AWAL tahun 2017 terbentuk kelompok diskusi yang terdiri atas para pakar dan profesional lintas profesi yang memiliki ketertarikan terhadap penelitian di bidang pemasaran dan perilaku konsumen. Anggota kelompok diskusi ini tidak hanya ahli pemasaran dan perilaku konsumen, tapi ada juga ahli gizi, ahli pangan, dan ekonom. Kemudian anggota kelompok ini bertambah dengan bergabungnya para pengambil kebijakan di pemerintahan. Kelompok diskusi ini kemudian berubah bentuk menjadi Association for Marketing and Consumer Behavior, AMCB (dibaca Emsibi).
Tujuan asosiasi ini antara lain membahas isu-isu terkini di bidang pemasaran dan perilaku konsumen. Hasil kajiannya dirumuskan menjadi referensi bagi lembaga publik dalam pengambilan keputusan, dan bagi dunia usaha untuk pengembangan bisnis. Memberikan edukasi bagi konsumen untuk bersikap bijak dan cerdas, serta membangun masyarakat yang lebih baik melalui penerbitan buku-buku mengenai marketing dan perilaku konsumen. Saat ini AMCB tengah menggarap penulisan 25 buku yang membahas marketing dan perilaku konsumen dari berbagai perspektif.
Guna mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai perkembangan marketing dan perilaku konsumen di Indonesia, Yus Husni M. Thamrin dan Renol Rinaldi dari PORTONEWS mewawancarai Koordinator AMCB, Prof. Dr. Ujang Sumarwan. Dia adalah Guru Besar Ilmu Perilaku Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, yang telah menulis sejumlah buku marketing dan perilaku konsumen. Berikut petikannya.
Bisa dijelaskan marketing dan perilaku konsumen yang menjadi domain dari AMCB?
Kita memosisikan diri untuk memajukan perusahaan dan menyejahterakan konsumen. Jadi kita tidak anti perusahaan, apalagi anti konsumen. Kita berada di kedua belah pihak, supaya produsen maju, konsumen juga terlindungi dan sejahtera.
Praktik bisnis, lingkup marketing, dan perilaku konsumen itu tentu diatur oleh beberapa undang-undang. Misalnya Undang-Undang Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 itu bukan hanya mengatur hak konsumen, tapi juga mengatur hak perusahaan dan produsen. Artinya, walaupun namanya Perlindungan Konsumen tapi di situ juga diatur kewajiban konsumen, hak konsumen dan hak produsen.
Selain itu, banyak juga peraturan di tiap-tiap sektor industri. Misalnya, Otoritas Jasa Keuangan, itu untuk industri keuangan, jasa perbankan, asuransi dan lembaga keuangan lainnya. Nah, di sana juga diatur apa yang diperbolehkan dan dilarang bagi perusahaan-perusahaan yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya, OJK mengeluarkan daftar perusahaan keuangan dan investasi yang dibekukan kegiatannya, terutama kegiatan perhimpunan dana, karena terindikasi adanya potensi merugikan konsumen.
Jadi kita harapkan dengan adanya asosiasi ini, akan mempromosikan bagaimana melakukan marketing yang sesuai dengan aturan, memperhatikan konsumen, dengan kampanye melalui tulisan, kita akan menyuarakan itu.
Kemudian, code of conduct di kalangan marketer sendiri seperti apa?
Ada beberapa asosiasi marketing, tiap-tiap asosiasi memiliki code of conduct. Secara umum, mengacu pada ketentuan formal yang diatur dalam Undang-Undang Konsumen, Undang-Undang Perdagangan, dan seterusnya. Untuk sub-sektor industri tertentu, pemerintah mempunyai lembaga sebagai regulator sekaligus pengawas, di industri keuangan ada OJK, di industri makanan dan obat-obatan ada Badan Pengawasan Obat dan Makanan, di industri lain ada Badan Standardisasi Nasional, dan lain-lain. Tujuannya sama, memajukan dunia usaha dan melindungi konsumen.
Dalam beberapa tahun terakhir, di beberapa sektor industri, praktik marketing bisa disebutkan melewati batas-batas kepatutan atau memasuki wilayah privat. Apa tanggapan Anda?
