terjadi banjir di Thailand yang membuat sepertiga kebun karet di negara ini tergenang. Ketika banjir surut dan para petani mulai menyadap kembali, harga kembali turun. Harga karet yang sudah tembus US$2,2 per kilogram, kembali turun ke US$2,09 per kilogram.
Contoh lain, ketika di wilayah utara khatulistiwa sedang dalam fase gugur daun otomatis akan mengakibatkan produksi karet di Sumatera Utara, Malaysia dan Thailand turun. Setelah itu harga akan turun karena pasokan mulai banyak.
Sampai akhir tahu mendatang, harga diperkirakan akan tetap di atas US$2 per kilogram dengan harga maksimal US$2,5 per kilogram. Masalahnya, kapan harga normal akan dicapai? Dan berapa lama akan bertahan? Masih melihat pertumbuhan ekonomi. Faktor teknis lain yang bisa menaikkan harga sudah tidak ada lagi, sehingga harapan ada pada pertumbuhan ekonomi global.
Pelaksanaan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS), yaitu pengurangan ekspor oleh tiga negara anggota The International Tripartite Rubber Council (ITRC) masih berjalan dan tidak ditutup karena tidak dibatasi pada tingkat harga. Maka beberapa pengaturan ini berhenti. Tindak lanjutnya pengaturan itu masih menunggu pertemuan ITRC berikutnya. Kondisi terkini akan jadi pertimbangan dalam pertemuan AETS.
ITRC juga mengamanatkan agar setiap anggota mendirikan regional rubber market atau bursa fisik karet. Tujuannya adalah supaya tiga negara penghasil karet terbesar ini punya bursa dan bench mark harga sendiri. Selama ini yang jadi bench mark adalah SICOM Rubber Price (bursa komoditi Singapura).
Dengan adanya bursa regional diharapkan harganya bisa lebih tinggi ketimbang SICOM. Tetapi sampai sekarang bursa regional ini di masing-masing negara belum berdiri, penjual dan pembeli pun belum ada.
Di Thailand sudah ada produsen yang mendaftar, sebagian besar adalah koperasi, tetapi bursanya sendiri belum berjalan. Keputusan selanjutnya masih menunggu pertemuan ITRC berikutnya.
Baca juga: Ketimpangan Itu Seperti Rumput Kering