Praktik yang terjadi sekarang ini yang membuat tidak nyaman konsumen, karena ada jual beli data. Memang harus dibahas mendalam karena terkait dengan privasi konsumen. Itulah area yang dilanggar oleh industri. Itu juga sebagai materi kita untuk dijadikan masukan kepada lembaga publik dalam menyikapi dan menangani masalah ini.
Jual beli data nasabah di industri perbankan, apakah itu tidak melanggar undang-undang perbankan, khususnya mengenai kerahasiaan perbankan? Masalahnya data itu juga bisa diretas oleh pihak lain tanpa sepengetahuan bank. Begitu nama kita tercantum di salah satu transaksi atau iklan, apakah itu oleh orang dalam maupun diretas oleh pihak lain, memang susah kalau sudah begitu. Jadi mungkin si bank sendiri tidak ada niat untuk menjual-belikan data nasabah. Yang kedua adanya oknum, dan yang ketiga peretasan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab sehingga diperjual-belikan.
Sehingga terbukalah praktik seperti itu. Kita tidak mungkin menutupi nomor handphone kita, pasti orang tahu, baik sengaja maupun dipaksa untuk diketahui. Tentu saja praktik itu menyalahi banyak undang-undang karena melanggar hak-hak nasabah.
Artinya perangkat hukum itu belum bisa menelaah dan memilah, mana tindakan yang melanggar hukum?
Karena tidak diselidiki. Kalau diselidiki akan ketahuan, ini tidak dilakukan. Misalnya, saya menerima penawaran dari perusahaan, saya komplain saya adukan perusahaan itu.
Tapi itu menyita waktu, tenaga, dan uang konsumen untuk mengurusnya? Sementara industri sudah siap dengan pengacaranya untuk menangani pengaduan konsumen.
Alhamdulillah, saat ini amanat Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah terbentuk BPSK, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Itu di level kabupaten dan kota. Sebetulnya yang perlu dilakukan sekarang, mengimbau para konsumen agar mau meluangkan waktu untuk menyampaikan keluhan ke BPSK. Memang BPSK tidak 100% menyelesaikan masalah. Tapi dengan banyaknya masukan komplain maka kita bisa tahu seberapa buruk industri ini. Beberapa bisa diselesaikan melalui BPSK ini.
Di level nasional ada Badan Perlindungan Konsumen Indonesia, itu lembaga pemerintah, yang menerima pengaduan, kemudian disampaikan ke pihak yang berwenang. Tentu ini semakin banyak yang melapor, konsumen semakin berdaya. Itu juga program pemerintah, mengukur pemberdayaan konsumen, salah satunya dari laporan pengaduan.
Supaya itu menjadi hukuman sosial, apakah laporan pengaduan itu perlu dipublikasikan?
Ya, saya harus cek di website-nya. Apakah langsung disampaikan ke konsumen atau produsennya, biasanya mereka dipanggil, disampaikan keluhan. Ataukah nanti yang dipublikasikan secara umum. Misalnya, pengaduan masalah keuangan tanpa menyebutkan lembaganya, biasanya seperti itu. Jadi bisa kita tahu seberapa buruk persoalan.
Bagaimanapun, kalau konteksnya aspek legal, industri mempunyai kekuatan finansial yang kuat, sepertinya akan sulit untuk mengakui kesalahan. Karena ketika mengakui kesalahan, pertaruhannya produk mereka di pasar. Tanggapan Anda?
Betul, tetapi sekarang keluhan itu datang melalui media, surat kabar. Mereka biasanya juga langsung merespons dengan cepat. Itu juga merupakan sarana untuk memberikan masukan kepada perusahaan. Jadi perusahaan juga sudah memiliki budaya menerima keluhan, kemudian direspons dengan cepat, walaupun ada beberapa perusahaan yang arogan.
Tapi, solusinya bisa melalui lembaga BPSK tadi. Untuk menghindari kemungkinan si perusahaan itu akan terbalik, memang ada undang-undang di kita yang tidak kondusif. Orang menyampaikan keluhan dianggap pencemaran nama baik. Itu juga tidak mendorong konsumen bersemangat untuk menyampaikan keluhan.
Perusahaan sering mengandalkan pengacara terkenal, walaupun mereka salah. Mungkin berharap konsumennya takut.
Itu yang terjadi, itu budaya kekuasaan. Itu yang ingin kita ubah.
Di bidang ekonomi Indonesia masih sangat sentralistik. Sumber daya manusia yang kompetitif berkumpul di pusat-pusat ekonomi, di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lain. Apakah SDM yang menjalankan BPSK di daerah itu cukup kompetitif?
Biasanya ada ahli hukum di sana. Tentu dengan ketersediaan sumber daya yang ada, saya yakin mereka mempunyai kepedulian. Soal kompetensi sangat relatif. Tapi paling tidak di situ ada semangat membantu konsumen, dari kasus-kasus yang muncul diharapkan skill mereka akan bertambah. Tentu SDM terbaik ada di kota-kota besar, tapi kita memerlukan daerah. Sekarang sudah mulai terbangun budaya ini. Itulah yang mungkin dicoba pemerintah, membangun ekonomi di berbagai daerah supaya orang-orang tidak berkumpul di Jakarta.
Di era teknologi informasi yang mempunyai kekuatan disrupsi, itu mengubah tatanan di berbagai sektor. Kalau di marketing?
Ya jelas di konteks marketing mengubah perilaku, mengubah mindset, mengubah cara berkomunikasi. Teknologi informasi juga mengubah tata cara dalam marketing, yang dulu konsumen tidak bisa dijamah orang per orang, sekarang bisa langsung beriklan kepada seseorang melalui handphone-nya, melalui pesan singkat, email, maupun dengan cara yang lain. Jadi, pertama, terjadi perubahan dari pendekatan massal menjadi pendekatan individu, itu yang terjadi sekarang ini.
Kedua, perusahaan tidak bisa lagi memonopoli harga, karena transparansi menjadi bagian dari bisnis. Karena orang, walaupun dia tidak diberitahu oleh si perusahaan, akan mencari tahu dan diberitahu oleh pihak lain. Sekarang bukan eranya lagi menutupi informasi. Pilihan menjadi semakin banyak. Jadi banyak perubahan, perilaku perusahaan, pendekatan, juga mindset.
Kalau kita mengacu pada pengalaman di Amerika, pada periode 1990-2000 perusahaan-perusahaan yang berbasis digital itu persaingannya ekstrem, yaitu developed or dead, karena perusahaan-perusahaan memerlukan size tertentu untuk mencapai tingkat ke-ekonomisan. Di Indonesia seperti apa?
Di Indonesia ada kecenderungan munculnya pola pikir kolaboratif. Misalnya, online marketing, bisa dilakukan oleh siapa pun termasuk start-up, tanpa biaya yang mahal. Kemudian munculnya fenomena sosial media, yang dimanfaatkan oleh perusahaan kecil dan besar untuk menggandeng mereka, tetapi memang sisi menarik adalah in dan out-nya sangat cepat karena persaingan itu. Menurut saya itu fenomena yang normal. Tapi kita melihat yang disebut dengan collaboration itu semakin tinggi, misalnya perbankan yang besar menerbitkan produk kartu kredit, dia menggandeng suatu destinasi pariwisata, mulai dari hotel, restoran, kemudian transportasi online, dan food service. Karena ada bisnis yang tidak bisa dia lakukan sendiri, jadi besar bersama-sama. Jadi itu yang saya lihat sekarang.
Apakah berarti pada suatu saat akan ada lagi rekrutmen tenaga marketing?
Betul, jadi sekarang itu ada beberapa bidang yang memang konsumen tidak perlu berhubungan langsung. Tetapi ada juga beberapa bidang bisnis yang memerlukan keterlibatan orang. Di jasa keuangan misalnya, itu kelihatannya belum berkurang kebutuhannya. Tetapi ada beberapa sektor bisnis lain yang berkurang, misalnya perusahaan ticketing, karena sudah digantikan oleh mesin. Tapi untuk industri keuangan dan asuransi, untuk meyakinkan orang tidak cukup dengan mesin, harus ketemu, tatap muka. Karena terkait dengan risiko yang cukup tinggi, dia harus face to face untuk meyakinkan.
Untuk beberapa sektor bisnis terjadi hal yang kontradiktif, misalnya perusahaan pengiriman surat atau dokumen, menurun drastis, tapi pengiriman paket barang meningkat pesat. Karena semua orang bisa melakukan bisnis online. Makanya, sekarang ini pada sore hari, intensitas bisnis delivery sangat tinggi. Di perkotaan, orang tidak lagi memasak, tapi memesan makanan.
Dalam konteks marketing yang lebih makro. Tahun 2011, ketika itu Presiden Obama hadir untuk menyaksikan pembelian 230 pesawat Boeing 737–900. Artinya, Presiden Obama, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Presiden Bush, bertindak sebagai marketer bagi negaranya. Apakah Presiden Jokowi harus melakukan hal yang sama untuk meng–endorse industri dalam negeri? Bagaimana dengan para pejabat Indonesia di luar negeri?
Betul. Presiden dari sebuah negara, dia harus menjalankan fungsi sebagai marketer, dalam bahasa kasarnya salesman. Apa yang dia tawarkan? Investasi. Investasi yang bagus, sekolah yang bagus, itulah yang harus direpresentasikan. Saya kira Pak Jokowi sudah melakukan itu di beberapa event internasional. Para Duta Besar atau siapa pun yang berkepentingan membawa sub-modal, membawa orang berkunjung ke Indonesia untuk berbelanja, belajar, berwisata, atau menghadiri konferensi. Seorang gubernur pun mempunyai kewajiban untuk mendatangkan orang banyak untuk datang ke wilayahnya.
Lalu, apakah para Duta Besar Indonesia di luar negeri juga sudah menjadi marketer bagi investasi, pariwisata, dan produk-produk Indonesia?
Ya, saya melihat dalam berbagai hal bagaimana mereka melakukan negosiasi bisnis, atau menyampaikan counter issue mengenai Indonesia. Misalnya isu mengenai sawit, mengenai perdagangan, dan lain-lain. Tentu ukuran keberhasilannya berbeda-beda. Tapi saya melihat mereka sudah melakukan itu. Cuma mungkin kinerjanya tidak seperti salesman di perusahaan, karena kalau di perusahaan itu ada istilah subtitle, kalau tidak berhasil insentifnya berkurang, gajinya tidak naik, dan seterusnya. Kalau ditarik ke duta besar, tentu dari sisi ini berbeda daya juangnya. Marketer perusahaan harus all out, kalau tidak dia tidak akan dapat insentif.
Kira-kira siapa yang harus mewakili konsumen ketika mendapatkan perlakuan buruk atau masalah dengan produk IT. Karena pada produk IT seperti pulsa, internet, atau layanan kartu kredit, jika konsumen dirugikan tidak mudah menunjukkan bukti-buktinya. Siapa yang harus mewakili konsumen dalam kasus-kasus seperti ini?
Makanya harus ada mekanisme di mana konsumen melapor ke lembaga pemerintah, dari laporan itu akan nampak besarnya masalah, pihak berwenang akan bertindak. Di sini juga memerlukan keinginan konsumen, tentu kalau tidak ada mekanisme itu kita sampaikan ke pemerintah dalam bentuk pengaduan. Sehingga si perusahaan juga akan memperhatikan, tapi di satu sisi yang lain, di era transaksi digital ini bahwa konsumen akan memiliki risiko. Misalnya, kenyamanan kartu kredit itu diiringi dengan risiko, yang mungkin tidak setiap konsumen, tapi akan ada satu atau dua orang konsumen yang kena risiko itu.
Perbankan sudah mulai mengurangi risiko itu, misalnya, pada setiap transaksi dimintai verifikasi. Saya sendiri sebagai individu pernah merasakan risiko itu. Bagi kita, itu tidak menyebabkan kita berhenti menggunakan kartu kredit, karena kenyamanannya masih bisa kita rasakan.
Mengenai layanan perbankan, apakah pihak bank wajib menjelaskan semua hal detail mengenai produknya, mengenai kewajiban debitur atau deposan?
Kasus itu domain dari pemberdaya konsumen, artinya konsumen harus dididik supaya paham transaksi yang dilakukannya. Masalahnya, banyak konsumen ketika melakukan transaksi pada awalnya tidak mau tahu apa risikonya, maunya cepat. Sementara perbankan juga ‘tidak bersungguh-sungguh’ menerangkan hal itu.
Artinya konsumen menanyakan atau tidak, seharusnya mereka memberi-tahukan?
Harusnya dijelaskan, sehingga tidak ada dispute. Banyak kesalahan yang terjadi di dalam transaksi itu karena konsumennya tidak teliti, tidak kritis. Karena sikap kritis itu bagian dari upaya melindungi diri sendiri. Itu bagian dari persoalan yang ingin kita suarakan. Saya ingin mendorong masyarakat menjadi Konsumen Bijak dan Cerdas.